Caroline berdecak kesal. Menaruh ponselnya ke atas meja rias. Ia menarik napas. Merapatkan pengait pakaian tidurnya yang tipis. Sejenak, ia mendelik. Menghadap lebih ke atas. Elizabeth terlihat fokus. Merapikan rambut panjangnya yang halus.
"Media, sepertinya tidak lagi menghargai privasi-ku. Biasanya, daddy yang mengurus masalah ini. Tapi, dia membiarkan ini berlarut-larut," pikir Caroline. Kesal. Membaca berita yang kembali viral. Tentangnya mengunjungi apartemen Edward.
"Aku sudah selesai, Nona," celetuk Elizabeth. Serak. Memerhatikan kaca. Tepat ke arah pantulan wajah Caroline yang cantik.
"Hmm. Rapikan walk in closet. Berantakan!" titah Caroline. Ketus. Masih kesal dengan cerita yang di sampaikan Luiz tadi pagi. Caroline merasa terjebak. Padahal ia tahu, bukan Elizabeth dalang nya.
"Baik. Nona." Elizabeth mengangguk. Menggaruk pelipis. Heran. Tidak biasanya Caroline bersikap dingin. Elizabeth risih. "Nona, apa aku punya kesalahan? Jika iya, aku sungguh minta maaf."
"Rapikan saja walk in closet hingga bersih!" tegas Caroline. Melipat tangan di d**a.
"Iya." Elizabeth mengangguk. Lekas bergerak memutar. Mengambil langkah menjauh.
"Ranjangku dahulu. Kau tahu kan aku ingin istirahat?" tandas Caroline. Kesal. Elizabeth menoleh, menatap arah kasur.
"Ranjangmu sudah rapi, Nona."
"Apa kau tidak lihat seprainya? Aku tidak mau tidur dengan ranjang berwarna pink norak seperti itu!"
"Akan ku ganti, segera!"
"Ya. Cepat!"
Caroline berpaling. Kembali memerhatikan wajahnya. Ia tersenyum. Tipis, sambil memerhatikan Elizabeth sesekali.
"Nona, aku dengar kau hamil. Benar?"" celetuk Elizabeth. Terdengar penasaran.
"Ini salahmu. Tahu?"
"Aku? Nona tapi—"
"Kau harusnya memeriksa pil itu, bagaimana jika seseorang menukarnya dengan racun? Hah?" tanya Caroline. Berang. Terdengar kesal.
"Apa ada yang menukarnya? Aku tidak tahu."
"Ya. Kau memang tidak tahu apapun!" ketus Caroline.
"Tapi, tuan Luiz sempat memeriksanya."
"Kau tidak perlu menjelaskan apapun! Aku sudah tahu. Dasar licik!" tuding Caroline.
"Licik? Nona, maaf. Aku sama sekali tidak...."
"Bukan kau!" terang Caroline cepat.
"Tapi, apa tuan Edward mau bertanggungjawab atas anak itu?" tanya Elizabeth. Membuat Caroline menoleh. Tajam.
"Ini bukan anak Edward! Jangan sembarang bergosip!" tegas Caroline lantang. Mengusap perutnya yang terasa mulas.
"Oh. Bukan anak Edward." Elizabeth menggigit bibir. Mengerutkan dahi. Ia berputar, mendekati lemari kayu yang berada di sisi ruangan. Berniat mengeluarkan seprai baru. Ia berpikir. Banyak hal. Pria yang menghamili Caroline mistery baginya dan pelayan.
"Bagaimana hubunganmu dengan Scoot?" Celetuk Caroline.
"Hah? Scoot? Aku tidak tahu, kenapa dia kabur saat melihatku. Padahal, aku sudah berupaya glow up!" jelas Elizabeth. Curhat. Terlihat sedih.
"Mungkin dia malu. Ngomong-ngomong, potongan rambutmu bagus." puji Caroline.
"Terimakasih, Nona. Aku yakin, ini cocok untukku. Sebentar lagi, aku pasti akan mirip dengan bule-bule di sini," ucap Elizabeth. Tersenyum lebar.
"Ya. Asalkan kau tidak mengganggu Luiz. Orang terdekatnya pasti akan sangat marah!"
"Tuan Luiz sudah punya kekasih?" tanya Elizabeth. Spontan.
"Tidak juga. Hanya saja. Orang satu ini sangat garang. Dia bisa membuatmu botak!" tegas Caroline. Membuat Elizabeth terlihat takut. Ia menelan ludah. Kasar. Sedikit membenarkan rambut.
"Aku akan melupakan Luiz. Akan!" batin Elizabeth. Memegang dadanya yang terasa sakit. Menepuknya pelan.
"Dasar. Bodoh!" gumam Caroline pelan. Lalu melihat wanita itu kembali mengemasi ranjangnya.
***
"Nona, sudah. Kau bisa beristirahat. Aku akan mengemas Walk in Closet."
"Ya!" Caroline mengangguk-angguk. Sekilas melirik. Lalu kembali fokus ke arah ponselnya.
"Pintu kamarnya. Mau ku tutup?" tanya Elizabeth.
"Biarkan saja!"
"Baik." Elizabeth bergegas. Mengayun langkah menjauh. Ia harus cepat. Tubuhnya penat setelah seharian beraktivitas. Hari ini, Caroline lebih banyak permintaan.
"Jadi, kau mengunjungi Edward?" tegur seorang pria, dari arah pintu. Membuat Caroline mengangkat pandangan. Cepat.
"Luiz? Kenapa kau di sini?" tandas Caroline. Serak. Bergerak mendekat. Pria itu masuk. Menutup pintu dan menguncinya.
"Luiz, ada...."
"Kenapa tidak bilang?" tanya Luiz. Menyela pernyataan Caroline. Turut mendekat. Hingga kedua pandangan mereka seakan menyantu, kekal.
"Mendadak. Jadi, aku tidak sempat mengabari mu," jelas Caroline. Menelan ludahnya kasar.
"Ada kabar baik?" tanya Luiz. Tanpa mengalihkan pandangan. Caroline mendelik. Menggigit bibir bawahnya yang tipis. Ia menggeleng kepala. Tertunduk menyesal.
"Kau sepertinya tidak berniat mengakhiri hubungan itu bersama Edward."
"Luiz. Bukan itu, aku hanya..."
"Hanya apa?" sela Luiz. Serak.
"Tolong. Berikan aku waktu. Hanya sampai tour Edward selesai," pinta Caroline.
"Kau memilihku, 'kan?" tanya Luiz. Sengaja menurunkan pandangan. Tepat ke arah perut wanita itu. Dalam. Caroline diam. Merapatkan barisan gigi. Enggan menjawab.
"Caroline..." panggil Luiz. Pelan. Menyisipkan rambut wanita itu lembut. Ia mendekat, lebih merapatkan diri, dan saat Caroline mengangkat pandangan, Luiz segera menempatkan bibir. Mencium wanita itu. Lekat.
Beberapa saat. Caroline menutup mata. Meremas sisi pakaian Luiz. Demi Tuhan, merasakan pria itu, membuat Caroline lupa. Ia larut. Sulit berpikir. Luiz berhasil menempatkan diri. Cukup lama, ciuman mereka semakin dalam, mulai panas. Tidak ada yang berusaha ingin melepas. Hingga mendadak, keduanya terpaksa berhenti. Mendengar suara pintu walk in closet bergeser.
Keduanya menoleh. Menatap samber suara.
"N-nona?" tanya Elizabeth, menahan napas. Sesak. Hampir pingsan, setelah melihat jelas bagaimana keduanya berciuman. "K-kau bilang. L-Luiz Gay...."
"Apa?" tanya Luiz, dengan dahi mengerut.
"Kau sebaiknya keluar!" Caroline melangkah. Mendekati Elizabeth, lalu mendorong wanita itu keluar.
"Nona..."
"Aku sudah bilang. Jangan macam-macam, apalagi mendekati Luiz!" ucap Caroline tanpa sadar. Membuka pintu, mengeluarkan Elizabeth yang masih terpana. Wanita itu terdiam. Mengetuk kepala dengan ujung jari, hingga Caroline semula menutup pintu.
"Aku tidak percaya. Luiz, yang sangat dingin, bahkan sulit di sentuh. Ternyata memiliki hubungan khusus dengan putri Tuan Alexander. Sangat wajar, jika dia tidak pernah menerima wanita lain. Nona Caroline tidak kurang apapun," timpal Elizabeth, berkali-kali menelan saliva. Mengusap d**a. Masih tidak percaya atas apa yang ia lihat.
"Kenapa kau di sini?" tanya Milla. Tidak sengaja lewat. Berniat bergerak menuju kamar Lorna. Wanita itu memanggilnya, Alexander pergi keluar kota, bersama Billy dua hari.
"Aku di usir," ucap Elizabeth. Asal. Menggelengkan kepala. Melewati Milla begitu saja. Nyawanya masih mengambang. Tidak percaya.
"Aneh!" ucap Milla. Menggelengkan kepala. Menatap Elizabeth sesaat. Hingga wanita itu hilang dari pandangannya.
***
"Jadi, kau takut jika ada wanita lain mendekatiku?" tanya Luiz. Menggoda. Tersenyum lebar.
"Itu Elizabeth. Bukan wanita."
"Kau cemburu?"
"Aku? Cemburu? Tidak mungkin. Sudah aku katakan aku tidak cemburu pada wanita manapun yang mendekatimu. Baik itu Rose, Elizabeth atau siapapun!" tegas Caroline.
"Yakin?"
"Sangat yakin. Lagipula kau memilihku," ucap Caroline. Mengusap perut. Menjadikannya alasan. Luiz mengembus napas, menarik lengan wanita itu. Kembali merapatkan diri, lalu memeluk pinggul Caroline. Rapat. Pautan mereka begitu lekat. Sulit dipisahkan.
"Berjanjilah. Apapun yang terjadi, kau akan bersamaku!" pinta Caroline. Tanpa melepas pandangan. Menelan kasar ludahnya.
"Bagaimana jika kau yang meninggalkanku?" tanya Luiz.
"Tidak akan. Aku akan selesaikan semua setelah Edward kembali. Aku janji!" sumpah Caroline.
"Lepaskan cincinmu!"
Caroline mengangkat tangan. Memerhatikan jemarinya. Ia menunduk. Mengusap berlian berwarna putih yang begitu indah. Cocok.
"Kau bahkan ragu melepaskan cincin itu!" celetuk Luiz. Caroline mendengus, segera menarik cincin. Menyodorkannya pada Luiz.
"Sudah ku lepas!" ucap Caroline. Mendelik tajam. Luiz menurunkan pandangan. Mengangguk berat.
"Akan ku ganti dengan yang lebih baik," janji Luiz.
"Jangan habiskan uangmu. Aku tidak..."
"Kau meremehkanku?"
"Luiz, apa maksudmu? Aku tidak meremehkan. Hanya saja, berlian ini mahal. Kau lebih baik gunakan uang mu untuk hal yang lebih perlu," jelas Caroline. Lalu merasakan pria tersebut menyeka bibirnya dengan ujung jari. Lembut.
"Aku akan melakukan apapun untukmu dan anakku!" ujar Luiz. Menatap kedua mata biru Caroline yang mengilap. Wanita itu tersenyum. Mengangguk pelan. Lantas, merengkuhkan tubuh dalam pelukan Luiz.
"Sedikit lagi," batin Luiz. Mengecup puncak kepala Caroline, sambil mengusapnya lembut.
"Berjanjilah. Apapun yang terjadi, jangan pernah meninggalkanku," lagi, pinta Caroline. Merasakan dekapan Luiz yang terasa hangat.
"Aku bersumpah!" balas Luiz. Berat. Tepat ditelinga Caroline.
***
Keesokan pagi....
"Kalian sudah memeriksa kandungan?" tanya Lorna. Menaruh makanan di piring putrinya. Pagi ini meja makan sepi. Hanya para wanita yang sarapan bersama. Lorna, Caroline dan Milla.
"Sudah. Dokter bilang mungkin kembar," jawab Caroline.
"Kembar? Sungguh?" tanya Milla. Membulatkan mata cukup lebar.
"Ya. Mereka ingin aku memeriksanya lagi bulan depan untuk memastikan."
"Oh my God. Aku tidak menyangka, bahwa ular milik putraku menyemprotkan bibit unggul," kekeh Milla.
"Ya. Aku harap, jika bayi ini lahir, mommy mu membantuku merawatnya."
"Tenang saja. Kau punya dua mommy dan dua daddy yang bisa membantumu. Semua aman," balas Milla.
"Daddy tidak akan membantu. Dia bisa apa?" keluh Caroline.
"Jangan meremehkan nya. Saat aku dan Billy bertengkar. Alexander membantuku merawat Luiz."
"Jadi, daddy dulu sempat merawat Luiz?" tanya Caroline.
"Ya. Hanya beberapa hari. Aku rasa dia dendam. Karena saat kecil, Luiz beberapa kali mengencingi nya," timpal Milla. Membuat Lorna tersenyum malu.
"Mom, itu benar?" Caroline menarik lengan Lorna. Berniat mencari tahu. Penasaran.
"Ya. Aku tidak tahu, kenapa di saat melepas popok, Alexander menggendongnya dan Luiz langsung mengencingi nya," timpal Lorna. Membuat Caroline tertawa.
"Bagaimana wajah daddy saat itu?"
"Frustrasi. Dia memintaku segera mengambil Luiz."
"Tapi, kau harus ingat. Karena nya Luiz pernah harus dibawa ke dokter," celetuk Milla.
"Kenapa?" tanya Caroline.
"Daddy mu berusaha membantu mommy. Dia menaruh s**u begitu banyak ke dalam botol minuman Luiz. Alhasil, Luiz kembung."
Lagi, Caroline tertawa. Keras. Cukup bahagia, hanya dengan mendengarkan kisah masa kecil Luiz. Lorna dan Milla banyak bercerita, makanya, Caroline ingat jelas kapan pria itu pertama kali menciumnya. Kadang terbesit, andai, ia bisa kembali ke masa kecil. Indah, tanpa beban. Alexander memanjakannya. Sangat.
"Aku merindukan kakek," ulas Caroline. Mengulum bibir. Lorna mendekat. Mengusap punggung putrinya penuh kasih sayang.
"Jika masih hidup, dia pasti akan sangat menyayangimu."
"Oh ya. Bagaimana Mitchela? Aku tidak pernah mendengar kabar apapun lagi, setelah menikah dengan dokter kandungan mu," ingat Milla.
"Siapa Mitchela?" tanya Caroline penasaran.
"Dia dulu pernah menjadi asisten pribadi daddy mu. Cantik. Makanya, kakek mu suka," balas Lorna. "Aku juga. Sudah lama tidak mendengar kabarnya. Semoga, apapun yang terjadi, dia baik-baik saja."
"Ya. Aku harap begitu. Wanita itu baik. Dulu kita bergosip bersama. Mungkin, akan lebih menyenangkan jika kita bisa bertemu sekarang," harap Milla. Melihat Caroline mulai menyentuh makanannya. Enggan memberi tanggapan. Ia tidak memiliki ingatan jelas tentang wanita yang disebut-sebut itu.
***
"Luiz, ini berkas kontrakmu. Kau bisa mempelajarinya. Jika tidak ada masalah, kita bisa segera menandatanganinya," ucap Shannon. Menaruh lembar kertas di meja.
"Ya," angguk Luiz tanpa menoleh.
"Besok. Apa kita bisa makan siang bersama?" tanya Shannon. Berani. Melipat tangan di d**a tanpa ragu. Luiz diam. Menjatuhkan ballpoint ke sisi meja. Ia mengangkat pandangan. Menatap Shannon beberapa saat.
"Minggu ini, daddy akan mengadakan pesta dengan mengundang anggota club yatch, beberapa orang mulai bergabung bersama Open Sea karena mu. Mereka juga ingin melihatmu sebagai anggota Open Sea. Jadi, aku butuh kau untuk menyusun acara," jelas Shannon. Seakan paham, bahwa Luiz butuh alasan. Sejenak, Luiz berpikir. Sekilas melirik kalender.
"Oke!" jawabnya tegas.
"Thanks. Akhirnya kau tidak mempersulit ku. Besok, pukul satu siang, di restauran hotel Bright!" jelas Shannon.
"Hmm." Luiz mengangguk. Tidak memberi jawaban lebih. Namun, memuaskan untuk Shannon. Wanita itu tersenyum tulus. Memutar haluan pandangan serta tubuhnya. Bergerak pergi.
Luiz meraih ponsel. Memerhatikan layar. Hari ini, berita tentang Edward dan Caroline belum mereda. Belum lagi, pernyataan Edward saat menjelaskan pada wartawan, mengenai alasan Caroline tidak ikut tour dunia begitu dramatis. Pria itu menempatkan posisi Caroline menjadi prioritas, namun, sama sekali tidak mengecewakan fans. Edward, layak mendapatkan tempat di hati banyak orang. Ia terlalu tulus. Hari ini, pria itu berangkat. Meski begitu, Luiz tidak akan mengalah demi Caroline. Pria itu tengah berjuang, berusaha untuk memantaskan diri. Diam-diam, Luiz memiliki rencana lebih besar.
Jari-jemari Luiz bergeser. Memeriksa berita lewat media sosial, fake account i********: miliknya aktif. Lalu, pria itu bergeser, membetulkan posisi. Membaca sebuah komentar yang terlihat menyudutkan Caroline.
"Gadis itu p*****r. Dia tidur bersama pria lain. Namun, bertunangan dengan Edward stark. Aku tidak sabar, ingin melihatnya hancur."
Luiz menekan komentar. Berniat membalas. Namun, gagal. Mendadak, kalimat itu hilang. Mungkin di hapus pemilik postingan.