Bab 11 Siapa yang Peduli?

1977 Kata
Oke. Jadi begitu. Dia sejak awal sudah menetapkan aturan terkait hubungan mereka karena dia mencintai wanita lain. Well, mulai sekarang Brandy akan membangun tembok tinggi di antara mereka. Brandy menarik selimut dan berbaring membelakangi Rowan. Dia tidak bereaksi apapun terhadap pengakuan Rowan Marthin. Ya, siapa yang peduli dengan kehidupan pribadi Rowan Marthin? Sebelum menikah dia sudah mengetahui siapa pria itu sebenarnya. Jadi tidak ada masalah dengan urusan pria itu. Toh dia ada di sini untuk menyelesaikan masalahnya. Itu saja. Tapi tidur seranjang dengan pria asing yang baru dia kenal beberapa hari ini membawa perasaan aneh dan membuat Brandy merasa sedikit tersesat. Mereka tidur di ranjang yang sama dengan pembatas guling yang Rowan taruh di antara mereka. Tapi dia bisa mendengar suara napas teratur pria itu. Merasakan panas tubuhnya yang membuat punggungnya terasa hangat. Brandy menjadi gelisah dan alhasil kantuk pun tak kunjung datang. Sementara Rowan konsisten dengan kata-katanya. Pria itu tidur tenang sepanjang malam hingga pagi menjelang. Tidak terganggu sama sekali oleh Brandy yang bolak-balik gelisah. Brandy tetap terjaga sampai menjelang dini hari. Matanya begitu sulit terpejam. Akhirnya dia memperhatikan gaya tidur Rowan yang tenang dan tidak mendengkur. 'Hah! Tentu saja tidak masalah bagi seorang Rowan Marthin tidur seranjang denganku, karena dia sudah terbiasa tidur dengan banyak perempuan.' Ketus Brandy dalam hati. Dalam cahaya redup lampu kamar, wajah Rowan terlihat tenang saat tidur. Fitur wajahnya terlihat jelas, rahang tegas, hidung lurus, dan bibir yang sedikit menyeringai dalam mimpi. Matanya tertutup rapat, menambah kesan damai pada wajahnya yang tampan. Brandy terus memperhatikan Rowan dengan seksama, terpikat oleh kedamaian yang terpancar dari wajahnya saat tidur. Meskipun berusaha menahan diri, namun sulit untuk tidak terpesona oleh ketenangan dan daya tarik yang dimilikinya, yang bahkan saat tidur pun terlihat sangat menawan. Tanpa sadar Brandy tersenyum masam. s*x appeal Rowan memang sangat kuat, hingga banyak wanita terjerat. Tiba-tiba Rowan bergerak dan bergumam tak jelas. Namun masih tertidur pulas. Posisi tidurnya berubah menyamping dan tepat menghadap Brandy. Sesaat Brandy terkesiap, merasa panik karena dipergoki. Dalam kepanikan yang singkat, Brandy merasakan detak jantungnya berpacu cepat, khawatir bahwa Rowan mungkin telah terbangun dan mengetahui bahwa dia memperhatikannya. Namun, dengan lega, dia menyadari bahwa Rowan masih dalam tidur yang lelap. Napas Rowan yang teratur menunjukkan pria itu masih tertidur pulas. Dengan hati-hati, dia berusaha menenangkan diri dan kembali merasa nyaman di sisinya. Beberapa saat kemudian, Brandy tertidur. Itu sudah jam tiga subuh. *** Sinar matahari pagi sudah menyelinap di sela gorden jendela ketika Brandy terbangun. Dia membuka matanya yang terasa berat. Dia meraih ponselnya di meja kecil di samping tempat tidur untuk melihat jam. Sudah hampir jam enam. Brandy segera duduk tegak, mengabaikan rasa kantuk yang masih bergayut di matanya. Hari ini dia mendapat jadwal masuk pagi di rumah sakit. Brandy beranjak turun dari ranjang dan matanya melihat sisi tempat tidur tempat Rowan sudah rapi. Hemm! Pria itu cukup teratur juga rupanya. Brandy merasa senang sekaligus lega. Dia tidak suka pria ceroboh dan tidak rapi. Setidaknya kebiasaan Rowan tidak akan menambah bebannya selama dua tahun pernikahan mereka. Brandy melangkah ke kamar mandi sambil membawa jubah mandi yang sudah terletak di sofa panjang di ujung ranjang. Mungkin Rowan memindahkannya, karena semalam seingat Brandy, jubah itu masih tergeletak di atas ranjang. Dia menjalani ritual mandi pagi dengan terburu-buru. Saat dia keluar dengan rambut digulung handuk dan tubuh dibalut jubah mandi. Dia melihat Rowan sudah berada di kamar. Pria itu sedang duduk di sofa sambil membuka-buka dokumen. Dia mendongak, menatap Brandy. "Punya aktivitas khusus hari ini?" Tanya Rowan, yang sesaat kemudian kembali menunduk, fokus pada dokumen di tangannya. "Ya! Aku tugas pagi di rumah sakit." Jawab Brandy sambil mengeringkan rambut dengan hair dryer, berusaha menghilangkan perasaan canggung yang kembali muncul. "Kalau begitu nanti kita berangkat sama-sama." Ujar Rowan. “Oke.” Brandy menyahut singkat. “Di lemari ada beberapa potong baju yang dipesan Jasman di butik langganan kami. Untuk sementara kamu pilih saja dari apa yang ada. Semoga ukurannya pas untukmu.” Ujar Rowan lagi tanpa mengangkat kepala. “Saya akan memakai baju saya sendiri. Saya membawanya di koper hitam kecil, tapi saya belum menemukannya, mungkin sempat disimpan oleh pelayan.” “Kita tidak punya waktu untuk mencarinya saat ini.” Rowan mengangkat tangannya. “Sekarang kamu pakai dulu baju yang di lemari.” Kata-kata Rowan tegas, membuat Brandy mengangguk, enggan membantah. Brandy berjalan ke dalam walk in closet dan berganti pakaian. Dia memilih sepasang rok dan blouse berpotongan simple berwarna hijau pastel. Baju ini sebetulnya terlalu girly dan agak ngepas di badan, model yang kurang dia sukai, tapi tidak ada pilihan lain. Jadi Brandy memilih baju itu, mengenakannya dengan cepat, menyapukan bedak tipis di wajah dan menyisir rambutnya lalu diikat kuncir kuda. Dia kemelangkah keluar dari walk in closet beberapa saat kemudian. Rowan meletakkan dokumen itu di samping dan menatap Brandy serius. "Duduklah sebentar, Bree. Kita perlu bicara.” Ujar Rowan seraya menunjuk ujung sofa. “Aku akan menyelesaikan masalahmu secepatnya. Tolong ceritakan detailnya seperti apa. Aku ingin tahu diagnosa dan perawatan yang sudah kamu lakukan hingga mereka memiliki ide untuk menuduhmu melakukan tindakan malpraktik." Sambungnya saat Brandy terlihat ragu-ragu. Rowan sudah mempelajari kasus Brandy sebelumnya, dan dia merasa perlu melengkapi dengan data dokumentasi media yang detail sehingga bisa memiliki dasar untuk menyelesaikan masalah tersebut. Brandy duduk di ujung sofa, mengabaikan rasa canggung yang mengapung di antara mereka dan mulai menceritakan semuanya dengan hati penuh harapan, semoga masalah ini segera berlalu. Dahi Rowan tampak berkerut selama mendengar penjelasan Brandy, setelah itu dia mengangguk, tanda dia sudah memahami masalahnya. "Aku akan melakukan yang terbaik, Bree. Kamu bisa memegang janjiku. Dan aku harap kamu juga bisa memulai upaya perawatan pada kakek." "Baik. Saya akan memeriksa keadaan kakek terlebih dahulu. Sudah berapa lama beliau sakit?" "Sudah hampir setengah tahun. Kakek sudah berusia 72 tahun, tapi masih sangat enerjik. Melihat dirinya sekarang terbaring tak berdaya dan tidak bisa bicara dengan jelas, membuat kami merasa sedih. Aku harap kamu bisa membantunya, Bree." Ucap Rowan sambil menatap Brandy dengan penuh harap. Brandy mengangguk. "Aku akan berusaha semampuku. Tolong ditopang dengan doa ya," Ujarnya dengan nada ceria dan optimis. "Ya. Kamu fokus saja dengan tugasmu di rumah sakit dan proses perawatan kakek." Rowan berdiri dan mengambil sesuatu di laci, lalu menyodorkannya pada Brandy. Itu sebuah kartu berwarna hitam. "Apa ini, Rowan?" Brandy menerima kartu itu dan menatap pria itu bingung. "Itu kartu kredit unlimited." Jawab Rowan dengan nada geli, merasa lucu dengan pertanyaan Brandy. Senyum memenuhi mata pria itu. "Bu-bukan. Maksudku, kenapa memberikan ini padaku? Untuk apa?" Brandy merasa gugup melihat kartu eksklusif di tangannya ini. "Karena kamu adalah istri seorang Rowan Marthin. Nikmatilah kenyamanan yang bisa kuberikan selama dua tahun pernikahan kita, Bree. Aku sudah menjanjikan ini sejak awal, dan aku selalu menepati janji." Brandy terdiam. Sampai detik ini, bahkan sekalipun sudah tidur seranjang dengan Rowan Marthin, kesadaran bahwa dia sudah menjadi istri pria itu belum sepenuhnya nyata. Dan sekarang pria itu menyadarkannya akan statusnya itu. Brandy menghela napas panjang dan menghembuskannya perlahan. "Kamu harus menggunakannya. Ada nilai tidak terbatas yang bisa kamu belanjakan, terutama untuk memperbaiki penampilanmu." Kata Rowan. Apa? Brandy terkejut mendengar kata-kata Rowan. Bukankah itu sindiran akan penampilannya yang dinilai buruk? Dia ingin protes pada Rowan, tapi pria itu sudah masuk ke kamar mandi dan menutup pintu Brandy menatap pintu kamar mandi yang tertutup dengan perasaan kesal. Dia lalu beralih menatap bayangannya di cermin. Apa yang salah dengan penampilannya? Dahi Brandy mengerut. Dia merasa nyaman dengan penampilannya sekarang. Sejak dulu dia tidak mau menonjolkan diri dan memilih tampil dan berbusana sesuai dengan kenyamanan dirinya. Lelah merasa kesal sendiri, Brandy memutuskan mengabaikan kata-kata Rowan dan siap menjalani aktivitas sehari-harinya seperti biasa. Brandy sampai di rumah sakit diantar Rowan. Saat menyusuri koridor, dia bertemu dengan Sharon dan Natan. Sesaat rasa perih menyebar di dadanya. Walaupun sudah berjalan hampir setahun, melihat mereka bersama seperti saat ini tetap membawa rasa sakit dalam hatinya. Terlebih saat matanya bertemu dengan tatapan dingin Natan, Brandy merasa gamang dan sedih bercampur aduk. Tapi dia tidak ingin membiarkan Sharon mengganggunya lagi. Brandy berjalan melewati dokter Sharon Avilla dan Jonatan Calvin yang berdiri di depannya. Namun Sharon sengaja menghalanginya. "Dokter Colleen, apa yang sudah kamu lakukan untuk menyelesaikan masalah itu? Keluarga Dwelly semakin bersikeras untuk memenjarakanmu dan membuatmu kehilangan segalanya. Mereka sangat marah karena hingga saat ini nyonya Dwelly tua belum sadarkan diri." Brandy menatap wanita itu dingin. "Saya telah menyampaikan bukti dokumentasi pelayanan medis yang sudah saya lakukan." Dokter Sharon Avilla tertawa sumbang, jelas-jelas mengejek Brandy. "Tapi sepertinya bukti itu belum cukup, ya?" Tanyanya sambil menatap Brandy meremehkan. “Nanti juga akan terbukti, tuntutan mereka mengada-ada. Yang jelas, saya sudah melakukan yang terbaik dalam merawat pasien. Saya tidak akan membiarkan tuduhan ini menghancurkan karier saya." Sharon dengan senyum sinis berkata, "Semoga kamu bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik, dokter Colleen!" Brandy hanya menggigit bibirnya, berusaha menahan diri. Tentu saja tidak ada hal positif yang akan dikatakan Sharon, mengingat sudah bertahun-tahun hubungan mereka tidak pernah baik. Terlebih setelah Natan memilihnya, wanita itu menjadi semakin angkuh dan suka mengintimidasi Brandy. Tatapan dingin dan acuh tak acuh dari Natan membuat Sharon semakin berani menyerang Brandy. Dengan angin semangat yang dihembuskannya, dia mengingatkan Brandy tentang betapa beratnya konsekuensi dari tuntutan malpraktik yang menimpanya. Ekspresi senang tampak terpancar di wajah Sharon, seolah-olah dia menikmati kesempatan untuk menyakiti Brandy. Sharon berdiri sangat dekat dengan Brandy, "Kamu menyadari tidak, dokter Colleen? Karirmu dan masa depanmu sebagai dokter terancam akan hancur dalam beberapa hari ini." Ucap Sharon kejam. Brandy merasa tertekan, namun tetap tegar. "Saya menyadari risiko yang saya hadapi, tetapi saya tidak akan menyerah begitu saja." Saat berbicara, mata Brandy bertemu dengan mata Natan. Pria itu hanya diam saja, tetapi tatapannya tetap tajam dan acuh tak acuh, memberikan tambahan tekanan pada Brandy. Brandy menghela napas panjang. Dia teringat malam ketika dia pingsan, suster Merry menceritakan seorang pria yang panik dan khawatir. Namun sekarang dia terlihat tidak peduli, bahkan sepertinya sengaja membiarkan Sharon menyerangnya. Ada sesuatu yang seketika tenggelam di hati Brandy. “Kamu boleh merasa senang karena saya terlibat dengan masalah tidak masuk akal ini. Tapi saya tidak akan menyerah. Saya akan melawan tuntutan ini dengan segenap kekuatan yang saya miliki. Dan itu urusanku, jadi berhentilah mengganggu." Kata Brandy dingin. "Aku berhak memperingatkan kamu, dokter Brandy Colleen. Jangan lupa, aku manajer SDM dan Marketing di sini. Kasusmu membuat rumah sakit ini ikut terseret dalam kekisruhan yang akan mengancam reputasi baik selama ini. Jadi aku berhak ikut campur." “Oh, begitu?" Sudut bibir Brandy melengkung sinis. "Tapi Anda sama sekali tidak terlihat sedang berusaha mempertahankan reputasi baik rumah sakit ini, Anda justru tampil di sini sebagai pihak yang begitu bernafsu ingin melihat masa depan saya hancur. Jadi jangan bawa-bawa rumah sakit untuk menutupi hatimu yang penuh kejahatan, dokter Avilla!” Ujar Brandy lugas. “Dokter Colleen! Anda jangan menyebar fitnah!” Seru dokter Sharon Avilla sambil menoleh panik ke arah Natan. Brandy mendengus keras, lalu dengan cuek dia melangkah cepat melewati kedua orang itu dan pergi ke ruangan dokter residen. Brandy bertekad menyelesaikan masa residensi ini dengan baik untuk melengkapi pengalaman klinisnya. Jadi dia mengabaikan interaksinya dengan Sharon dan Natan. Brandy melaksanakan tugas seperti biasa di pagi yang sibuk itu. Dia berusaha tetap memberikan yang terbaik dalam pelayanannya, sekalipun ada beberapa orang perawat yang dia pergoki kasak-kusuk di belakangnya. Brandy hanya menarik napas panjang berkali-kali untuk menenangkan diri dan melanjutkan pekerjaannya. Saat selesai menangani seorang pasien, dia dipanggil oleh direktur rumah sakit ke ruangannya. "Dokter Colleen, saya harus memberitahu bahwa kepolisian telah mengirimkan surat panggilan untuk Anda terkait kasus yang sedang berlangsung." Kata direktur rumah sakit seraya meletakkan sebuah amplop di atas meja, di depan Brandy. “Pihak rumah sakit bisa membantu kan, Pak? Setidaknya bisa mendampingi saya…” Direktur memotong cepat, "Dokter Colleen, sayangnya dalam situasi seperti ini, kami tidak bisa memberikan bantuan lebih lanjut. Namun, Anda harus memenuhi panggilan tersebut. Saya sarankan Anda datang ke kantor polisi sesegera mungkin, tanpa menunda-nunda lagi." Lanjut sang direktur sambil bersedekap. Brandy membeku. Ketakutan. Tidak menduga mereka sudah sejauh itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN