Episode 7

1503 Kata
Gembira hanya mampu menangis setelah pertengkarannya dengan Sultan. Saat akan kembali ke kamar, di dapur, gadis itu berpapasan dengan Mbok Ning yang lagi-lagi hanya mampu menasihatinya untuk bersabar. Bersandar pada dinginnya dinding kamar, Gembira menyembunyikan wajahnya yang bersimbah air mata pada lututnya yang ia lipat. Isakannya begitu menyayati hati bagi siapapun yang mendengarnya, termasuk Sultan yang mendengar isakan lirih Gembira dari dalam kamarnya. Untuk beberapa lama, melalui jendela kamarnya Sultan masih memandangi kamar Gembira di bawah sana. Ia teringat akan perkataan Mbok Ning mengenai Gembira yang hanya memiliki dirinya. Sepeninggal Mama Ayuni—ibu tirinya, Sultan dan Tante Sarah bahu membahu merawat Gembira yang saat itu masih berumur sembilan tahun. Dan selama sepuluh tahun tinggal bersama dirinya, tidak ada seorangpun dari kerabat Gembira yang berniat mengambil alih hak asuh gadis itu. Sewaktu pernikahan mereka tiga bulan lalupun, wali hakimlah yang akhirnya menjadi wali nikah Gembira. Sudut hati Sultan sedikit tersentil, mengingat betapa tragisnya catatan takdir yang harus dijalani gadis yang saat ini tengah hamil itu. Namun lagi-lagi ketika bayangan kekecewaan wajah Paramita terlintas, membuat d**a Sultan terasa terbakar. Hubungan yang susah payah ia bangun dengan gadis pujaannya harus kandas oleh kelicikan seorang gadis yang saat ini tengah menatapnya balik dengan tajam. Gembira menyudahi tangisnya, karena tenggorokannya benar-benar terasa kering. Ia beranjak dari duduk untuk mengambil minum yang berdampingan dengan jendela yang berhadapan langsung dengan kamar Sultan. Tak disangkanya, ia mendapati Sultan tengah berdiri di balik jendela kamar lelaki itu dan menatap kamarnya tajams. Gembira balik menatap Sultan dengan sama tajamnya. Ia benar-benar masih tak menyangka sikap Sultan padanya berubah sedrastis ini setelah pernikahan mereka. Memang semua salahnya. Tapi apakah ia harus mendapat sebutan p*****r Cilik dan lain sebagainya dari laki-laki yang jauh lebih dewasa darinya itu? Gembira menarik diri, menyudahi menatap wajah kakak tirinya. Ia melanjutkan niat awalnya untuk mengambil minum. Meneguknya hingga tandas, Gembira kembali ke kasur untuk membaringkan tubuhnya yang benar-benar terasa letih. Malam hari saat jam makan malam tiba, Gembira menuju rumah utama. Perutnya sudah benar-benar pedih, meminta untuk segera diisi. Dalam hati, Gembira sangat berharap, ia bertemu dengan Mbok Ning di dapur, namun lagi-lagi takdir belum berpihak padanya, karena justru Sultanlah yang ia dapati tengah duduk di mini bar. Di hadapan lelaki itu tersaji secangkir minuman, dan tangan kiri Sultan menggenggam sebuah ipad. Jika bukan karena benar-benar merasa lapar, Gembira ingin kembali ke kamarnya saja. Namun, jelas ia tak ingin jatuh pingsan lagi, dan akan mendapat makian yang mungkin lebih kejam dari sebelumnya dari Sultan. Sehingga mau tidak mau, dengan langkah tak bersemangat Gembira memasuki dapur menuju meja tempat Mbok Ning biasa menyimpan makanan. Begitu membuka tudung saji, Gembira sedikit terkejut mendapati masakannya tadi siang berupa ayam lemon, sudah berkurang sebagian. Gembira melirik pada Sultan yang terlihat acuh dengan keberadaannya. Lalu Gembira melirik pada area cuci piring untuk menemukan jejak siapa pemakan ayam lemonnya. Nihil. Karena tidak ada satu piring pun yang berada di area cuci piring itu. “Jangan ge-er kamu, bukan saya yang menghabiskan ayam lemonnya, tapi Pak Ilham,” info Sultan, menyebut nama security di rumahnya. Gembira yang sempat merasa sedikit senang karena mengira Sultan bersedia mencicipi masakannya berusaha menekan perasaan kecewanya. Dengan pengendalian diri luar biasa, Gembira berusaha untuk tetap tenang mengambil makanan untuk makan malamnya malam ini. Gembira memindahkan tiga potong paha ayam, potongan tomat dan kentang ke piringnya. Lalu menuangkan jus jambu pada gelas. Gembira bersiap membawa makan malamnya ke kamar, dengan meletakkan piring di tangan kanannya, dan gelas berisi jus di tangan kirinya. Namun begitu ia mencapai pintu dapur yang terhubung langsung ke paviliun, suara Sultan berhasil menahan laju kakinya. “Makan di meja makan saja. Setelah itu saya mau bicara,” ucap Sultan. “Sekarang, Gembira! Jangan buat saya marah!” ucapnya lagi dengan suara sedikit keras begitu melihat Gembira masih berdiri di depan pintu dapur. Bukan karena takut membuat Sultan marah lagi, namun karena Gembira terlalu lelah berdebat, sehingga tanpa berkata apapun gadis itu menuruti permintaan sang kakak tiri yang juga berstatus suaminya itu. Gembira duduk di salah satu kursi di meja makan. Dengan tenang ia menghabiskan ayam lemon hasil masakannya tadi siang, yang ia menebak sudah dipanggang kembali oleh Mbok Ning karena masih hangat saat ia menyentuhnya. Tak lebih dari sepuluh menit, Gembira sudah menghabiskan isi piring dan gelasnya tanpa sisa. Gadis itu juga tanpa sungkan bersendawa cukup kencang, tak peduli Sultan akan memrotesnya. “Sudah selesai makannya?” Sultan sudah menghampirinya, berdiri menjulang di samping kirinya. Gembira mengangguk singkat lalu berdiri. “Ira simpan piring dan gelasnya dulu,” ucapnya, kemudian membawa wadah bekas makannya ke dapur. “Saya tunggu di ruang perpustakaan,” ucap Sultan lantas pergi menuju lantai dua. …. Gembira sudah mencuci piring dan gelas yang baru saja dipakainya sejak sepuluh menit yang lalu. Namun gadis itu masih bertahan di dapur bernuansa minimalis tersebut. Bersandar pada meja dapur, gadis itu memandangi kursi bekas Sultan duduk tadi. Gembira sangat paham, ke mana arah pembicaraannya nanti dengan Sultan. Lelaki berperawakan tinggi kekar itu, pasti akan menanyakan soal ayah dari bayi yang dikandungnya. Setelah sekian lama, Gembira bisa menghindari pertanyaan tersebut, Gembira tak yakin kali ini bisa menghindarinya lagi. Gembira sendiri merasa lelah diperlakukan semena-mena oleh Sultan. Namun ketakutannya jika ia jujur tentang segalanya juga tak bisa ia tepis begitu saja. Gembira takut jika Sultan justru menyalahkannya atau bahkan mengusirnya. Tak terasa air mata Gembira perlahan jatuh membasahi wajahnya yang teramat ayu. Gembira dilanda kebimbangan luar biasa, dan saat ini tak ada siapapun yang bisa ia mintai pendapat. “Saya minta kamu ke ruang perpustakaan, Gembira!” bentak Sultan yang sudah berdiri di ujung tangga dan menatap Gembira dengan tajam. Lelaki itu terkesiap, ketika mendapati wajah Gembira yang penuh air mata. “Kenapa kamu menangis?” tanyanya sama sekali tidak terdengar ramah. Gembira bergegas mengusap air matanya, dan menatap balik Sultan dengan sayu. Gadis itu benar-benar sudah tak berdaya. Jika malam ini ia harus terpaksa jujur dan berujung diusir oleh Sultan, maka Gembira hanya akan berusaha untuk kuat. Tanpa menjawab pertanyaan Sultan, Gembira melangkah pelan ke arah Sultan dan kemudian mengikuti langkah lelaki itu yang sudah lebih dulu menaiki undakan tangga dengan hati-hati. Mereka tiba di ruangan yang Sultan maksud. Ruangan yang beberapa waktu lalu Gembira bersihkan dengan susah payah, karena sampai harus menggotong-gotong tangga dari lantai bawah. Sultan lebih dulu duduk ujung kanan sofa, dan Gembira menyusul di sisi satunya. Untuk beberapa saat sepasang suami istri yang terikat pernikahan siri itu saling melempar kebisuan. Gembira memilih untuk menyembunyikan pandangannya dengan memandangi lantai berlapis karpet di bawah kakinya. Sementara Sultan berkali-kali mengembuskan napas, berusaha mengontrol emosinya agar tidak lagi melontarkan kata-kata kasarnya pada Gembira. Karena sejujurnya di lubuk hartinya terdalam ia pun tak tega memperlakukan Gembira seperti akhir-akhir ini. “Lihat saya, Gembira!” perintah Sultan dengan suaranya yang dalam dan terkesan sangat tak ingin dibantah. Gembira mau tidak mau mengangkat wajahnya untuk bisa menatap wajah maskulin Sultan. Jika ada pilihan lain, Gembira akan lebih memilih untuk kembali ke kamarnya. Dan jika saja uang tabungannya telah cukup, maka gadis itu tak segan untuk pergi dari rumah Sultan saat ini juga, sebelum Sultan lebih dulu mengusirnya. Selama ini, Sultan tidak pernah absen memberinya uang jajan yang lebih dari cukup. Sewaktu sekolah, biasanya Gembira mampu menyisihkan sebagian. Namun semenjak mengandung, kebutuhannya bertambah banyak karena ia harus membeli daster hamil, s**u hamil, vitamin dan buku-buku parenting. Dan menurutnya sekarang ini, saldo tabungannya belum bisa mencukupi kebutuhannya jika ia nekat pergi dari rumah kakak tirinya itu. “Saya meminta kamu ke sini untuk berdiskusi. Bukan untuk menghakimimu atau apapun. Dan saya minta maaf karena akhir-akhir ini saya sering berkata kasar padamu, Gembira,” kata Sultan dengan normal. Tidak ada penekanan dalam setiap katanya dan tidak terdengar menyakitkan bagi siapapun yang mendengarnya. Gembira hanya memberi anggukan, menanggapi kalimat Sultan. “Saya sudah berusaha untuk mencari tahu sendiri, siapa sebenarnya ayah dari bayi yang kamu kandung sekarang. Tapi sampai detik ini, saya belum bisa menemukan siapa orangnya,” beritahu Sultan yang terdengar putus asa di telinga Gembira. “Saya hanya ingin kamu jujur, Gembira. Saya janji akan bantu kamu semampu saya. Baik secara finansial atau apapun yang kamu butuhkan, tapi jangan seperti ini, Gembira, karena saya juga tersiksa dengan pernikahan ini.” Sultan menghela napas di ujung kalimatnya. Tanpa bisa dicegah, seperti sebelum-sebelumnya, ketika ditanya mengenai siapa sosok ayah dari bayi yang dikandungnya, tangan Gembira mendadak tremor begitu teringat tentang kejadian naas yang menimpanya lima bulan yang lalu. Keringat dingin pun perlahan menghiasi keningnya, dan wajahnya seketika pias. Gembira kehilangan fokusnya dan hanya mampu menggeleng-gelengkan kepala sembari meneriakkan, “tolong, jangan, Ira mohon, Om. Jangaaann!” Sultan yang panik segera menghampiri Gembira. Lelaki itu menangkup wajah Gembira agar bisa menatapnya. “Lihat saya, Gembira. Saya kakakmu, kamu dengar saya?” ucap Sultan berusaha menyadarkan Gembira. “Ira takut, Kak, Ira takut,” isak Gembira tak kuasa menahan air matanya. Selama ini gadis itu selalu menyimpan rasa traumanya seorang diri. Sultan tak kuasa melihat adik tirinya yang begitu ketakutan, akhirnya hanya mampu membawa Gembira pada d**a bidangnya. Mungkin memang bukan hari ini waktunya untuk mengetahui siapa pemilik benih di rahim Gembira. Batinnya frustrasi. Bersambung      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN