Melihat ekspresi Anne tersebut, Edith langsung terduduk lemas di lantai. Anne sontak ikut duduk dan memohon maaf sebanyak-banyaknya. “Maafkan saya, Nyonya. Maafkan saya karena tidak bisa menjaga Nyonya dengan baik dan menyebabkan semua masalah ini.” Anne menggosok-gosokan tangannya sambil bersujud di lantai, dia merasa sangat bersalah. Ia masih teringat ketika dirinya hendak masuk ke dalam kamar Duchess untuk mengambil cangkir kotor dan melihat Duchess Isabel sudah tersungkur di lantai dengan darah keluar dari mulutnya.
Plak! Anne terkejut, ia mendongak dan melihat Duchess menampar pipinya sendiri dengan keras hingga merah dan bengkak. “Nyonya Isabella?”
Plak! Kali ini giliran pipi kirinya yang ia tampar sendiri. Tangan Edith hendak menampar pipinya lagi, namun Anne segera menghentikannya. “Apa yang anda lakukan sebenarnya? Saya mohon jangan sakiti diri anda seperti itu lagi, Nyonya Isabella.”
“Lepaskan aku, Anne. Aku harus memberi pelajaran pada orang bodoh ini,” Edith menatap tajam pada Anne. Meski ketakutan, namun Anne menggeleng keras dan tetap menggenggam kedua tangan Edith dengan erat dan sedikit gemetar. “Anne.” Edith meminta sekali lagi, namun Anne masih menggeleng kuat.
“Saya mohon jangan sakiti diri anda seperti itu, Nyonya.”
Edith menghela napas. Ia kemudian berdiri.
“Anda mau pergi ke mana, Nyonya?”
“Mau menghajar Duke bodoh dan berengsek itu. Biarkan dia merasakan bogeman mentahku tepat di wajah sok kegantengan miliknya itu.” Edith mengepalkan tangannya erat hingga buku-buku jarinya memutih. Anne menutup mulutnya karena takut melihat sang Duchess yang terlihat mengerikan itu.
“T-tuan sedang pergi malam ini, Nyonya.”
Edith menurunkan kepalan tangannya dan melanga tak percaya. “Apa? Aaah, benar-benar tidak adil. Kenapa semua ini harus terjadi kepadaku?”
Anne berkaca-kaca. “Maafkan saya, Nyonya Isabel.”
Edith memutar matanya jengah, ia kemudian melepaskan tangannya dan duduk bersandar di pinggir ranjangnya. “Berhentilah memanggilku seperti itu.”
“Kenapa, Nyonya?”
“Apa aku tidak punya nama selain Isabella atau Porvich?” tanya Edith, ternyata ia jengah juga ketika terus-terusan dipanggil dengan nama orang lain meski ia hanya numpang hidup di tubuhnya. Anne berpikir sejenak, ia kemudian berdiri lalu berlari menuju rak buku dan mengambil sebuah buku tebal. Ia kembali dan menyodorkan buku tersebut pada Edith.
“Ini adalah silsilah keluarga anda, saya mengetahuinya karena anda selalu melihat ini setiap malam.” Edith menerima buku bersampul kuning kecoklatan tersebut dan mengusap sampulnya yang sedikit berdebu. Ia membuka buku tersebut dan melihat lambang singa dengan sulur emas di halaman pertama.
“Silsilah keluarga kerajaan Portmaine.”
Edith membalik halaman selanjutnya, ia melihat lukisan keluarganya—Isabel. Ada raja, ratu, dua orang kakak laki-laki, dirinya, dan satu orang adik perempuan. Edith membalik halaman selanjutnya dan membaca nama-nama yang tertera di sana.
“Raja Regnald Francus Portmaine, Ratu Fredita Juliana Portmaine, lalu ...” Edith sedikit menyipit karena tulisan latinnya memiliki font miring dan menyusahkan otak rata-ratanya untuk berpikir. “Oh, Putra Mahkota Norman Carpenter Portmaine dan adiknya pangeran kedua, Arthur Shilan Portmaine. Ahhh! Kenapa nama mereka sangat panjang dan menyebalkan, membuatku susah untuk mengingatnya saja.” Edith memijit pelipisnya sejenak lalu kembali membaca, sungguh, ia tidak memiliki kecocokan sedikitpun dengan benda yang bernama buku.
“Apa anda ingin secangkir teh untuk menyegarkan pikiran anda, Nyonya?” Anne menawarkan. “Oh! Terimakasih, aku juga ingin beberapa camilan makan siang jika boleh.” Edith nampak sumringah, Anne mengangguk dan segera pergi dari kamar untuk mengambilkan pesanan Edith.
“Ah, ini aku. Nama asliku adalah Isabella Freditha Portmaine dan adik perempuanku, Iris Cameron Portmaine.” Edith kemudian melanjutkan bacaannya menuju profil mereka semua dan juga latar belakang keluarga kerajaan. Meski terkadang kepalanya terasa seperti mau meledak dan terus-terusan berasap, Edith memaksa otak karatan miliknya itu untuk tetap bekerja.
“Tapi sebenarnya ini tidak terlalu rumit, apa mungkin gara-gara aku masuk ke tubuh wanita pintar dan penyendiri ini jadi kepintarannya menular pada diriku?” Edith sumringah, jika begitu maka ibunya di rumah tidak akan lagi memukul bokongnya karena terus-terusan mendapat nilai merah di sekolah.
“Nyonya Isabel, ini teh dan camilan anda.” Anne masuk dan meletakkannya di samping nakas. “Oh, terimakasih Anne. Sudah kubilang jangan memanggilku dengan nama Isabel lagi.” Edith meminum teh itu dan merasakan kedamaian di sana, sepertinya Isabel sangat menyukai teh ini semasa hidupnya dulu.
“Lantas saya harus memanggil anda dengan nama apa, Nyonya?” Anne kebingungan, karena dari dulu ia selalu memanggil nama Duchess dengan sebutan Isabel. Edith membuka profil milik Isabel lagi, ia mencari nama yang sedikit pas. “Panggil aku Edith saja Anne. Edith dari Freditha, aku tidak mau dipanggil Isabel lagi.”
Anne mengangguk patuh. “Baik, Nyonya Is—ah! Maksud saya Nyonya Edith.”
Edith mengangguk puas.
“Yah, terasa jauh lebih baik.”
Ia kemudian menutup bukunya keras dan berjalan menuju balkon kamarnya. “Sesi belajarnya cukup sekian, sekarang kita harus menikmati alam sebisa mungkin, hum hum.” Edith menatap ke arah bawah dan melihat taman rumput hijau yang berkilauan cantik. Melihat hal itu langsung membuat badan Edith merinding saking senangnya. Ia ingin turun dan merasakan telapak kakinya bersentuhan langsung dengan sensasi rumput yang menyegarkan.
“Ayo turun, Anne!”
“Baik, Nyonya Edith!” Sebenarnya Anne masih sedikit kurang terbiasa karena setiap hari Nyonya Edith hanya menghabiskan waktunya di dalam ruangan dengan membaca ataupun melanjutkan sulamannya. Entah pertanda apa, tetapi Anne merasa senang dengan hal itu. Ia tersenyum dan menatap punggung Duchess dengan haru.
Edith sedikit berlari sambil mengangkat roknya, Anne mengikutinya dengan sedikit terburu-buru. “Uwah!” Edith menutup mulutnya karena takjub. Ternyata taman rumput hijau itu terlihat lebih menakjubkan ketika dilihat dari dekat. Ia melihat beberapa kebun bunga di sekitar sini, dengan gazebo putih dan juga pohon besar yang teduh. Edith melepaskan sepatunya dengan cepat dan langsung menginjakan kaki di atas rerumputan hijau tersebut.
“Aaaah, nikmat sekali.” Edith memejamkan mata dan membiarkan kakinya mendapatkan sensasi kesukaannya tersebut. Anne segera mengambil sepatu milik Edith dan menggeleng-geleng takjub.
“Anne, aku akan berjalan sebentar ke sana ya.”
“Baik, Nyonya. Saya akan menunggu anda di sini.” Anne sedikit membungkuk hormat, Edith mengangguk dan langsung berjalan pergi ke arah taman bunga. Meski dipanggil preman sekolah dulunya, bukan berarti bahwa Edith tidak memiliki sisi feminim. Karena tetap saja dia adalah seorang wanita. “Cantiknya, aku sama sekali tidak tahu nama mereka tapi ini sangat mekar dan cantik. Apa sedang musim semi di sini?” Edith bergumam sendiri sambil menyentuh beberapa bunga dan mencium wanginya. Saat melewati persimpangan kebun, ia melihat seseorang di sana.
“Oh.”
Gadis itu mendengar suara Edith dan berbalik. “Duchess?”
“Kau … Luna, ‘kan?” Edith menebak namanya, ia masih ingat dengan gadis berambut perak dan bermata safir itu. Tentu saja karena kejadian panas yang sengaja diciptakan oleh suaminya tersayang itu. Edith berjalan mendekat, tetapi Luna terlihat tidak nyaman dan ingin segera pergi dari sana.
“Apa yang sedang kau lakukan?” Edith memilih berhenti dan tidak mendekat lagi, ia kemudian melirik ke arah benda yang di tangan Luna.
“Ini ... Luna membuatnya ...,” dia mengangkat benda itu, Edith menganga takjub tanpa suara ketika melihatnya. Sebuah mahkota bunga yang cantik dan indah.
“Itu sangat bagus, apa kau membuatnya sendiri?”
“Iya, Duchess.” Luna sedikit bersemu merah karena dipuji. Edith melihat kesempatan ini dan segera duduk di bangku yang sama. Luna terkejut, tetapi ia tak bisa pergi. “Aku ingin bertanya sesuatu padamu, boleh?” Edith menatap Luna serius kali ini. Melihat sorot matanya yang tiba-tiba berubah, Luna merasa sedikit ketakutan dan terintimidasi.