"Hey!" panggil Luiz. Serak. Mengusap pelan sisi kanan wajah Caroline. Wanita itu bergerak. Terbangun dengan senyuman manis. Meski masih merapatkan mata, Caroline tahu siapa pria yang tengah berbaring di sisi nya. Semalam, lewat tengah malam, Luiz menyusup. Masuk ke kamar Caroline, mereka mengobrol sebentar. Membicarakan beberapa hal menyenangkan, lalu bercinta dan tidur sambil berpelukan hingga pagi. Mesra.
"Hey..." Caroline membalas. Menaruh tangan di d**a polos pria tersebut. Memeluk rapat. Luiz sigap, lekas memiringkan tubuh. Mencium puncak kepala Caroline.
"Jam berapa sekarang?" tanya Caroline.
"Sepuluh!" tegas Luiz. Sempat memeriksa arloji yang bahkan masih terpasang pada salah satu pergelangan tangannya.
"Apa? Elizabeth biasanya...."
"Aku mengunci pintu," sela Luiz. Membuat Caroline mengembus napas. Lega. Biasanya, Elizabeth masuk ke kamar untuk merapikan ruangan. Menanyakan kebutuhan Caroline, mulai dari makan, mandi, pakaian dan kebutuhan lainnya.
"Aku rasa mommy tahu kau ke sini semalam," tandas Caroline.
"Hmm..." gumam Luiz. Tidak menyanggah. Memang, ia sempat berpapasan dengan Milla tadi malam. Lorna juga memberinya izin masuk. Bergabung bersama Caroline. Hanya Alexander yang tidak tahu. Padahal, ia juga kembali hampir tengah malam semalam.
"Kau tidak kerja?" tanya Caroline. Menarik lengan Luiz. Menekan otot pria itu dengan ujung jarinya, lalu melirik arloji. Ia hanya ingin memastikan.
"Nanti siang," jawab Luiz serak. Menikmati kedekatan yang berselang waktu lama.
"Caroline. Kau masih tidur?" panggil suara dari luar. Sayup.
"Itu Vaye. Aku harus menemuinya. Aku sudah janji." Caroline menahan Luiz. Memegang lengan kekar pria itu. Wajah pria itu berubah. Kaku. Terlihat kurang senang.
"Ya." Luiz bergerak. Menuruni ranjang, sambil melirik ke arah pintu. Vaye berisik. Tidak berhenti memukul penghalang. Sial. Caroline duduk. Mengedarkan mata ke seluruh tempat. Mencari bathrobe. Sementara Luiz siap memasang bawahan.
"Aku pulang!" Luiz berjalan, mendekat. Mencium singkat bibir Caroline. Lalu mengusapnya.
"Pakai pakaian mu. Jangan pamer!" teriak Caroline. Melihat pria itu memungut pakaian. Luiz tersenyum miring. Mengangguk pelan. Ia berjalan, menuju pintu, lalu membukanya. Tanpa sengaja, pergerakannya membuat Vaye bergerak maju. Selangkah. Hampir menabrak Luiz. Pria itu mengeluh. Sejenak saling bertatapan. Vaye menelan ludah. Sempat menikmati tubuh tinggi penuh otot milik Luiz. Damn! sesaat Vaye sesak.
"Luiz," tegur Vaye. Pelan. Melempar senyum. Pria itu diam. Mendelik ke arahnya sekilas. Lalu memalingkan muka. Tanpa menjawab, Luiz bergeser. Mengambil langkah keluar dan segera memasang kaosnya.
Vaye mengembuskan napas. Cepat bergerak maju. Memerhatikan Caroline. Wanita itu sibuk. Mencari busana sambil melilitkan selimut di tubuh. Hampir sampai ke ruang walk ini closet.
"Caroline. Apa kau masih waras?" tanya Vaye, setelah menutup pintu kamar.
"Don't judge me!" tandas Caroline. Menarik jubah mandi, dan berusaha melekatkannya di tubuh.
"Sorry. Aku tidak akan menjudge mu. Aku ke sini untuk membawakan mu sesuatu," ucap Vaye. Tersenyum. Mengarahkan diri ke sisi meja. Mengeluarkan beberapa makanan dan minuman dari paper bag.
Caroline menoleh. Menyatukan tali di antara bathrobe lalu menyimpulnya. Kencang. Ia mendekat, ikut duduk di sisi sofa.
"Daddy baru pulang dari Eropa. Dan dia membelikan ku banyak makanan. Kau harus coba. Aku juga sudah mengirimkan paket pada Megan."
"Thanks, Vaye."
"Jangan berterimakasih. Aku teman mu, tahu," balas Vaye. Caroline mengangguk. Meraih salah satu bungkusan coklat. Ia menelan ludah saat melihat itu. Ingin segera mencicipinya.
"Bagaimana kandunganmu? Sudah di periksa?" tanya Vaye. Ingin tahu. Ikut membuka bungkus coklat lalu menelannya.
"Sudah. Dokter bilang kembar."
"What? Kembar? Oh My God. Aku akan menjadi aunty dari anak kembar," pekik Vaye. Senang. Mengangkat kedua tangan. Menggenggam rapat. Caroline tertawa. Turut ceria. Ia senang, karena orang di sekitarnya menunjukkan ekspresi penuh kebahagiaan. "Kau harus segera menyiapkan nama."
"Masih lama. Kandunganku masih empat minggu," balas Caroline.
"Jangan sepelekan! Jika perutmu sudah besar. Kau mungkin akan lebih sibuk. Pengalaman, dari kakak sepupuku. Dia terlalu menggampangkan sesuatu. Akhirnya, anak itu lahir lebih cepat dari perkiraan."
"Prematur?"
"Ya. Sekitar tujuh bulan. Beruntung, ia memiliki suami yang sigap. Jika tidak, aku tidak tahu ala yang akan terjadi dengannya."
"Aku rasa Luiz juga sigap," puji Caroline. Mengulum bibir.
"Kau benar-benar jatuh cinta padanya." timpal Vaye.
"Indeed," teguh Caroline. Malu.
"Oh ya. Kemarin aku tidak sengaja bertemu luiz di hotel Bright. Kalian check in?" tanya Vaye. Mengulum bibir. Sambil membulatkan mata.
"Hotel Bright?" ulang Caroline.
"Ya. Kau tidak bersamanya?" tandas Vaye. Kembali membuka bungkus coklat. Sambil memerhatikan perubahan sikap Caroline.
"Tidak. Beberapa hari ini aku banyak di mansion."
"Oh. Mungkin dia menemui seseorang. Makanan chinese di sana enak," timpal Vaye. Tersenyum lebar. "Tapi, kau harus hati-hati. Ingat kataku. Pria seperti Luiz biasanya, hanya menginginkan tubuhmu."
Caroline menahan diri. Mengedarkan matanya di sekitar Vaye. Ia menggigit bibir. Menoleh ke arah lain. Tepat ke atas nakas dimana ponselnya berada.
"Lagipula. Apa yang dilakukan seseorang jika berada di hotel. Mereka tidak mungkin hanya makan atau mengurusi pekerjaan," menusuk. Kalimat Vaye terdengar memprovokasi, dan sungguh, Caroline cemas. Mendadak hilang mood. Kacau. Kepalanya berputar. Perutnya seakan terguncang.
"Hmm. Vaye, apa kau bisa menungguku sebentar? Aku mual. Lagipula, aku harus mandi."
"Oh ya. Sure! Pergilah. Aku akan turun sebentar lagi dan menunggumu di taman kaca. Bagaimana?" tanya Vaye.
"Okay. Jika kau bertemu Elizabeth tolong beritahu dia untuk mengantar makananku ke taman!"
"Akan ku sampaikan," balas Vaye. Lalu melihat Caroline segera berdiri. Melangkah menuju bathroom tanpa permisi. Sebelum pergi, Vaye terlihat mengulum bibir. Meraih ponsel di dalam handbag. Menekan layar beberapa kali. Ia menjawab pesan dari seorang pria baru yang akan menyewa jasa layanan tubuhnya nanti malam.
***
"Jadi bagaimana semalam? Kau pasti menyemprotkan bisa ular sangat dalam," tegur Milla. Menarik lengan Luiz, menuju ruang tengah. Luiz menunduk. Tersenyum lebar tanpa suara.
"Luiz. Kau sudah bangun?" lagi. Kali ini Lorna mengambil alih. Melangkah cepat dengan tawa menggemaskan. Beralih tempat dari Alexander. Pria itu mendelik, kesal. Menghela napasnya panjang.
"Mom," tandas Luiz. Serak. Melirik sekilas pada Billy dan juga Alexander. Lalu, beralih ke arah Elizabeth saat wanita itu sengaja melintas dengan tatapan sayu.
"Elizabeth!" panggilnya datar. Membuat wanita berambut ungu itu menoleh. Semalam, ia mengganti warna rambut. Scoot mengatakan blonde tidak cocok dengannya. Norak.
"Ya? Kau memanggilku? Sungguh?" tanya Elizabeth. Memegang d**a. Sengaja mendesahkan suara. Lorna mendelik, sekilas melirik Milla. Aneh.
"Bawakan Caroline makanan. Tolong!" ucap Luiz. Penuh permintaan.
"Siap. Segera!" tandas Elizabeth. Mengangkat tangan. Memberi hormat, dan segera pergi.
"Kau sangat perhatian!" puji Lorna.
"Dia hanya mencari perhatian. Tidak lebih!" saut Alexander. Seraya mengambil coffee. Menenggaknya tipis. Luiz mengangkat pandangan. Sedikit memiringkan bibir. Berniat mengabaikan.
"Jangan dengarkan! Kau pulang saja!" dorong Milla.
"Aku dengar, putri kedua keluarga Moreira sangat cantik. Kau tidak tertarik?" lagi. Alexander memprovokasi. Kali ini menoleh, sengaja memperhatikan Luiz.
"Bagaimana jika aku bilang tidak?" balas Luiz. Perlahan melangkah. Mendekat. Alexander berdiri. Membenarkan suit biru gelapnya. Ia lebih rapi. Ingin menghadiri pertemuan penting.
"Akan lebih baik jika kau tertarik. Karena putriku sama sekali tidak butuh pertanggungjawaban mu."
"Alexander cukup!" teriak Lorna. Berlari mendekat. Berusaha melerai. "Tolong! Jangan cari masalah!"
"Kalimat itu tidak keluar dari mulut Caroline."
"Luiz." panggil Billy. Berusaha menyela. Hanya tidak ingin mendengar pertengkaran. Terlalu sering. Ia juga masih menghadapi Megan. Putrinya, mendadak menolak pernikahan.
"Biarkan saja Billy. Aku ingin lihat sampai di mana dia bisa mengkhianati Lux yatch," imbuh Alexander. Membuat Lorna memegang kepala.
"Aku tidak berkhianat," sanggah Luiz.
"Tidak? Scoot, katakan berapa anggota klub yatch yang masih mendukungku?" tanya Alexander. Menuding pemuda tampan dengan rambut sedikit lebat itu tajam. Scoot menelan ludah. Menoleh pada Luiz cepat.
"56 kontrak," sebutnya. Pelan.
Alexander terdiam. Kembali mengambil langkah. Menyisakan jarak kurang dari satu meter. Cukup dekat dari Luiz. Keduanya saling bertatapan, dalam.
"Sepertinya. Beberapa hari lagi akan lebih menipis." Luiz mengerutkan bibir. Tersenyum menghina. Alexander tidak tahan. Banyak protes yang ia hadapi akhir-akhir ini, keuntungan kosong, banyak pengeluaran tidak penting akibat kehilangan anggota klub yatch.
"Apa yang kau inginkan?" mendadak. Alexander berteriak. Lantang. Memegang kerah pakaian Luiz dengan kedua tangan. Mencengkeram keras. Lorna mendekat. Takut. Berusaha mencegah konflik. Luiz memutar bola mata. Terlihat santai. Benar-benar memprovokasi.
"Aku berbisnis untuk Open Sea. Jadi, aku harus menguntungkan mereka."
"Jangan merebut orang ku!" lagi. Alexander berteriak. Kencang. Membulatkan kedua matanya lebar.
"Sudah ku katakan! Kau harus lebih berusaha, dad!" Luiz memegang kendali. Menarik tangan Alexander. Menepisnya tanpa ragu.
"Kau. Berani padaku?" Alexander mengangkat tangan. Mengepal keras. Berharap mengenai Luiz. Namun, pria itu sigap. Gesit menahan pukulan Alexander. Lorna tercengang. Menutup mulutnya rapat. Milla hanya diam. Sedikit terkejut.
"Ini belum seberapa. Kau akan lihat nanti, dad!" ancam Luiz. Membuat Alexander sedikit ragu.
"Kau ataupun Open Sea. Tidak akan bisa melakukan apapun padaku. Lagipula, saat ini aku masih menjadi ketua kelab Yatch. Mereka tidak akan mempercayakan anak ingusan sepertimu!"
"Anak ingusan itu membuat putrimu hami. Kembar." Milla spontan berteriak. Tersenyum di tengah marah. Bahkan menepuk tangan. Alexander mendelik. Mengerutkan kening, sambil menatap Milla.
"Kembar?" tanya Alexander.
"Iya. Kembar. Cocok, kau pegang satu, aku pegang satu," balas Milla. Masih melebarkan sudut bibir. Riang gembira tanpa beban.
Alexander bergetar. Kembali mengangkat pandangan. Tepat ke arah Luiz. Ia menarik tangan. Mengepal keras. Lehernya tegang. Ingin marah. Yang ia tidak terima bukan anak di dalam kandungan Caroline. Tapi, Lux yatch sedang hancur karena pria yang menghamili putrinya.
"Kau...." tunjuk Alexander. Geram. Luiz bergeser, mundur beberapa langkah. Terlihat begitu santai dan dingin. Seperti biasa.
"Jangan meremehkan ku!" sambung Luiz. Mengedarkan matanya. Sesaat menetap ke arah Billy yang bahkan tidak membela putranya. Ia benci. Merasa cukup muak. Ketergantungan keluarganya terhadap Morgan berlebihan. Pria itu mundur. Mulai mengambil langkah pergi.
"Sampai kapanpun, kau tidak akan bisa mengalahkan ku. Kita lihat saja nanti, kau pasti akan kembali ke dalam Lux yatch dengan sendirinya. Dan saat itu, aku tidak lagi akan menerima mu!" teriak Alexander. Penuh ancaman. Tanpa melepas pandangan, hingga pria tersebut menghilang. Alexander bergeser, mengambil vas bunga, lalu melemparnya. Pecah. Lorna mundur. Berteriak ketakutan. Turut berlari menjauh sambil menangis.
"Lorna..." panggil Milla. Mengejar wanita itu menuju elevator.
"Sir. Open Sea mengundang mu untuk acara kelab yatch sabtu malam ini, mereka juga berniat memilih ketua baru untuk kelab. Kau di anggap tidak bisa memimpin karena saham mu anjlok," ulas Scoot. Dalam waktu yang jelas tidak tepat. Alexander menoleh, melangkahkan kaki mendekati pria itu. Menarik ipad dari tangannya dan membantingnya juga.
"Katakan aku tidak akan datang!" teriak Alexander. Kesal. Berlalu pergi.
"Beraninya, mereka ingin mempermalukan ku dengan cara seperti ini!" batin Alexander. Tanpa menghentikan langkah. Semakin jauh dari mansion. Berlalu keluar. Billy menarik napas. Mengusap hidungnya. Ia pusing. Jalan pikiran Alexander rumit. Namun, ia berjanji setia seumur hidup. Apapun yang terjadi. Ia lebih tahu maksud dan sikap pria itu. Hanya marah sesaat. Ia hanya benci mengakui kekalahan. Billy ikut memutar langkah. Mengikuti Alexander kemanapun.
Sementara. Dari sudut lain. Vaye memperhatikan. Ia menarik napas. Panjang. Akhirnya keluar dari persembunyian. Sejenak, ia berdebar. Baru saja mengetahui, jika Alexander kurang setuju dengan keberadaan Luiz. Ia terkejut. Karena sikap Alexander ternyata lebih dari apa yang ia pikirkan. Caroline tidak sampai seserius itu menceritakan masalah hubungan Alexander dan Luiz padanya.
Tringg!! Ponsel Vaye berdering. Suara notifikasi masuk. Ia memijat kening. Segera membaca. Sebuah berita masuk. Update terbaru. Segera, ia membaca berita. Terlihat antusias.
'Caroline Morgan, diduga hamil.'
*foto Caroline bersama seorang pria keluar dari klinik obgyn kemarin.*