Sampah Terhebat yang Pernah Ada

2371 Kata
“Hoaaam.” Sambil menutup mulutnya yang tengah menguap lebar, ujung mata Edith menatap kedatangan dua sejoli yang tadi tertangkap basah. Dia sudah duduk di meja makan, namun Anne mengatakan kepadanya bahwa ketika Duke berada di rumah, maka dirinya harus menunggu Duke untuk makan terlebih dahulu. “Cepatlah, hoi.” Edith tidak bisa toleran dengan orang lelet, ia menangkup dagunya dengan sebelah tangan dan yang lainnya tengah sibuk mengetuk meja makan dengan tak sabar. Aiden mengernyit kesal, ia kemudian menarik kursi tepat di sebelahnya untuk Luna dan mempersilahkan gadis itu untuk duduk. Dia lalu duduk di kursi utama, dengan segala dekorasi mewahnya seolah-olah itu adalah kursi khusus untuknya. Sementara Edith duduk di kursi utama ke-2, berseberangan jauh dari Aiden dan Luna di meja makan super panjang ini. “Mulai hari ini, Luna akan ikut makan pagi dan malam bersamaku.” Aiden mengatakannya dengan terus terang, sambil menunggu reaksi istrinya tersebut. Edith menatap Aiden tanpa minat dan memalingkan wajahnya ke arah lain. “Terserah kau saja, aku tidak peduli.” Meski nadanya menyebalkan, Aiden masih paham jika itu adalah istrinya. Isabella yang tidak peduli dan selalu menatapnya tanpa emosi. Dia kemudian sedikit menghela napas panjang dan mengambil garpu untuk mulai memakan irisan daging di piringnya. Namun, entah kenapa tangannya berhenti sejenak dan melamun tanpa alasan. “Aiden?” Luna memegang tangan Aiden yang berhenti dari aktivitasnya. Pria itu menoleh dan menatap bola mata sejernih safir tersebut. “Ya?” “Apa kau baik-baik saja?” tanya Luna khawatir, mengedipkan matanya beberapa kali dengan lentik dan mempesona. Aiden meletakkan garpunya dan membelai rambut Luna dengan gemas. “Tentu saja, aku selalu baik-baik saja.” Aiden melirik Edith, namun wanita itu kini tengah memandangnya dengan tatapan yang sangat aneh dan mengesalkan. ‘Apa?’ begitulah raut wajah Aiden jika dibaca saat memandang Edith. Dia tidak tahu jika Edith sebenarnya jomblo akut di kehidupannya yang lalu. Meski punya paras cantik, jika kelakuannya seperti harimau jadi-jadian, tak ada siapapun yang mau mendekatinya. Bahkan dalam radius 50 meter tidak ada yang berani menyapa Edith karena takut. Ia hanya punya pacar—teman kencan online—satu kali dan belum saja Edith bertemu dengan pria tidak beruntung itu, Mary, ketua pemandu sorak di sekolahnya justru mencuri kesempatannya itu. Sial, memikirkannya saja sudah membuat Edith darah tinggi. “Cih.” Edith mengumpat sebentar, lalu kemudian mengangkat tangannya membentuk isyarat jempol terbalik dan memeletkan lidahnya keluar. “BUCIN MATI SAJA.” ֍ “Poppin, apa kau punya cairan pembersih mata atau semacamnya?” tanya Edith begitu mereka sampai di kamar pribadi Duchess setelah sarapan pagi. Poppin menggeleng ragu, dia sendiri tidak tahu apa itu cairan pembersih mata. “Sepertinya tidak ada, Duchess. Apa mata anda terasa sakit? Kalau begitu akan saya panggilkan dokter.” “Tidak! Tidak, tidak perlu.” Edith segera menghentikan Poppin yang hendak berlari keluar. Edith mengucek matanya, ia harus menghapus semua rekaman e****s di ingatannya selama acara sarapan pagi tadi. Saling suap-menyuap, mencium tangan, hingga berbisik-bisik di atas meja makan, sungguh membuat mood Edith yang sangat bagus dan stabil menjadi ambruk seketika. “Kau boleh pergi. Oh iya, tolong panggilkan Anne untuk datang.” Edith ambruk di atas ranjangnya. Rasanya menyebalkan juga, berada satu rumah di antara pasangan bucin dengan haremnya yang tanpa batas. Edith bisa saja mendengar suara surga dunia setiap menitnya di penjuru rumah ini. Ia kemudian mengacak rambutnya frustasi. Bisa mati gila aku. “Baik, Nyonya.” Poppin undur diri, ia juga merasa sedikit takut terhadap perilaku aneh Duchess hari ini. Meski demikian, Poppin juga merasa sedikit senang terhadap Duchess yang mulai menampakan emosi di wajahnya—Bah! Tentu saja. Karena yang menghuni tubuh ini bukan Isabel Porvich yang terhormat lagi, tapi veteran preman Edith Froschia! Edith beranjak dari tidurnya, ia kemudian turun dari ranjang dan berjalan menuju meja belajar milik Isabel. Ia kemarin masih terlalu kaget dengan reinkarnasi tiba-tiba ini, tetapi saat ini pikirannya sudah cukup jernih untuk melakukan berbagai hal. Hal pertama yang harus ia pikirkan adalah menentukan apa yang akan ia lakukan ke depannya di sini, sebagai seorang Duchess Isabel Porvich yang sama sekali tidak ia kenal ataupun ketahui. Edith duduk dan mulai menggigiti pena bulu, bingung menuliskan apa di atas kertas 'apa yang harus kulakukan di kehidupan 2.0 ini'. “Tentu saja, mumpung aku dilahirkan sebagai Duchess kaya-raya, kita nikmati saja sampai bosan. Setelah itu, aku baru akan membuat rencana selanjutnya!” Seperti mendapat lampu bohlam yang menyala terang di samping kepalanya, sebuah ide simpel langsung masuk ke dalam pikirannya. Ia kemudian menulis di atas kertas : 1. Hidup foya-foya sampai bosan >:p Edith mengetuk-ketukan kembali pena bulu itu sambil berpikir keras. Ia bukan tipe reinkarnasi menjadi penjahat ataupun karakter wanita utama baik hati di tokoh novel. Mungkin, hanya kebetulan, ia numpang hidup di tubuh wanita malang yang begitu kesepian dan kosong ini. Matanya yang tengah berputar-putar kebingungan itu tiba-tiba menangkap siluet sebuah buku tebal yang mencuat dari dalam laci. “Ewh, buku.” Edith mengernyit jijik, 18 tahun ia hidup dan phobia terbesarnya adalah buku. Jika bergambar lebih mending, tapi ia sangat membenci buku tebal dengan tulisan penuh di dalamnya. Itu selalu membuat kepalanya seperti berputar di komidi putar atau diguncang keras di wahana histeria. Mengerikan! Namun, ia melihat sesuatu yang lain di sana. Edith mendapati sebuah surat. Ia mengambilnya dan berniat membaca isi surat tersebut. “Tidak apa-apa, ‘kan, ya?” Edith menutup surat itu cepat sebelum sempat membaca isinya. “Ini bukan tindakan illegal, ‘kan?” Edith melirik kanan dan kiri, ia menggaruk rambutnya sendiri frustasi. Edith lalu memutuskan untuk membuka lipatan kertas itu kembali. “Pak Syukri makan tomat, bodo amat. Baca aja deh.” Isinya adalah permintaan untuk berkunjung ke Istana. Edith meneguk ludahnya sendiri. Jadi, dia adalah seorang putri kerajaan yang dipaksa menikah dengan seorang pria demi menyatukan kekuatan? Kisahnya terdengar mirip dengan novel-novel yang sering temannya gunjingkan di sekolah. Terlalu dramatis dan berlebihan. Siapa yang menyangka Edith akan menjadi tokoh dramatis dan berlebihan itu? “Nyonya, anda memanggil saya?” Anne datang dari balik pintu. Edith menatapnya sekilas. Ia lalu menunjukan surat itu kepadanya. “Apa kau tahu di mana Istana Kerajaan berada? Surat ini mengatakan bahwa aku harus pergi ke sana hari ini untuk berkunjung.” Mendengar perkataan sang Duchess, Anne mendekat dan meminta ijin untuk membacanya. Edith memberikannya dengan senang hati. Ia masih tidak mengenal dunia ini cukup baik. Mungkin jika berkunjung ke rumahnya dulu, dia bisa mendapatkan potongan memori masa lalunya. “Kalau begitu, saya akan menyiapkan kereta untuk pergi. Apa anda mau berganti baju terlebih dahulu, Nyonya?” tanya Anne. Edith menunduk, ia melihat bajunya yang berwarna merah seperti batu rubi. Dia menggeleng. Edith tidak mau merasakan paru-parunya sesak kembali karena korset jahannam itu. “Tidak perlu, aku akan pergi seperti ini saja.” Anne mengangguk dan turun untuk menyiapkan kereta. Edith mengikutinya dari belakang dan saat ia sampai di bawah, sebuah kereta kuda berwarna coklat dengan ukiran emas sudah terparkir rapi di depan mansion tempat tinggalnya saat ini. Edith baru pernah melihat hal seperti ini, kukira kereta kuda mewah hanya ada di televisi atau pun drama belaka. Tak pernah sekali pun terpintas di pikirannya bahwa suatu hari ia dapat menaikinya. “Apa kereta semewah ini boleh kunaiki, Anne?” Edith berbisik pelan di telinga gadis itu, merasa insecure karena takut diusir saat orang miskin seperti dirinya memaksa untuk menaikinya. Anne tertawa hambar mendengar pertanyaan Edith yang tidak bisa dikategorikan sebagai candaan atau ucapan serius. “Tentu saja, Nyonya. Anda bebas menaikinya. Seluruh aset di rumah ini adalah milik anda sebagian,” jelas Anne. Edith mengusap dagunya sambil tersenyum senang, menjadi orang kaya ternyata sangat menyenangkan, ya. Ia menaiki kereta kuda tersebut diikuti oleh Anne yang akan menemaninya pergi hari ini. Kereta itu berjalan meninggalkan mansion dan menuju istana yang letaknya cukup jauh dari Mansion Porvich. Mereka sampai di Istana Kerajaan. Edith tidak berhenti melanga karena kagum. Dia sudah turun dan tetap menengadah hanya untuk melihat sudut sampai sudut lainnya istana di depannya itu. Dia baru pernah melihat sebuah istana dengan mata kepalanya sendiri. “Ayo masuk, Nyonya. Jangan berdiri di situ teruuus.” Anne menarik Edith dengan susah payah, dia seperti menuntun seorang anak kecil yang baru pernah melihat mainan baru dan tidak mau melepaskan pandangannya. Banyak sekali pelayan istana atau pun bangsawan yang tinggal di sana menatap mereka berdua, terutama Edith. Sejak tersiarnya kabar bahwa Duchess Isabella kembali dari kematian, itu menjadi trending topik nomor satu di kerajaan ini. Mereka diam-diam menggunjingkan bahwa Isabella adalah seorang penyihir hitam atau pengguna mantera misterius yang mampu membuatnya kembali dari kematian. “Isabella!” Pintu ruangan dibuka, Edith menurunkan pandangannya setelah puas melihat semua interior. Di depan sana, seorang wanita cantik yang mirip sekali dengannya kini tengah beranjak turun dari singgasananya dan berjalan ke arahnya. Dia langsung memeluk Edith yang kaget. “Ibu sangat khawatir saat mendengar kabar kematianmu, Nak. Syukurlah kau kembali lagi. Ibu tidak tahu apa yang akan terjadi jika Ibu kehilanganmu. Jangan dengarkan perkataan semua orang, bagiku, kau tetap anak perempuanku yang paling berharga. Kau bisa pulang ke sini kapan pun kau mau, Isabella.” “Eh? Iya, Bu. Aku mengerti.” Edith membalas pelukannya canggung. Ia sangat berbeda dari ibunya yang dulu, galak dan sensian. Sama seperti sifatnya itu. Edith tak mampu mengatakan apa-apa untuk membalasnya. Ia berpikir keras apa kalimat yang tepat untuk kondisi seperti ini. Sial, dia tidak pandai berpikir! “Isabella, kau sudah datang.” “Kak Isabella!” Belum juga masalah di depannya itu selesai, muncul dua orang lainnya. Seorang pria tampan dan gadis muda secantik angsa berdiri di sana dengan wajah yang penuh kekhawatiran. Pria tampan itu terlihat cukup pucat, tetapi senyumannya benar-benar manis. “Aiden bilang kau mengalami lupa ingatan? Apa kau tidak mengingat kami, Adikku?” Edith membulatkan matanya. Jadi, pria dan gadis muda di depannya ini adalah saudara-saudaranya. Dengan perasaan sedih Edith menggeleng. “Maafkan aku, tetapi aku tidak mengingat apa pun saat membuka mataku kembali.” Juliana—nama sang Ratu—menangis dan memeluk Edith kembali. “Oh, Anakku yang malang. Kenapa kau harus melewati cobaan seberat ini? Siapa yang telah membuatmu sampai seperti ini, oh, Anakku?” “Aku adalah Kakakmu yang pertama, namaku Norman dan gadis ini adalah adikmu yang paling kau sayangi, Iris. Dia menangis sepanjang hari ketika mendengar kabar kematianmu. Untunglah kau kembali hidup dan baik-baik saja sekarang.” Edith menatap Norman, dia terlihat seperti pria yang sangat baik dan perhatian terhadap orang lain. Edith kemudian melirik Iris, gadis muda itu juga ikut berkaca-kaca. Edith merentangkan tangannya yang masih bebas, seolah mengajaknya masuk ke dalam pelukan mereka. Iris menghambur ke arahnya tanpa ragu. Edith tersenyum tipis. Senangnya, memiliki keluarga seharmonis ini. Aku jadi bingung, sebenarnya apa dan siapa yang menyebabkan Isabella mati keracunan? Apakah faktor iri atau kebencian dari pihak lain? Entahlah, kepalaku terlalu pusing untuk memikirkannya. Hari semakin gelap. Matahari sudah berpulang tanpa berpamitan terlebih dahulu. Edith sudah dalam perjalanannya kembali pulang menuju mansion. Ia menikmati waktunya di istana bersama dengan ibu dan saudara-saudaranya, sebenarnya Edith juga sempat melihat sang raja, tetapi dia hanya melirik mereka sebentar sebelum kembali sibuk dengan pekerjaannya. Edith merasa pria tua itu juga ingin berkumpul dan melepaskan rasa rindunya, tetapi ia lebih memilih untuk menjaga wibawanya sebagai raja. Hal yang paling Edith sukai adalah Norman. Kakaknya yang baik hati dan pengertian itu langsung merebut hatinya dengn cepat. Dia tadi juga bertanya bagaimana caranya Edith kembali dari kematian, tetapi Edith sendiri juga tidak tahu, karena saat bangun dirinya sudah berada di dalam tubuh Isabella. “Nyonya, sebentar lagi kita akan sampai di rumah.” Edith mengangguk. Ia melongok ke luar jendela dan melihat mansion yang berdiri megah di sana. Malam hari pun tiba, ia makan malam di kamarnya karena Duke sedang sibuk urusan lain. Edith mencibir pelan, paling pria itu tengah bermain-main lagi dengan si rubah cantik yang memanggil dirinya dengan nama Luna. Edith kembali duduk di meja belajar Isabella. Matanya menangkap sebuah buku yang cukup menarik perhatiannya. Meski ia benci buku, tangannya seperti bergerak sendiri untuk mengambil buku tebal bersampul merah tua tersebut. Instingnya kali ini mengatakan bahwa ia harus membaca buku itu, mau atau pun tidak mau. Ini lebih seperti tubuh Isabella memerintahkan Edith untuk mengambilnya. “Jurnal harian?” gumam Edith saat membaca halaman pertama dari buku tersebut. Jurnal Harian Isabel adalah buku diary yang Isabel tulis setiap malamnya. Ia menuangkan semua emosinya yang menghilang di syaraf wajahnya ke dalam tulisan. Edith mulai membaca jurnal harian tersebut, dan apa yang ia baca benar-benar membuatnya tak habis pikir. Hampir 200 halaman yang Edith baca namun hanya satu kesimpulan yang mampu ia dapatkan. “Sampah.” Jeda sejenak. “Aiden Porvich benar-benar seorang sampah.” Semua buku itu tertulis curhatan Isabel ketika ia menyadari perasaannya untuk yang pertama kali ketika bertemu Aiden saat debutante, lalu berlanjut dengan pertemuan rutin hingga ayahnya, sang Raja, meminta perjodohan antara keluarga kerajaan dengan keluarga Porvich. Awalnya Isabel dan Aiden adalah teman dekat meski di dalam jurnal dikatakan bahwa Isabel menyukai Aiden terlebih dahulu, namun ketika perjodohan itu dikumandangkan, Aiden justru menjauh darinya dan mulai bertindak seperti orang asing. Hingga pernikahan mereka, dan kehidupan selama dua tahun yang bagai neraka di rumah ini. Semuanya tertulis di dalam jurnal ini. “Namun, jurnalnya berhenti hingga lusa malam.” Edith melihat dua bagian terakhir jurnal tersebut. Bulan terlihat sangat cerah malam ini. Luna tadi datang dan Aiden langsung membawanya pergi dengan genggaman kuat di tangannya. Aku terus bertanya-tanya, apakah ia bisa menggenggam tanganku seperti itu juga suatu saat nanti? Matanya kemudian beralih ke bagian bawah, tepat di mana jurnal ini berakhir tanpa ada kelanjutan apapun lagi. Malam ini, aku mendengar Aiden berbicara tentang perceraian saat bermesraan dengan gadis barunya. Ia ingin membuat gadis bulan itu menjadi satu-satunya. Aku ingin memenuhinya, tetapi perasaanku menolaknya dengan sekuat tenaga. Jika hanya harus menghilang dari hadapanmu, perceraian atau kematian, kedua hal itu sama saja, ‘kan? “Ini tidak mungkin.” Edith terkejut sampai buku itu terjatuh ke lantai dan menimbulkan suara keras. Anne yang baru saja masuk untuk mengantar gaun yang telah dilipat ke dalam lemari, kaget dan langsung menghampiri wanita tersebut. “Nyonya Isabella? Ada apa dengan anda?” Edith menunjuk dirinya sendiri. “Apa aku bunuh diri, Anne?” Mendengar hal itu, Anne langsung terbungkam. Namun, matanya melotot keluar seperti orang ketakutan setengah mati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN