Episode 11

1139 Kata
Saat makan malam tiba, Gembira menunggu Sultan dengan berdebar. Antara takut jika ia akan mendapat omelan dari suaminya itu karena kecerobohannya tadi sore dan keraguannya untuk menanyakan maksud Sultan membelanjakannya baju sebegitu banyak tanpa sepengetahuannya. Begitu mendengar suara langkah kaki menuruni tangga, jantung Gembira semakin berdebar. Gadis itu memilih untuk menatap makanan di piringnya dan berpura-pura tidak mengetahui kedatangan Sultan. Hingga lelaki itu duduk di kursi utama, Gembira masih tetap diam, menatap fokus pada menu makanan yang dimasak oleh Mbok Ning itu. Sultan sendiri hanya melirik acuh pada Gembira. Ia masih marah dengan ulah gadis itu sore tadi yang membuatnya harus berlama-lama di kamar mandi. Dengan santai, Sultan mengambil makanannya tanpa berkeinginan menyapa sosok di hadapannya. Hingga makan malam berakhir, baik Sultan maupun Gembira tidak kunjung ada yang membuka suara. Sultan masih bertahan di kursi makan memainkan ponselnya, sementara Gembira dengan sigap membantu Mbok Ning membereskan peralatan makan. Sultan masih duduk tenang di kursi meja makan, begitu Gembira selesai merapikan piring-piring dan gelas. Dengan ragu-ragu gadis itu mendekati sang suami yang masih terpekur pada layar ponsel. “Kak,” panggil Gembira. “Kenapa?” tanya Sultan tanpa mengalihkan pandangannya pada layar ponsel. “Itu … Ira mau bilang terima kasih, untuk baju-bajunya,” ucap Gembira akhirnya. Gerakan Sultan yang tengah menggulir seketika berhenti. Lelaki itu menatap gadis yang berdiri di sampingnya dengan lekat. Tubuh Gembira memang terbilang mungil, namun sebagai pria normal, Sultan mengakui jika Gembira memiliki daya tarik tersendiri meski gadis itu bahkan hanya mengenakan kaos oblong dan celana katun lusuh. Sultan menghela napas, tidak seharusnya ia memikirkan pesona Gembira karena ia harus fokus untuk mencari pelaku p*******a Gembira agar ia bisa terbebas dari pernikahan yang tak diinginkannya ini dan bisa segera menikahi Paramita. “Dua hari lagi ada acara di rumah Tante Sarah, pakai baju yang sekiranya cocok untuk ke sana.” Sultan berdiri, bersiap pergi. “Sekarang kamu lebih baik ke kamar, istirahat,” titah Sultan sebelum meninggalkan Gembira yang berdiri mematung dengan tremor di tubuhnya. … Dua hari rupanya berlalu begitu cepat. Jarum ja sudah menunjukkan pukul delapan pagi, namun Gembira belum juga mempersiapkan diri untuk pergi ke acara yang menurut info akan diselenggarakan di rumah Tante Sarah. Sudah cukup lama Gembira tidak menginjakkan kaki di rumah wanita yang sudah ia anggap seperti ibu sendiri itu. Dan sudah cukup lama ia tidak pergi ke acara pesta keluarga Sultan. Mungkin jika situasinya tidak serumit sekarang, Gembira akan dengan senang hati menerima ajakan Sultan. Namun seluruh anggota keluarga Sultan tahu, jika ialah penyebab hubungan Sultan dan Paramita kandas, terlebih, Gembira lah, yang sudah melemparkan kotoran pada keluarga besar Al Ghifari. Gembira menghela napas. Langit-langit kamarnya rupanya saat ini lebih menarik dari apapun, hingga suara ketukan pintu dan panggilan dari Mbok Ning membuat gadis itu terjaga dari lamunan. “Nduk, sudah bangun?” Suara Mbok terdengar memanggil. Dengan tidak bersemangat gembira menjawab, “sudah, Mbok.” Gembira kemudian berdiri untuk membuka pintu. Begitu pintu terbuka, Gembira mendapati wajah kalem Mbok Ning. “Lho, Nak Ira belum siap-siap?” Mbok Ning terkejut, karena ia juga tahu jika hari ini Sultan akan mengajak Gembira di rumah Tante Sarah. Gembira menggeleng lemah. “Ira nggak enak badan, Mbok,” jawabnya berbohong. Mbok mengulurkan punggung tangannya untuk menyentuh kening Gembira. “Nak Ira pusing atau kenapa? Biar nanti Mbok Ning sampaikan ke Mas Sultan.” Gembira terlihat ragu-ragu untuk menjawab. “Ira sebenarnya nggak mau ikut, Mbok. Ira takut. Mereka semua pasti masih membenci Ira karena pernikahan Ira dan Kak Sultan.” Mbok Ning menghela napas. Wanita itu sangat paham dengan apa yang dirasakan Gembira saat ini. Sudah pasti Gembira merasa kerdil dihadapan keluarga Sultan. Mbok Ning masih mengingat dengan jelas, setelah kejadian di hotel, keluarga besar Sultan memojokkan Gembira dengan kata-kata kelewat kasar. “Kalau Nak Ira memang tidak mau ikut, sampaikan sekarang, supaya Mas Sultan nggak nunggu terlalu lama,” saran Mbok Ning, yang tahu sikap majikan prianya berubah temperamen sejak menikah dengan Gembira. “Mbok saja ya yang sampaikan. Ira takut Kak Sultan tanya macam-macam.” Sayangnya, sosok yang tengah dobicarakan Gembira dan Mbok Ning berada di sini dengan paras dingin seperti biasa. “Kenapa kamu belum siap-siap?” tanyanya galak. Mbok Ning menggeser tubuhnya, untuk memberi ruang pada sang majikan. Dengan nelangsa memandang Gembira yang sudah pasti akan mendapat omelah sepagi ini. “Ira tidak enak badan, Kak,” jawab Gembira sembari menunduk. “Benar, Mas, badan Mbak Ira hangat,” Mbok Ning mengimbuhi dan sangat berharap Sultan percaya. “Cuma hangat kan? Bukan demam tinggi? Masih bisa berdiri juga,” ucap Sultan acuh. “Tapi, Mas, kasihan Mbak Iranya. Kan bisa nanti Mas Sultan bilang ke Nyonya Sarah kalau Mbak Ira sedang tidak enak badan.” “Kenapa jadi Mbok Ning yang mengatur!” Bentak Sultan tidak suka. “Mbok lebih baik kembali ke dapur. Saya mau bicara berdua dengan Gembira.” Pada akhirnya memang Gembira ikut serta dengan Sultan untuk menghadiri pesta di rumah Tante Sarah. Gadis itu justru merasa kasihan dengan Mbok Ning yang dibentak Sultan karena membelanya. Seandainya ia tidak mengatakan pura-pura sakit, tentu wanita tua itu tidak akan dibentak oleh lelaki yang saat ini tengah fokus mengendalikan kemudi. “Seharusnya Kak Sultan tidak perlu membentak Mbok Ning seperti tadi,” ucap Gembira dengan keberanian setipis kaca. Ia tidak tega melihat wajah Mbok Ning yang sudah seperti menangis karena membelanya. “Saya tidak suka orang lain ikut campur dengan urusan saya.” “Tapi Mbok Ning bukan orang lain, Mas. Tidak seharusnya Mas bicara sekeras tadi sama Mbok Ning yang sudah mengabdikan dirinya sejak puluhan tahun lalu.” Sultan seketika membantik stir ke bahu jalan mendengar kalimat Gembira yang menyalahkannya hingga membuat kening Gembira terbentur dasbor. “Aaarrrgghh! Ada apa si, Kak? Kening Ira sakit jadinya.” Sultan melepas sabuk pengaman dan menghadapkan tubuhnya ke arah Gembira tak lupa dengan tatapan tajamnya. Gembira sendii sudah sangat paham, jika kali ini akan mendapat omelan lagi dari sang suami. “Lalu apa bedanya dengan kamu yang sudah saya dan Tante rawat sejak sepuluh tahun yang lalu, tapi justru memfitnah saya. Menghancurkan impian saya untuk menikah dengan Paramita. Dan membuat malu keluarga besar saya. Orang yang tahu balas budi tidak akan tega melakukan itu, Gembira,” balas Sultan telak. “Ta-tapi ….” “Tapi apa?! Berani-beraninya kamu mengajari. Seharusnya kamu berkaca, apa patas benalu seperti kamu ….” “Ira memang benalu!” sentak Gembira tak terima dengan manik berkaca-kaca. “Ira memang tidak tahu diri. Ira memang ….” Gadis itu tidak mampu lagi meneruskan kalimatnya karena kini tenggorokannya terasa amat pedih. Terlebih hatinya, yang sudah ditinju berkali-kali oleh kalimat kasar Sultan. Sultan mendengus sebal melihat gadis di depannya yang hanya mampu menangis. Dengan tidak peduli lelaki itu justru menjalankan kembali mobilnya. Ia sama sekali tidak merasa bersalah membuat Gembira menangis untuk kesekian kali karena perkatannya. Kamu yang lebih dulu memancing amarah saya, Gembira. Bersambung  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN