Episode 9

1244 Kata
“Apanya yang tidak mungkin, Gembira? Kenapa nama saya disebut-sebut?” tanya Sultan yang tiba-tiba sudah berada di belakang Gembira dengan ekspresi sekaku batang pohon seperti biasa, yang kontan membuat Gembira gelagapan untuk menjawab. Gembira memutar badan demi mendapati ekspresi kaku Sultan. Gadis itu tersenyum kikuk dan menggelengkan kepala, “itu bukan apa-apa kok, Kak.” Sultan memicingkan mata yang membuat wajahnya terlihat semakin dingin. “Kamu berniat membohongi saya?!” tuduh Sultan. Gembira menggeleng sekali lagi. “Tidak, Kak. Ira tidak berniat bohong atau apapun. Ira cuma ….” Gembira tidak memiliki keberanian untuk mengatakan apa yang baru saja didengarnya dari Mbok Ning. “Cuma apa?!” potong Sultan tak sabar. “Bisa tidak sih, Kakak jangan bentak-bentak Ira terus,” protes Gembira meninggikan sedikit volume suaranya. “Kan bisa Kakak tanya baik-baik, tidak harus pakai toa dan otot.” “Kamu ini,” geram Sultan. “Udahlah, terserah Kak Sultan aja. Ira mau ke kamar.” Gembira sudah membalikkan badan, bersiap menuju kamarnya, ketika dengan cepat Sultan meraih tangannya. “Apa lagi sih, Kak?” “Ambilin saya makan. Saya lapar,” perintah Sultan tanpa dosa. Setelah tadi membentak-bentak Gembira, kini dengan seenaknya menyuruh gadis itu mengambilkannya makan. Setengah enggan, Gembira menuruti permintaan Sultan. Pertama-tama gadis itu memanaskan kuah soto. Lalu menyiapkan isian soto berupa bihun, irisan kol, suwiran ayam dan daun bawang. Begitu kuah telah mendidih, Gembira menuangkannya ke dalam mangkuk tersebut. Terakhir gadis itu menaburkan bawang goreng di atasnya. “Silakan, Kak,” kata Gembira begitu menghidangkan semangkuk soto dan minuman lemon segar di hadapan Sultan. “Terima kasih. Sekarang kamu boleh pergi,” ucap Sultan tanpa berpaling dari layar ponselnya. Gembira hanya mengangguk kemudian meninggalkan Sultan untuk menuju kamarnya. Gembira membiarkan pintu kamarnya terbuka, dan ia sendiri duduk di ambang pintu, menikmati dedaunan yang tertiup angin di siang hari yang terik ini. Hari ini adalah akhir pekan. Saat masih sekolah dan hubungannya dengan Sultan baik-baik saja, Gembira akan pergi bersama teman-temannya. Kadangkala juga ia menjadi nyamuk di antara Sultan dan Paramita ketika mereka pergi bertiga. Meski hanya berjalan-jalan di mal, membeli boba atau roti beraroma kopi, semua itu lebih dari cukup bagi Gembira, yang sudah tak memiliki keluarga lagi. “Mama kangen jalan-jalan, Dek,” gumam Gembira pada bayinya yang tentu saja tidak ada tanggapan dari bayi berusia lima bulan itu. Gembira mendesah pasrah, ia harus bertahan setidaknya sampai bayinya lahir, maka Gembira bisa bebas kemana pun ingin pergi. Termasuk pergi dari kehidupan Sultan. Tak ingin membuang waktu dengan melamun, Gembira memilih untuk meraih ponsel, lebih baik ia melihat konten-konten parenting yang kelak akan berguna jika anaknya telah lahir nanti. Di sebuah laman sosial media, Gembira tengah mendengarkan dengan serius melalui earphone dari pembicara yang merupakan praktisi kesehatan mengenai cara merawat bayi dengan benar. Gembira mendengarkan dengan saksama, sampai-sampai ia tak menyadari Sultan sudah berdiri di pintu kamarnya. Sultan menatap datar Gembira yang tengah berbaring memunggunginya sembari melihat sebuah video di sosial media. Rupanya adik tirinya itu begitu fokus dengan tontonannya sampai-sampai tidak menyadari kehadirannya meski ia sudah berdeham cukup kencang. Sultan masih berdiri di ambang pintu, mengamati paviliun yang ia jadikan sebagai kamar untuk Gembira. Seperti yang ia tahu, Gembira memang termasuk golongan gadis rajin. Kamar yang berfasilitas sederhana dan tidak cukup luas itu tertata rapi dan bersih oleh tangan terampil Gembira. Sultan memutuskan untuk melangkah masuk ke kamar gadis itu. Barulah setelah berada persis di belakang Gembira, gadis itu menoleh dengan terkejut. “Kak Sultan,” kata Gembira dengan manik mata melebar dan merubah posisi berbaringnya menjadi duduk. Gembira melepas earphone yang sejak lima belas menit lalu terpasang di telinganya, mendongakkan wajah agar mampu menatap wajah Sultan secara jelas. “Ada apa, Kak?” tanyanya kemudian. “Temani saya beli hadiah untuk Paramita,” jawab Sultan. “Hadiah untuk Kak Mita? Bukannya ultah Kak Mita sudah terlewat ya, Kak?” tanya Gembira bingung, karena seingatnya ulang tahun perempuan cantik itu sudah lewat tiga bulan yang lalu. Bagaimana Gembira tahu? Karena Gambira juga diundang di perayaan pesta ulang tahun kekasih Sultan itu. “Jangan banyak tanya. Ganti bajumu sekarang! Saya tunggu di depan,” perintah Sultan sama sekali tak ingin dibantah. Karena setelah mengatakan itu, Sultan sudah berlalu pergi meninggalkan kamar Gembira. “Dasar tukang maksa!” Maki Gembira dengan suara rendah karena tidak ingin terdengar oleh Sultan dan mengakibatkan lelaki itu memakinya balik. … Mobil Sultan sudah meluncur di jalanan yang cukup padat, dengan Gembira duduk di sampingnya. Tidak ada obrolan di antara dua kakak beradik tak sedarah itu. Keduanya lebih suka menutup rapat bibir hingga mereka tiba di sebuah pusat perbelanjaan. Dengan hati-hati, Gembira turun perlahan dari mobil besar milik kakak tirinya itu. Mengunakan terusan berwarna fuchia, warna kesukaannya, Gembira terlihat semakin cantik. Aura kehamilannya membuat wajahnya kian bersinar, meski siang ini ia hanya mencepol rambut panjangnya. Dengan susah payah Gembira menyejajari langkah lebar Sultan yang sudah berjalan cukup jauh di depannya. Lelaki itu sama sekali tak menunggunya atau bahkan menoleh ke belakang untuk memastikan dirinya masih ada atau tidak. Barulah tiba di depan pintu lift, Gembira bisa berdiri tepat di belakang Sultan persis dengan napas yang memburu. “Kak, nanti jalannya jangan cepat-cepat ya,” mohon Gembira dengan wajah memelas. Sultan tidak menjawab permintaan Gembira, dan hanya melirik tajam pada gadis itu. “Kalau Kakak ngajak Ira ke sini, cuma mau ninggalin Ira, lebih baik Ira pulang aja deh, Kak,” ancam Gembira dengan keberanian hanya seujung kuku. Ia sudah siap jika Sultan memakinya saat ini juga. Sultan mendelik kesal pada Gembira. Lelaki itu hendak menjawab, namun diurungkan begitu pintu lift terbuka. Mereka memasuki lift tersebut bersamaan dengan beberapa orang lainnya. Lift yang sedikit berdesakan membuat lengan Sultan dan Gembira saling bersentuhan dan membuat Gembira sedikit risih, khawatir kakak tirinya itu marah. Perasaan lega menyambut Gembira begitu mereka keluar dari dalam lift. Sultan lagi-lagi berjalan meninggalkan Gembira di belakangnya yang membuat gadis itu harus berjalan sedikit berlari. “Kak Sultan ini ngajak Ira kemari untuk jalan-jalan atau lari-lari?” protes Gembira kesal begitu langkahnya bisa menyejajari langkah Sultan. Sultan berhenti melangkah demi memberikan tatapan tajam pada gadis di hadapannya. “Kakimu yang terlalu pendek!” ejek Sultan. Manik cokelat Gembira melebar. Benar-benar kakak tirinya ini. Dari rumah tadi Gembira sudah sedikit bahagia karena keinginannya untuk berkeliling mal terkabul. Namun rupanya bahagianya lagi-lagi hanya semu semata. Karena Sultan selalu punya cara untuk memupuskan rasa bahagianya. Untuk apa jauh-jauh ke mal jika hanya untuk mendapat ejekan dari Sultan? “Ya udah, kita berpencar saja kalau gitu. Kakak beli sendiri hadiah untuk Kak Mita. Ira mau jalan-jalan sendiri,” usul Gembira mengeluarkan jurus manjanya. “Terus, kamu nanti kecapaian lalu pingsan dan nyusahin saya lagi, begitu?” “Ya sudah, kalau Ira pingsan, Kakak nggak perlu tolongin. Biar saja Ira dibantu orang lain. Ira yakin kok, di dunia ini masih banyak orang baik yang benar-benar tulus.” “Kamu nyindir saya?” desis Sultan marah. Gembira menggeleng. “Baguslan kalau Kakak tersindir,” jawab Gembira masa bodo. Gadis itu lantas meninggalkan Sultan begitu saja. “Mau ke mana kamu?” tanya Sultan menyusul Gembira. “Mau jalan-jalan, Kak. Bosanlah Ira di rumah terus-terusan. Jadi, kalau bisa pergi-pergi seperti ini ya gunakan sebaik mungkin waktunya,” jawab Gembira tanpa menghentikan langkah. “Pinter banget kamu ya, jawabnya,” cibir Sultan. “Iyalah, siapa dulu kakaknya?” Gembira tertawa lebar bermaksud menyindir Sultan. Tawa yang entah mengapa justru menular pada lelaki di sampingnya yang sejak tadi memasang tampang dingin. Rupanya, sudah cukup lama saya tidak melihat senyum ceriamu, Gembira. Bersambung  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN