Tanpa masuk ke dalam rumah, Sultan kembali pergi kali ini untuk menemui sang kekasih. Paramita meminta untuk bertemu di sebuah restoran dan Sultan tentu saja menuruti permintaan gadis pujannya itu.
Setiba di restoran, Sultan segera menghampiri Paramita yang sudah lebih dulu berada di sana. “Sayang.” Sultan tanpa sungkan memberi kecupan pada pipi sang kekasih. “Udah lama nunggu ya?” tanyanya, lantas duduk tepat di samping Paramita.
Paramita menggeleng, “baru lima menit yang lalu,” jawabnya dengan senyuman kecil yang menambah pin kecantikan di wajahnya.
“Sudah pesan makanan? Kebetulan aku juga lapar.” Sultan mulai membuka buku menu, untuk memilih makanan yang ingin ia pesan.
“Mas,” panggil Paramita pelan. Ia meminta Sultan untuk datang ke restoran ini bukan untuk menikmati hidangan bersama, melainkan untuk membicarakan perihal permintaan orang tuanya yang menginginkan ia segera menikah dengan pria lain pilihan orang tuanya. “Ada yang ingin aku sampaikan,” ucap Paramita lirih dan ragu-ragu, karena perempuan matang itu sangat paham, jika topik pembicaraannya kali ini akan memantik amarah Sultan.
Sejujurnya berat bagi Paramita untuk mengatakan ini pada sang kekasih yang begitu ia cintai itu. Hubungan mereka yang terjalin sejak bertahun-tahun lalu, tidak mudah untuk dilupakan begitu saja. Namun, gadis itu juga nampak bingung, karena orang tuanya akhir-akhir ini mendesak agar Paramita segera menikah dengan pria pilihan orang tuanya.
“Kenapa, Sayang?” Sultan menutup buku menu dan memandang sang kekasih dengan penuh pemujaan, seperti biasa. Memandang Paramita seolah membuat Sultan lupa akan segalanya.
“A—aku ….” Paramita terlihat ragu-ragu untuk menyampaikan keinginan orang tuanya.
“Kenapa, sih, Yang?” Sultan meraih jemari Paramita dan memberi remasan lembut di sana.
“Orang tuaku ….” Paramita memberi jeda pada kalimatnya dan memilih untuk menghindari tatapan Sultan.
“Kenapa dengan orang tuamu, Paramita?” tanya Sultan tak sabar. Mimik wajahnya berubah keruh, curiga, bukan kabar menyenangkan yang akan disampaikan kekasihnya.
“Aku bingung harus gimana, Mas.” Paramita menarik jemarinya dari genggaman Sultan.
“Katakan, ada apa sebenarnya!”
“Orang tuaku meminta aku untuk menikah dalam waktu dekat,” ungkap Paramita dengan perasaan kacau. Gadis itu tak menampik masih begitu mencintai sang kekasih, namun ia juga ingin membahagiakan kedua orang tuanya dengan menerima perjodohan dengan pria pilihan orang tuanya. Terlebih, ia merasa hubungannya dengan Sultan sudah tak memiliki harapan lagi.
“Apa maksud kamu!?” tanya Sultan dengan wajah mengeras dan tatapan tajam.
“Maaf, Mas. Tapi ini permintaan orang tuaku.”
“Dan kamu setuju?” Sultan menggelengkan kepala. “Aku minta kamu untuk menunggu, setidaknya sampai bayi itu lahir. Dan aku bisa menceraikan Gembira, lalu kita bisa menikah.” Sultan mengacak rambut gondrongnya, ia benar-benar terpukul dengan kabar yang disampaikan kekasihnya. Ia pikir siang ini bisa menghabiskan waktu dengan sang kekasih seperti biasa. Makan bersama yang lantas diakhiri dengan pelukan penuh kerinduan setelah satu minggu mereka tidak berjumpa.
Melihat Paramita hanya terdiam dengan ekspresi ingin menangis, membuat Sultan berpindah duduk di samping kekasihnya itu. Sultan kembali meraih tangan Paramita dan mengusapnya lembut. “Atau kalau orang tuamu memperbolehkan kita menikah sekarang, aku bersedia,” ujar Sultan mencoba memberikan opsi lain pada sang kekasih.
Paramita memandang terkejut pada Sultan yang tengah menatapnya lekat. “Tapi, Gembira bagaimana?” Paramita tentu tidak ingin dicap sebagai pelakor, meski sebenarnya jika ia menikah dengan Sultan saat ini, ia hanya mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya.
“Kita sudah banyak berkorban demi anak itu. Mungkin memang sudah saatnya kita memikirkan nasib hubungan kita.”
“Tapi, aku tidak ingin dicap buruk oleh orang-orang, Mas. Aku tidak ingin dianggap sudah merebutmu dari Gembira.”
“Mengapa kamu harus berpikir sejauh itu? Yang lebih tepat dianggap sebagai perebut itu Gembira, bukan kamu. Orang-orang pun akan tahu, kalau kamu tidak pernah merebutku dari siapapun, karena sejak dulu dan selamanya aku adalah milikmu.” Sultan berujar tenang mencoba meyakinkan kekasihnya.
…
Namun setelah perdebatan alotnya dengan sang kekasih cukup lama, Sultan belum menemukan kejelasan mengenai hubungannya dengan kekasihnya itu. Paramita belum mengiyakan idenya untuk pernikahan mereka dalam waktu dekat. Kekasihnya itu terlihat dilema dan tak bisa menentukan secara jelas bagaiamana kelanjutan hubungan mereka.
Sultan berjalan gontai memasuki rumah. Lelaki itu sempat mampir ke bengkel, untuk melihat kinerja para karyawannya dan mengecek beberapa hal, sebelum akhirnya memutuskan untuk pulang. Ia tidak bisa berkonsentrasi penuh dengan pekerjaannya. Dan beruntung ia memiliki karyawan yang bisa diandalkan. Sultan merasa hari ini kepalanya serasa ingin pecah, gairah hidupnya seakan padam seketika setelah pertemuannya tadi dengan Paramita. Ia bekerja dengan keras mengumpulkan pundi-pundi rupiah demi bisa mempersunting Paramita, karena saat kuliah dulu, hubungan mereka sempat ditentang oleh orang tua Paramita.
Bukan saja karena keluarga Paramita yang lebih terpandang dan kaya dari keluarga Sultan. Ayah Paramita adalah seorang pengusaha swalayan yang memiliki puluhan cabang di penjuru Jabodetabek. Ibu Paramita menjabat sebagai kepala sekolah di sebuah sekolah Internasional di mana Paramita menjadi salah satu pengajar di sana. Alasan orang tua Paramita menentangnya juga karena masa lalu orang tua Sultan yang kelam, yang dianggap sebagai aib. Ibu Sultan kabur dengan selingkuhannya pada saat umur Sultan sembilan tahun.
Sultan sudah menaiki setengah anak-anak tangga ketika suara Gembira memanggilnya. Dengan keengganan luar biasa, Sultan menghentikan langkah dan menjawab tanpa menoleh. “Kenapa?”
“Kakak sudah makan belum? Kalau belum, biar Ira siapkan makannya sekarang,” ucap Gembira yang sudah melupakan kejadian tadi pagi di mana Sultan kembali membentaknya.
“Saya tidak lapar.” Sultan menjawab masih tanpa menoleh, bahkan kini ia dengan cepat kembali menaiki anak tangga.
“Tunggu, Kak.” Gembira dengan sedikit kepayahan mengejar Sultan.
“Saya tidak lapar, Gembira. Lebih baik kamu kembali ke kamarmu sebelum saya ….” Sultan menghentikan langkah ketika tangannya berhasil diraih oleh Gembira. “Kamu tidak dengar apa yang saya bilang?!” bentak Sultan membalikkan badan, dan lagi-lagi melayangkan tatapan tajamnya pada wanita yang berstatus istrinya itu.
Gembira mencoba tetap mempertahankan senyumnya. “Ira minta maaf tadi pagi belum bilang terima kasih pada, Kakak. Dan sebagai ungkapan rasa terima kasih, Ira tadi masak ayam lemon kesukaan, Kakak. Walaupun mungkin rasanya tidak seenak masakan Tante Sarah, tapi Ira harap Kak Sultan mau mencicipinya mumpung masih hangat.” Gembira berkata dengan nada memelas.
Sultan menghela napas, lalu menarik tangannya dari genggaman Gembira. “Tapi saya sudah makan, Ira. Dan sekarang sedang tidak ingin makan apa-apa lagi.” Suara Sultan lebih lembut dari sebelumnya, rahangnya pun tidak sekeras tadi.
“Sebentar saja, Kak. Cuma sesuap juga tidak apa-apa, Kak.” Gembira masih berusaha membujuk Sultan untuk mencicipi hasil masakannya.
Sultan tidak menggubris dan segera berbalik, kemudian dengan tegas Sultan langkahkan kaki kokohnya menuju kamar. Namun lagi-lagi langkahnya dijegal oleh Gembira yang masih berusaha membujuknya untuk mencicipi masakan gadis itu.
“Sebentar saja, Kak. Anggap ini sebagai ucapan terima kasih Ira ke Kakak, karena Kak Sultan sudah bersedia menemani Ira ke dokter,” bujuk gadis itu lagi yang makin berani dengan menggenggam telapak tangan Sultan.
“Ira, tolong, jangan pancing amarah saya!” Sultan membalik badan seraya menarik tangannya dari genggaman Gembira, memperingatkan gadis itu dengan geram. Saat ini lelaki itu sedang tidak ingin berdebat atau apapun, meski sebenarnya ia sudah ingin memuntahkan segala amarahnya pada Gembira. Karena jelas sekali, karena Gembiralah hubungannya dengan Paramita menjadi kacau seperti ini.
Gembira tak gentar dengan tatapan tajam Sultan. Karena ia tidak ingin hasil jerih payahnya setengah hari penuh di dapur sia-sia belaka. Meski ia paham, Sultan masih begitu marah padanya, Gembira hanya ingin memiliki kenangan menyenangkan di bulan-bulan terakhirnya berada di rumah Sultan ini.
“Ira kan cuma minta waktu Kakak sebentar saja,” sahut Gembira enteng. Gadis itu benar-benar mengabaikan singa di depannya sudah siap memangsanya.
“Kamu tahu, Gembira, dua jam yang lalu saya baru saja bertemu dengan Paramita—wanita yang sangat-sangat saya cintai. Kamu tahu apa yang tadi dia sampaikan ke saya? Paramita menyampaikan, jika dalam waktu dekat, dia akan dinikahkan dengan laki-laki pilihan orang tuanya. Dan semua ini gara-gara kamu!” Sultan menudingkan jari telunjuknya pada wajah Gembira dengan geram. “Gara-gara kamu, Gembira!” makinya lagi.
Gembira mematung. Begitu bingung harus berkata apa, karena lagi-lagi ia mendapat perlakuan buruk dari sang kakak tiri. Salahmu yang sudah membuat Kak Sultan marah. Dia tadi sudah memperingatkanmu, tapi kamu yang keras kepala! Suara hatinya memaki.
Melihat Gembira yanga hanya diam mematung, dengan wajah seperti tanpa rasa bersalah, membuat amarah Sultan semakin memuncak. “Jika sampai, Paramita menikah dengan laki-laki lain, maka saya pastikan, kamu akan selamanya tinggal di paviliun dan menjadi pembantu di rumah ini!” hardik Sultan.
Gembira terpaku, memandangi wajah frustrasi sang kakak tiri yang bisa dikatakan sedang sangat patah hati. Hati kecil Gembira mengakui, jika memang dirinyalah yang memiliki andil besar akan apa yang dirasakan kakak tiri sekaligus suaminya kini. Namun apakah, harus sesering ini Sultan menghardiknya dengan kata-kata menusuk?
“Kenapa Kakak selalu menyalahkan Ira? Kalau memang Kak Mita masih mencintai Kak Sultan, seharusnya dia bisa menunggu setidaknya sampai bayi ini lahir untuk meyakinkan orang tua Kak Mita kalau memang bukan Kak Sultan ayah dari bayi ini.”
“Kamu berani mengajari saya!?” Sultan melotot tak terima. “Kamu pikir, selama ini saya diam saja agar bisa meyakinkan dia untuk menunggu! Lagi pula, semua ini gar-gara kamu, yang sudah memfitnah saya! Kalau bukan karena kelakuan lacurmu ….” Ucapan Sultan terhenti karena Gembira dengan berani memotongnya.
“Ira memang hamil di luar nikah, Kak. Tapi Ira tidak seperti apa yang Kak Sultan pikirkan! Dan jika suatu saat semuanya terungkap, Ira pastikan, Kak Sultan akan menyesal telah menghina Ira sedemikian kejam!” seusai mengatakan itu, Gembira membalikkan badan dan dengan sedikit tergesa menuruni anak-anak tangga. Meninggalkan Sultan yang termangu memandangi punggung ringkihnya dengan tanda tanya besar bercokol di kepala lelaki itu.
Bersambung