Sebuah tamparan tiba-tiba melayang ke wajah tampan Daniel. Pria itu jatur tersungkur dilantai karena tidak menyangka ayahnya melakukan hal itu. Daniel hanya diam sambil memegangi pipinya yang terasa panas dan berdenyut.
“Papa!” seru Juan dan Risma saat melihat Fajar melayangkan tamparannya untuk si sulung. Mereka tidak menyangka reaksi Fajar seperti itu. Bisa dibilang Fajar jarang marah. Ini kali pertama Juan dan Risma melihat kemarahan Fajar seperti itu.
“Pa… istighfar, Pa.”
Juan menahan tubuh Ayahnya yang hendak memberikan bogem mentahnya untuk Daniel. “Tenang dulu, Yah. Bisa kita bicarakan baik-baik, Yah.”
“Apanya yang bisa dibicarakan baik baik sama Abang mu ini!” ucap Fajar penuh emosi. “Abang mu ini sudah membuat keluarga kita malu dengan memiliki anak diluar pernikahan!”
Mendengar suara teriakan Fajar, Noah kembali menangis. Risma menenangkannya dengan menjauhkan Noah dikamar. Bayi mungil itu terisak setelah diberi sufor oleh Risma. Ia mengelus cucunya itu sampai ia tertidur. Setelah Noah tertidur nyenyak, Risma kembali duduk disamping suaminya yang terlihat sedikit tenang. Daniel duduk bersimpuh dikarpet.
“Siapa wanita sudah kamu nodai, Daniel?” Tanya Fajar.
Daniel menggeleng. “Daniel juga tidak tahu siapa dia Pah. Daniel tidak ingat.”
“b******n kamu!” umpat Fajar. “Bisa-bisanya kamu meniduri anak orang terus kamu ngga ingat. Hah!”
“Beneran Pah. Daniel sama sekali ngga ingat.”
“Ingat lagi dong! Gimana sih kamu!”
“Daniel sudah berusaha mengingat tapi tidak ketemu.”
“Terus …. Bagaimana cara kamu untuk bertanggung jawab sama anak ini kalau ibunya saja kamu ngga ingat!”
“Daniel meminta bantuan Kevin pah untuk mencari tahu siapa ibu kandung Noah. Ini lagi dalam tahap pencarian Pah. Kalau sudah ketemu Daniel akan datang ke keluarganya untuk meminta maaf.”
“Minta maaf? Lalu tanggung jawab kamu terhadap ibunya Noah gimana?” ujar Risma.
“Daniel akan memberikan sejumlah uang sebagai tanda pertanggung jawaban selama ia mengandung Noah.”
Lagi lagi Daniel menerima tamparan. Kali ini dari sang Ibu Risma. Kedua mata Risma berkaca-kaca mendengar ucapan Daniel yang menurutnya tidak manusiawi.
“Mama ngga pernah mengajarkan kamu bersikap pengecut seperti itu, Daniel. Apa kamu pikir keluarga wanita itu bakalan menerima uang dari kamu?! Dimana hati nurani kamu, Daniel.”
“Terus aku harus apa, Ma? Nikahin dia gitu agar Noah memiliki keluarga yang sempurna lalu menyingkirkan harapan dan impian aku! Ngga. Aku ngga mau Ma,” tuturnya. “Aku belum siap berumah tangga apalagi dengan orang yang menjadi teman kencan malam ku.”
“Lalu kamu pikir wanita itu ngga punya impian dan harapan seperti kamu?! Kita ngga tahu sehancur apa dia saat tahu ditiduri kamu terus kamu melupakan dia begitu saja.”
Risma menangis dalam pelukan suaminya. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia terlalu syok dan kecewa sama putra sulungnya. Begitu juga dengan Fajar. Ingin rasanya ia memukuli anaknya tapi rasanya percuma. Ia tidak bisa mengembalikan apa yang sudah dirampas oleh putranya.
“Nikahi dia. Nikahi wanita itu,” putus Fajar.
“Suka tidak suka kamu harus menikahi ibu dari Noah. Papa ngga mau tahu. Segera temukan wanita itu lalu nikahi dia!”
“Maaf Pah. Papa ngga berhak mengatur hidup aku. Aku bakalan tanggung jawab tapi bukan untuk menikahi wanita itu. Aku akan bertanggung jawab sampai Noah memiliki orang tua angkat yang baru.”
***
Sudah satu minggu ini Daniel merasa hidupnya tenang. Tidak ada lagi suara tangisan bayi yang membangunkannya ditengah malam untuk minta dot atau mengganti diapersnya yang sudah penuh. Tidak ada lagi mainan ataupun pakaian bayi berserakan dikamar dan diruang tv karena si bayi di bawa pergi oleh Risma dan Fajar.
Saat mengetahui keinginannya mencari panti asuhan dan adopter untuk Noah, Risma dan Fajar membawa Noah pergi dari rumah. Mereka tidak mengijinkan Noah untuk di adopsi. Tapi Daniel tidak peduli. Noah kan anak gue. Ya terserah gue dong mau dikemanain juga, pikirnya.
Daniel berpikir ketenangan itu selamanya tapi ternyata ia salah. Hati kecilnya justru merindukan momen momen menyebalkannya bersama Noah. Tanpa sadar ia selalu terbangun ditengah malam. Padahal tidak ada Noah disana. Seperti pagi ini, Bi Iyah asisten rumah tangganya memberikan potongan baju milik Noah yang ketinggalan. Melihat baju tersebut, Daniel semakin merindukan bayi kecil itu.
Egonya terlalu tinggi untuk datang ke rumah orang tuanya demi bertemu Noah. Gengsi kalau kata orang tua mah. Tapi itulah Daniel Atmadjaja. Si pria lajang yang memiliki ego tinggi.
Sementara itu, Celine yang tengah sibuk dengan pekerjaannya menyempatkan diri untuk pulang bertemu Noah. Sudah hampir seminggu ini dia menginap di asrama kantornya karena lembur mengerjakan monthly deadline yang menggila.
Kerinduannya dengan Noah yang memaksanya untuk pulang sejenak dari kesibukannya di perpus. Dengan tampangnya yang masih kusut karena begadang sampai jam tiga pagi, Celine pulang menggunakan taksi. Tanpa sadar ia tertidur selama perjalanan. Ia dibangunkan oleh supir taksi setelah tiba di depan rumah. Setelah membayar Celine bergegas masuk ke rumah Daniel. Disana ia tidak menemukan siapa-siapa. Bi iyah yang sedang mencuci di belakang menghampiri Celine.
“Pada keman Bi. Sepi amat.”
“Ya ampun neng Celine kemana aja seminggu ini ngga kelihatan.”
“Aku ada lembur bi. Biasa monthly deadline yang pasti riweuh padahal udah perlahan nyicil.” Celine duduk di sofa ruang tv. “Mau minum apa neng? Bibi buatin.”
“Ngga usah Bi. Aku kesini karena kangen Noah. Noah mana bi? Kok ngga kedengeran suaranya? Lagi bobo ya.”
“Aduh neng. Si neng kehilangan info. Mas Daniel ngga kasih tahu neng gitu?”
“Hah? Kasih tahu apa bi? Daniel ngga chat chat aku selama seminggu ini.” Celine penasaran. Mimik muka Bi iyah membuat Celine semakin penasaran.
“Waktu neng Celine pulang, Bapak dan Ibu marah besar neng. Bibi ngeri dengerinnya.”
“Oh… Yang waktu pagi pagi ya. Emang gimana lagi kelanjutannya?”
“Bapak marah besar neng. Si Mas sampai ditampar sama bapak. Duh, bibi kasihan sama si Mas tapi ya gimana. Bibi cuma bisa diem aja dibelakang neng sambil dag dig dug.”
“Seriusan bi ditampar?!” ucapnya tak percaya.
“Serius atuh neng. Bibi kaget kan pas denger suara kenceng eh ngga tahunya si aden jatoh gara-gara ditampar bapak.”
“Ya allah …”
“Intinya kemarin itu bapak dan ibu kecewa berat sama si aden. Mereka bawa Noah pergi dari sini. Sampai sekarang belum balik lagi.”
“Jadi, Noah ada dirumah om dan tante?”
“Kayaknya iya neng. Bibi juga kangen sama si bayi kasep eta.”
“Yah … Padahal aku bela-belain pulang buat ketemu eh anaknya malah ngga ada,” ucapnya sedih. Bi Iyah ikutan sedih. “Kenapa si aden teh ngga ajak si neng nikah aja ya biar Noah ada yang ngurus daripada dititip ke panti asuhan,” celetuk Bi Iyah membuat Celine terkejut.
“Hah? Panti asuhan?”
“Iya neng. Sekilas bibi denger kalau den Noah mau dititip ke panti asuhan sama si aden. Ya ampun tega bener yak.”
“Wah …! Udah gila itu orang!”
“Makanya bibi the bertanya-tanya. Kenapa si aden teh ngga nikah sama neng aja.”
“Itu lebih gila lagi, Bi! Masa iya aku nikah sama si kudanil? Kayak ngga ada cowok lain aja deh.”
“Loh emangnya kenapa neng?”
“Ya ngga mungkin atuh Bi. Noah itu masih punya mama walaupun belum tahu keberadaannya dimana. Aku juga udah punya pacar dan berniat tunangan kalau dia kelar sekolah. Lagian aku sama Daniel itu berantem mulu, Bi. Mana bisa nikah. Nanti cerai gegara sering berantem. Duh … amit-amit deh.”
“Ya siapa tahu aja gitu neng. Jodohnya neng si aden.”
“Ngga mungkin!” Celine kekeuh. “Ya sudah aku pulang ke rumah dulu ya bi. Mau tidur dulu sebelum ke rumah tante Risma.”
“Ya mangga neng.”
Celine keluar dari rumah dengan perasaan sedih. Ia berharap Bi Iyah hanya salah dengar. Daniel ngga sejahat itu membuang Noah ke Panti Asuhan.