"Daddy, masih di luar kota?" tanya Caroline. Menatap wajah Lorna lewat pantulan cermin.
"Malam ini, dia pulang. Kenapa? Kau rindu bertengkar dengan daddy mu?" tandas Lorna, fokus menyisir rambut Caroline. Menggantikan Elizabeth, yang saat ini sibuk di dapur. Permintaan wanita hamil itu banyak. Pagi ini, pelayan dibuat repot. Hampir tidak berhenti bekerja.
"Bukannya besok? Ini belum dua hari," sambut Caroline. Mengusap wajahnya dengan pelembab.
"Alexander tidak akan bisa berlama-lama meninggalkan mommy mu yang cantik ini, tahu," celetuk Milla. Teguh bersandar pada ambang pintu. Melipat tangan di d**a. Caroline tersenyum, pulas. Menggelengkan kepalanya pelan. Terlebih, hidung Caroline sensitif. Bersin saat terkena debu.
"Edward sudah berangkat? Aku lihat berita mu mengunjungi apartemen nya beredar luas," ucap Lorna. Penasaran. Memicingkan sudut mata.
"Mungkin sudah. Aku belum menghubunginya," balas Caroline. Lemah.
"Malam ini, penampilan perdananya, 'kan?" timpal Lorna. Menaruh sisir di sisi nakas. Lalu, mengancing pakaian putrinya yang terbuka.
"Yah!"
"Kau sudah akhiri hubunganmu bersamanya?" tanya Milla, tanpa ragu. Lorna mendelik, memberi kode. Perlahan menggerakkan tubuh.
"Belum." Caroline tertuduk. Memijat tepi pelipisnya pelan sambil mengembus napas. Terdengar lepas.
"Semua karena Alexander. Dia membuat putriku kesulitan!" tegas Lorna. Kesal. Menggenggam salah satu tangan.
"Kau butuh bantuan, honey?" tawar Milla. Menatap tegas.
"Tidak, Mom. Aku akan selesaikan sendiri. Lagipula, Luiz setuju jika aku mengakhiri semuanya setelah tour dunia Edward selesai."
"Luiz setuju?" tanya Milla. Spontan. Mengulang pernyataan Caroline untuk memastikan.
"Ya." anggun Caroline.
"Baiklah. Mommy mempercayaimu. Kau sudah dewasa. Aku yakin, kau bisa mengambil keputusan," ucap Lorna.
"Mom..." panggil Caroline. Membuat kedua wanita itu menoleh. Menempatkan diri lebih dekat.
"Ya?" jawab keduanya kompak.
"Jika aku terpaksa memilih Edward. Apa kalian akan kecewa?" tanya Caroline. Menelan ludahnya kasar. Mengusap perut. Mendadak mual. Ia menarik napas. Mati-matian menahan diri yang nyaris meledakkan sisa makanan.
"Jika kau memilih Edward. Bagaimana Luiz dan...."
"Mom, apa aku seperti p*****r?"
"Caroline. Apa maksudmu?" tanya Lorna. Menaruh salah satu tangannya di bahu putrinya. Memeluk, serta menepuk serta pelan pundak wanita itu.
"Caroline. Ada yang ingin kau katakan?" tanya Milla. Mengerutkan kening. Penuh kecemasan.
"Mom. Aku bertunangan bersama Edward. Tapi, kalian tahu, anak yang berada didalam kandunganku bukan anaknya. Selama aku berhubungan dengan Edward, selama itu juga aku menyakitinya. Mom, aku...."
"Tolong lihat mommy!" sela Lorna. Mengangkat dagu putrinya cukup lebih tinggi. Mengusap lembut sisi wajah wanita itu. "Kau bukan p*****r. Kau putriku, pewaris kedua dari keluarga Morgan. Kau tahu siapa daddy mu, dan kau tahu dari mana asalmu. Jadi, jangan memikirkan hal yang aneh."
"Aku melihat komentar di media sosial," celetuk Caroline. Membuat Lorna berpaling. Sebentar saling bertatapan ke arah Milla.
"Abaikan! Mereka tidak tahu bagaimana kehidupanmu. Siapapun, tidak bisa menilai mu berdasarkan apa yang mereka lihat maupun dengar. Hidupmu, milikmu sendiri!" peringatan Milla.
"Tapi, Mom..."
"Kami ada untukmu, honey. Kau tidak perlu takut. Orang yang membencimu, tidak akan pernah memiliki penilaian baik terhadapmu. Jadi, tetaplah hidup untuk yang mencintaimu!" tandas Lorna. Memegang tangan Caroline. Erat. Menatap dalam. Penuh kasih sayang, seperti biasa.
"Mommy mu benar. Kau harus fokus. Jangan stress. Kau tidak ingin ular kembar itu tersiksa,' kan?" tanya Milla. Membuat Caroline mendadak tertawa. Lebar. Mood-nya langsung berubah.
"Kau lebih cantik jika tersenyum. Ayo! Caroline bukan tipe wanita lemah," tandas Lorna. Menyemangati.
"Mommy mu dulu lebih kacau. Dia tidur bersama daddy mu, beberapa minggu menjelang pernikahannya bersama pria lain," terang Milla.
"Benar, Mom?" tanya Caroline.
"Ya. Karena wanita ini memberiku perangsang," tunjuk Lorna ke arah Milla.
"Lalu, jadilah Maxent yang sangat mirip dengan daddy nya," tekan Milla.
"Aku kira akan jadi anak ular." singgung Caroline.
"Anak ular hanya kau!" balas Milla.
"Aku tidak tahu, kenapa mommy tahu sebutan itu," celetuk Caroline.
"Kau belum tahu?" tanya Lorna. Membuat putrinya menggeleng.
"Aku tidak ingin mempermalukan putraku. Jadi, ku rahasiakan!" ungkap Milla, mengayun tangan.
"Ceritakan saja. Itu baik untuk mood wanita hamil!" pinta Lorna. Menatap Milla. Tegas.
Milla menelan ludah. Sejenak mengulum bibir. Ragu. Lorna menatapnya. Penuh harapan, sama halnya yang dilakukan Caroline. Wanita itu mungkin tidak akan tidur. Ingin tahu.
"Baiklah. Tapi, kau harus janji! Jangan mengungkitnya di depan Luiz. Ini rahasia antara ibu dan anak, tahu?"
"Ya, Mom. I promise!" ulas Caroline. Membulatkan mata. Menyiapkan diri mendengar cerita. Milla menjelaskan, betapa gilanya Luiz saat bertemu alkohol. Tabiatnya membuat semua orang lupa bahwa dia pria yang cukup dingin. Pendiam, dan kaku. Seketika, Caroline tertawa, keras. Mendengarkan Milla, seksama. Ia hampir melompat. Sulit membayangkan. Betapa lucunya Luiz saat itu.
"Nona. Seseorang mengantarkan bunga untukmu!" usik Elizabeth. Memeluk bouquet roses yang cukup besar, di isi dalam kotak eksklusif berwarna hitam.
"Bunga? Dari siapa?" tanya Caroline. Menghentikan tawa.
"Uwuw. Ada yang mencoba bersikap romantis," sindir Milla. Girang.
"Aku tidak tahu. Katanya, kau akan tahu jika membaca pesan di ponsel mu," jelas Elizabeth. Bergerak masuk. Mengedarkan mata. Mencari tempat untuk menaruh bunga.
"Ponsel?" Caroline bergerak. Menarik benda itu segera. Lorna serta Milla berlari. Mendekat. Mendaratkan mata pada layar bersamaan. Membaca pesan yang masuk, tiga puluh menit lalu.
'Aku sibuk. Mungkin tidak bisa menemui mu hari ini. Semoga kau suka. I love you.' From Luiz.
"Luiz?" tatap Milla. Tegas. Memandang tidak percaya. Caroline apalagi, ia malah mengecek nomor pria itu di daftar kontak. Memastikan, bahwa angka-angka itu sama.
"Caroline. Sungguh, dia benar-benar mencintaimu." tandas Lorna.
"Sure. Putraku sangat. Sangat. Sangat mencintai putrimu. Aku terkejut. Syok, hingga sulit bernapas. Dia ternyata bisa seromantis ini," ucap Milla. Memegang d**a. Salut. Caroline tersenyum, membalas pesan Luiz tanpa ragu. Mengetik cepat. I love you too.
Lorna mengulum bibir. Saling senggol bersama Milla. Mereka berhasil menenangkan Caroline. Terlebih, roses kiriman Luiz sepertinya akan membuat putri mereka bahagia. Sangat!
***
Bright Hotel Restaurant | 12. 35 PM
"Bagaimana? Kau sudah mempelajari kontrak?" tegur Shannon. Membelah steak ayam yang ada di hadapannya. Santai.
"Hmm," balas Luiz. Serak. Mengunyah pelan. Menaruh ponselnya ke sisi meja.
"Ada yang membuatmu tidak setuju?" tanya Shannon.
"Akan ku bicarakan pada Arthur," tegas Luiz.
"Kau bisa mendirikan club yatch sendiri jika menerima ini. Harusnya kau berterimakasih padaku karena meyakinkan daddy."
"Thanks." timpal Luiz. Pelan.
Shannon terdiam. Menaruh salah satu tangan di dagu. Menatap Luiz sambil tersenyum. Lebar.
"Sepertinya. Hubungan kita juga bisa lebih baik," imbuh Shannon.
"Kita tidak punya masalah!" sahut Luiz.
"Really? Tapi, kau masih terlihat dingin. Aku jadi penasaran, apa sikapmu sama saat kau bersama kekasihmu?" tanya Shannon. Membenarkan rambut. Meraih gelas berisi alkohol, sambil menenggaknya.
"Sepertinya. Kehidupan pribadiku penting bagimu!" geram Luiz. Menegakkan tubuh. Menatap intens ke arah Shannon. Wanita itu tersenyum, menggelengkan kepalanya. Pelan.
"Begini saja. Aku punya tawaran bagus. Berkatmu, nama Open Sea saat ini mulai menyaingi Lux Yatch. Perusahaan yang kau tinggalkan. Saham mereka akan jatuh. Cukup jauh. Dengan begitu, kita sama-sama tahu, Open Sea akan memiliki peluang lebar untuk menjadi pemegang utama kelab. Dengan saham 20% yang kau punya, aku bisa mengusul namamu untuk menjadi ketua kelab yang baru." Shannon berhenti bicara. Menatap Luiz. Tajam. Menunggu respon. Pria itu mendelik. Sedikit menyipitkan mata. Tipis.
"Apa yang harus aku lakukan?" tanya Luiz. Tegas.
"Mudah. Daddy hanya ingin kau menjadi pasangan ku di acara Kelab minggu depan. Dengan begitu, orang akan percaya dan menganggap mu lebih masuk akal untuk menjadi ketua kelab."
"Aku tidak berambisi menjadi ketua kelab," dengus Luiz. Serak.
"Tapi kau berambisi untuk menjatuhkan Alexander. Katakan, jika kalimatku salah!"
"70% benar."
"Itu artinya. Kau punya rencana lain," timpal Shannon. Membaca situasi. Cukup mampu menebak Luiz. Pria itu diam. Sekilas melontar senyum. Smirk.
"Hanya menjadi pasangan mu, 'kan?" tanya Luiz.
"Kau juga bisa meniduri ku jika mau," celoteh Shannon. Lekas membuat Luiz mendengus. Tidak tertarik. Percayalah, ia memiliki rencana. Besar. Cukup untuk merusak reputasi Alexander. Sementara ia mengambil tempat. Shannon membuka jalan. Lebar. Cukup mulus.
"Tidak tertarik? Okay. Tidak masalah. Kita hanya cukup bergandengan dengan mesra. Itu saja!"
"Hapus poin ke tiga dari kontrak!" pinta Luiz.
"Kau banyak sekali permintaan. Sebaiknya kita menyewa kamar. Bagaimana?" tanya Shannon. Luiz mengangkat pandangan. Menelan ludahnya kasar. Sejenak ia menunduk. Meraih segelas minuman tanpa alkohol.
"Aku hanya tertarik meniduri kekasihku!"
Shannon tertawa. Keras. Mengusap lengan Luiz. Merasakan otot-otot kencang pria tersebut. Kuat. "Kau terlalu serius. Aku hanya becanda. Tenang saja. Aku tidak akan menganggu hubungan mu dengan kekasih misterius mu itu. Tapi, maaf, aku tidak bisa menghapus poin ketiga tanpa asas keuntungan. Jadi, pikirkan hal lain yang bisa kau tawarkan pada Open Sea." Shannon berdiri. Sedikit menurunkan rok. Membenarkan posisi. Ia mendekati Luiz. Spontan mengecup pipi pria itu. Intens. Luiz bergeser. Berusaha menepis. Ia mengerutkan kening. Mengusap bekasnya dengan kesal. f**k!
"Aku pulang dulu. Kali ini, kau yang bayar!" lirik Shannon. Lantas, melenggang santai. Bergerak menjauh. Luiz mengembus napas. Meraih tissue, membersikan sisa lipstik di wajahnya.
"Dia sangat menarik. Sayangnya terlalu kaku. Tidak masalah, yang penting, Open Sea bisa berhasil. Aku hanya ingin membuat daddy bangga," gumam Shannon dalam hati. Terus melangkah, bergerak keluar dari pintu utama hotel Bright. Tanpa sadar, semua tindakan mereka sejak awal terfoto, oleh seorang wartawan yang menyamar.
"Luiz?" mendadak. Sebuah suara dari arah kanan terdengar berat. Membuat pria itu lekas menoleh. Luiz menelan ludah. Menatap raut wajah heran wanita yang terlihat familiar olehnya.
Olivaye Mavka.
"Kenapa kau di sini?" tanya Vaye. Tegas. Menenteng handbag nya yang mahal— Gucci.
"Makan!" jawab Luiz. Datar.
"Sebanyak ini? Sendiri?" leguh Vaye. Menunjuk ke arah meja. Ia membulatkan mata. Merasa curiga. Luiz berdeham. Berat. Enggan menjawab. Ia berdiri, mengemasi bawaannya. Lantas, menoleh ke sisi lain dan pergi begitu saja. Vaye mengulum bibir. Meraih ponsel, membuka camera, sambil mengarahkannya pada Luiz. Pria itu sedang berada dikasir. Sibuk membayar.
"Maaf. Nona! Kau tidak bisa mengambil foto di sini!" tegur seorang pegawai. Tampak menghalangi.
"Oh. Okay!" tandas Vaye. Malu. Lekas menurunkan ponsel. Tidak berhasil mengambil bukti. Vaye kesal. Melirik ke arah lain, sambil menghentakkan kakinya ke dasar lantai. Namun, beberapa saat kemudian, Vaye kembali melebarkan bibir. Melempar senyum ke arah pria yang memiliki umur sekitar lima puluh, dengan rambut tipis mulai memutih. Lebih kecil darinya dan buncit.
"Om. Kita langsung ke kamar saja, yuk!" ajak Vaye. Menarik lengan pria itu menjauhi Luiz.
"Kau tidak jadi makan?"
"Nanti saja. Aku lebih suka Om yang memakanku!" balas Vaye. Tersenyum lebar.
"Kau nakal!" cubit pria itu. Tepat di sisi pinggulnya. Vaye tertawa. Membalas perlakuan pria itu, manja. Tanpa berhenti melangkah, hingga sampai ke sebuah kamar.
"Aku menyukaimu, Ro...."
"Rose, Om. Kau menyukaiku, tapi lupa namaku," ucap Vaye. Mengulum bibir. Kesal. Pria berbadan tambun itu pun tertawa. Mengusap rambut pirang Vaye. Mengendus aroma wanginya. Perlahan.
"Akan ku ulangi. Aku ingat."
"Coba sebutkan. Lengkap!" pinta Vaye.
"Rose Oriana Lafyeth." sebut pria itu jelas. Membuat Vaye mendelik. Mengangkat sebelah alisnya. Lalu, mendapatkan kecupan yang terasa menjijikkan bagi Vaye. Ia hampir muntah. Namun, berusaha menahan diri demi uang. Ia menjajakan diri sejak setahun terkahir. Keluarganya di ambang kehancuran, dan sebentar lagi akan bercerai. Namun, baru-baru ini, Vaye sengaja mengambil nama serta identitas Rose demi melindungi nama Mavka— keluarganya.
***
Los Angeles, California. AS | 21.00 PM
"Diangkat?" tanya Rami. Melekatkan pandangan, tepat ke arah Edward. Pria itu mendelik. Mengangkat tatapannya, segera.
"Mungkin dia sibuk, atau sudah tidur," balas Edward. Kembali menyodorkan ponsel. Rami mengeluh, kasar. Meraih benda tersebut, lalu menonaktifkannya. Menyimpan ke dalam saku suit.
"Ed."
"Ya?" Edward meraih kotak berisi rokok. Meraih salah satu barusan didepan. Membakarnya cepat.
"Ada yang ingin aku sarankan padamu," tandas Rami. Mengeluh berat.
"Ya. Katakan saja! Kau tidak perlu tegang." Edward menghisap rokok. Melepaskan asapnya ke atas. Sejenak, ia menelan ludah. Melirik ke arah panggung yang sebentar lagi, akan dikuasai nya. Tour pembuka akan dimulai.
"Kau harus melupakan Caroline!" tegas Rami. Tanpa berpaling. Menatap satu tujuan. Jelas. Edward termenung sejenak. Lantas, mendengus pelan. Ia menggeleng kepala. Mengangkat salah satu tangannya..
"Melupakan Caroline? Kau tidak lihat ini apa? Aku bertunangan!" jelas Edward. Menunjuk salah satu jarinya. Tepat.
"Ed..."
"Rami, jangan mulai lagi. Ini hidupku, kau bisa mengatur apapun tentang pertunjukan, konser, photoshoot. Whatever! Tapi, jangan dengan Caroline."
"Masalahnya...."
"Edward. Kau harus bersiap. Bisa matikan rokok mu?" sela seorang wanita berperawakan tegap, dengan raut wajah datar. Rambut hitam legam, disanggul rapi kebelakang. Sedikit lebih tua. Daphne Flort— eksekutif produser— yang mencanangkan acara besar bagi Edward.
"Yes. Sure!" timpal Edward. Menjatuhkan rokok, lalu menginjaknya kuat.
"Edward!"
"Rami, Edward harus tampil. Apapun yang ingin kau bicarakan, nanti, setelah tour selesai. Tanggungjawab sangat diperlukan untuk mempersiapkan semua ini," ulas Daphne.
"Ya. Semoga sukses. Tidak ada pembicaraan serius. Aku hanya sedikit terbawa suasana," balas Rami. Mengulum bibir. Berusaha mengulas senyum ke hadapan Edward.
"Okay." Daphne membalas. Menepuk pundak tegap Edward. Melempar senyum ramah.
"Goodluck, handsome!
"Thanks, DF," tandas Edward. Sembari meraih mikrofon. Mendengar alunan musik lagunya dimulai.
"My pleasure."