Episode 10

1451 Kata
Gembira dengan ceria memilih pakaian yang sekiranya cocok untuk Paramita sesuai perintah sang kakak. Meski bukan untuk dirinya sendiri, Gembira mengamati dengan saksama pakaian tersebut dari bahan, kenyamanan dan harganya. Gembira juga mengingat-ingat, pakaian dengan model seperti apa yang kerap dipakai oleh kekasih dari kakak tirinya itu. “Ini gimana, Kak?” tanya Gembira meminta pendapat Sultan yang sejak tadi hanya duduk santai di bangku tunggu. Padahal lelaki itu yang seharusnya mencari hadiah untuk kekasihnya. Tangan Gembira menggenggam sebuah gaun berwarna putih tulang yang ia pikir akan sangat cocok membalut tubuh ramping Paramita. Sultan mengalihkan tatapannya dari layar ponsel, dan hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban. Padahal ini adalah gaun kesekian pilihan Gembira, namun lagi-lagi mendapat penolakan dari Sultan. “Tapi ini bagus, Kak. Kak Mita pasti akan cantik sekali kalau pakai gaun ini.” Gembira berusaha meyakinkan Sultan dengan menampilkan senyum termanisnya. “Bukan selera saya.” Sultan berdiri, lalu pergi begitu saja keluar dari outlet pakaian ternama itu. Sementara itu Gembira hanya mengelus d**a dan menghela napas panjang. Dengan sungkan ia memberikan kembali pakaian yang sejak tadi digenggamnya pada pelayan toko untuk segera menyusul Sultan. “Sebenarnya Kakak cari apa, sih?” tanya Gembira heran sekaligus kesal karena sejak tadi pilihannya tidak ada yang disetujui Sultan. Celana pipa, blazer, kemeja sutra, midi skirt dan berbagai model gaun ditolak mentah-mentah oleh Sultan. Dan toko yang baru saja mereka tinggalkan adalah toko keempat yang mereka kunjungi. “Kamu lapar tidak?” tanya Sultan tiba-tiba. Bukannya menjawab pertanyaan Gembira namun justru menanyakan hal lain. “Ira maksudnya?” tanya Gembira bingung takut salah dengar. “Ya siapa lagi kalau bukan kamu, Gembira. Saya nggak pernah ngajarin kamu jadi perempuan oon!” “Tinggal jawab iya apa susahnya sih, Kak. Pakai ngata-ngatain segala. Nggak bisa ya, cuti sehari aja nggak ngatain orang,” gondok Gembira menatap Sultan dengan sengit. “Suka-suka saya dong.” Sultan menjawab dengan arogannya. Dan lagi-lagi meninggalkan Gembira begitu saja. Gembira yang sudah tak tahan dengan sikap Sultan memilih untuk pulang saja. Dari pada makan berdua dengan Sultan, yang tidak menutup kemungkinan ia akan mendapat ejekan dan makian, lebih baik ia pulang ke rumah agar bisa makan dengan tenang. Baru saja Gembira berjalan beberapa langkah, Gembira merasakan lengannya sudah direnggut dengan kuat oleh seseorang. Gembira tersentak kaget dan hampir saja ia berteriak, namun urung, begitu melihat rupanya sosok tersebut adalah Sultan. “Mau ke mana kamu?” tanya Sultan yang masih dengan kuat mencengkeram lengan Gembira. “Mau pulanglah.” “Siapa yang menyuruh kamu pulang?” “Ira capek, Kak. Kaki dan pinggang Ira sakit. Ira mau rebahan di kamar saja. Kalau Kak Sultan mau jalan-jalan lagi ya silakan. Ira mau pulang. Titik,” ucap Gembira dengan wajah nelangsa. Kaki dan pinggangnya memang terasa sakit sekali. “Tangan Ira juga sakit, Kak.” Gembira menggerakkan lengan tangannya yang tengah dicengkeram Sultan. Seketika Sultan melepas cengkeramannya. Lelaki itu sempat terpesona dengan tatapan teduh yang dipancarkan manik cokelat Gembira. “Makan dulu, setelah itu kita pulang,” ucap Sultan yang entah sadar atau tidak, menyatukan telapak tangannya pada Gembira. Mereka memasuki restoran cukup ternama, yang cabangnya hampir ada di setiap mal. Duduk berhadapan, mereka sama-sama terdiam setelah mengatakan pesanan mereka pada salah satu pelayan di sana. Hingga akhirnya mereka selesai menyantap hidangan mereka, baik Sultan maupun Gembira tidak ada yang membuka mulut. Kini mereka sudah berjalan beriringan hendak menuju basemen. Tentu tanpa perbincangan di antara keduanya. Gembira berusaha bersikap sesantai mungkin, karena sejujurnya ia merasa kesal juga karena seolah-olah Sultan menganggapnya sebuah patung. Mereka tiba di rumah setengah jam kemudian, karena jalanan lebih padat dibandingkan saat mereka berangkat siang tadi. Hingga memasuki rumah berlantai dua itu, baik Gembira maupun Sultan tidak ada yang membuka suara. Di ruang tengah, sepasang suami istri itu berpisah. Sultan menuju kamarnya di lantai dua, sementara Gembira menuju kamarnya di paviliun belakang. Gembira tidak segera masuk ke kamar, melainkan justru duduk di tepi kolam dan membiarkan kakinya bersentuhan dengan permukaan air. Gadis itu menikmati waktu senja seorang diri, sembari membayangkan bagaimana kehidupannya nanti jika benar-benar meninggalkan rumah ini. Sultan memang kerap memarahinya, menyebutnya dengan sebutan kelewat kasar, bahkan pernah mendorongnya hingga ia tersungkur di lantai. Namun meski begitu, Sultan tak pernah lalai untuk memberikan uang jajan padanya, hingga kini. Dan bahkan begitu Sultan tahu dirinya mengandung, suami sirinya itu justru menambah uang jajannya. “Sejujurnya, Mama ingin tetap di sini, Dek,” gumam Gembira. Karena bagaimana pun, di rumah inilah ia menemukan kasih sayang dari orang-orang yang ia sebut keluarga. Dari rumah inilah, Gembira belajar banyak hal, baik dari Sultan maupun Tante Sarah. Sultan mengajarkannya untuk menjadi gadis kuat, sedangkan dari Tante Sarah, Gembira dididik agar tumbuh jadi gadis yang pandai merawat diri dan bertata krama. Namun ia pun tidak bisa bersikeras untuk tinggal, sementara Sultan sendiri sudah tak menginginkan kehadirannya di rumah ini. Tak terasa air mata Gembira jatuh begitu saja. Gembira merasa Tuhan benar-benar memberikannya takdir yang terlampau kejam. Seharusnya kini, ia sedang bergembira merayakan kelulusan dan bersiap mempersiapkan diri untuk memasuki jenjang perkuliahan bersama teman-temannya. Bukannya duduk di tepi kolam, dengan perut membuncit dan tak memiliki gambaran untuk masa depannya kelak. Gembira menghela napas dan mengusap air matanya. Ia tak boleh terlalu sering menangis, karena dari buku yang ia baca, dan dari video yang ditontonnya, ibu hamil yang stres hingga menangis terus menerus bisa meningkatkan risiko bayi lahir prematur. Gembira tentu tidak ingin terjadi sesuatu dengan bayinya. Kamu harus kuat Gembira. Suatu saat, kamu pasti akan menemukan kebahagiannya sesungguhnya. Batinnya optimis. … Sultan masih berdiri di balik tirai jendela kamarnya. Sejak memasuki kamarnya, ia berdiri di sana, demi bisa mengamati Gembira yang menangis di tepi kolam renang. Gadis itu sesekali mendongak untuk menghalau air matanya yang terlalu banyak membanjiri pipi. Beberapa menit kemudian dengan gerakan kasar, gadis berstatus adik tiri dan istrinya itu mengusap air matanya dan menjejakkan kakinya pada permukaan air yang lantas cipratannya membuat pakaiannya basah. Sultan masih setia berdiri di balik jendela, masih menatap lekat pada Gembira yang kini justru menceburkan dirinya di kolam renang. Gembira sesekali menenggelamkan kepalanya di dalam air dan sedikit membuat Sultan dilanda cemas, karena mengira Gembira akan bunuh diri. Namun kecemasan Sultan sirna seketika, begitu Gembira mengangkat kepalanya dari dalam air sembari tersenyum lebar. Senyum yang tanpa sadar membuat Sultan turut tersenyum. … Sementara itu, Gembira begitu asyik bermain air sampai-sampai ia tidak menyadari Sultan tengah mengamatinya dari atas sana. Gadis itu terlalu asyik dengan kegiatannya yang membuat tubuhnya begitu segar dan hatinya jauh lebih tenang. Optimisme akan kehidupannya yang akan jauh lebih baik suatu saat nanti pun muncul begitu saja di dadanya. “Kamu senang kan, Dek, kita main-main air.” Gembira lagi-lagi berdialog dengan calon bayinya. Bosan hanya berendam, Gembira memutuskan untuk berenang saja. Seolah lupa kamar Sultan tepat menghadap kolam renang, Gembira tanpa canggung melepas pakaiannya dan hanya menyisakan sport bra dan celana pendek berbahan katun elastis dengan warna senada. Kontan aksi Gembira tersebut membuat Sultan mengumpat dan segera membalikkan badan. Ia laki-laki normal, yang tentu saja gairahnya akan terpancing begitu melihat tubuh molek Gembira. “Sialan kamu, Gembira!” Gembira baru saja berenang satu kali putaran, ketika melihat Mbok Ning menghampirinya dengan raut wajah khawatir. “Kenapa, Mbok?” tanya Gembira yang sudah menepikan tubuhnya. “Sudah dulu ya, Nduk, berenangnya,” pinta Mbok Ning dengan wajah memelas. “Memangnya kenapa, Mbok?” tanya Gembira heran. “Mas Sultan, Nduk ….” “Ya ampun.” Refleks Gembira menepuk kening dan melihat ke arah jendela kamar Sultan. “Ira lupa, Mbok, kalau Kak Sultan di rumah,” ucap Gembira penuh sesal. Karena sudah pasti tindakan cerobohnya ini akan membuatnya mendapat omelan dari kakak tirinya itu. “Ya sudah, lebih baik Nak Ira segera mandi, sebelum Mas Sultan ke sini.” Tanpa diminta kedua kali, Gembira keluar dari kolam renang dan menerima handuk yang Mbok Ning bawakan. Dengan tergesa Gembira membuka pintu kamar, dan begitu pintu terbuka ia dikejutkan dengan tas belanjaan dari outlet ternama yang tadi siang ia dan Sultan sambangi berjajar rapi di atas tempat tidurnya. “Itu tadi ada kurir yang mengantar belanjaan Nak Ira. Tumben belanjannya banyak sekali, Nduk?” Mbok Ning menjelaskan yang membuat keterkejutan Gembira semakin menjadi. “Ira nggak belanja apapun, Mbok.” “Terus kalau bukan Nak Ira siapa? Masa iya, kurirnya salah alamat.” “Ira juga nggak tahu, Mbok.” Mbok Ning melirik ke arah kamar majikannya, dan mendapati sang majikan prianya itu masih berada di balik jendela kamar. Tanpa penjelasan dari Sultan, Mbok Ning paham jika belanjaan tersebut kesemuanya dari Sultan. Entah karena alasan apa pastinya pria itu memilih untuk memberikannya pada Gembira secara diam-diam. “Kalau bukan Nak Ira, berarti ini dari Mas Sultan,” kata Mbok Ning yang membuat Gembira semakin diserang keterkejutan. Kak Sultan memang tidak bisa ditebak. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN