Chapter 7 : Hidden Information

2383 Kata
"Aku dengar, kau memiliki berita bagus. Benar?" seorang pria dengan mimik wajah datar. Alis tebal, hidung tidak terlalu mancung, namun, memiliki mata hijau kabut. Menatap sosok wanita asing yang berada dihadapannya. Tepat. Albert Anniston— direktur utama The Fun. Media televisi yang sebenarnya kurang diminati. "Ya. Sangat bagus." "Kau tahu kan, saat ini kau sedang membicarakan siapa?" tanya Albert membakar rokok. "Karena itu, aku ingin menemui mu langsung. Kebetulan, aku tahu banyak hal tentang keluarga Morgan." "Hmm. Ngomong-ngomong, siapa kau sebenarnya?" Wanita itu diam. Sejenak mengulas senyum. Menepis rambut kebelakang. Seakan memamerkan wajah. Ia mendengus, meraih ponsel dari dalam saku jeans miliknya. "Rahasiakan namaku. Yang penting, aku punya bukti, 'kan?" tanya wanita itu, memutar sebuah rekaman. Terdengar sayup. Namun, terdengar cukup jelas. Albert mengerutkan alis. Melirik ke arah ponsel. Mendengar tanpa kata. Wanita itu memutar sebuah percakapan. Terdengar begitu jelas, suara Caroline yang tengah mengakui kehamilannya. Albert tersenyum, tipis. Sedikit memposisikan tubuh, lebih tetap. "Berapa uang yang kau inginkan dengan berita sebagus ini?" "Kau tahu harganya mahal. Bagaimana jika kau saja yang menentukannya?" tawarin wanita itu. Santai. Melipat tangan di meja. Menggenggam ponsel. Rapat. "The Fun, sanggup membayar seratus ribu dollar di muka. Jika jurnalis berhasil membuktikan, aku akan mentransfer dua ratus ribu dollar lagi, kau bisa tinggalkan nomor rekening," tandas Albert. Terdengar ambisius. "Okay. Siapkan uang mukanya sekarang, akan ku berikan buktinya." "Baik. Dan, aku juga akan membuatkan mu kontrak. Jangan jual berita ini pada yang lain, hingga The Fun selesai mempublikasikan seluruh isinya," pinta Albert. Serius. "Done!" "Senang bekerja sama denganmu nona...." "Rose. Rose Oriana Lafyeth." "Rose. Nama yang bagus. Seperti berita yang kau berikan." "Thanks. Aku sangat senang jika kau segera mempublikasikannya." *** "Kandunganmu, hampir memasuki usia empat minggu," jelas seorang dokter. Wanita paruh baya dengan bidang yang jelas lebih spesifik. Obgyn. Memutar alat di sisi perut Caroline, sambil menatap layar monitor. "Empat minggu? Artinya itu terjadi di villa," pikir Caroline. Menelan kasar ludahnya. Melirik sekilas ke arah Luiz. Pria itu fokus. Ikut menatap layar meski tidak memahami. "Apa kau pernah mengalami pendarahan atau nyeri?" tanya dokter. Melirik sejenak ke arah Caroline. "Tidak. Hanya sesekali pusing dan mual." "Sepertinya anakmu kembar. Tapi, karena masih terlalu muda, aku belum bisa memastikan. Kau bisa datang lagi bulan berikutnya. Delapan minggu, cukup untuk menetapkan." "Kembar?" tanya Caroline. Serak. Mendadak membayangkan saat menggendong bayi kembar dengan kedua tangannya. "Ya," dokter tersebut tersenyum. Menarik alat. Menaruhnya semula. Seorang perawat yang sejak tadi mendampingi, sigap. Membantu Caroline membersihkan perutnya. Wanita itu segera bangkit. Turun dari ranjang, dan melangkah mendekati Luiz. Dengan sigap, pria itu menyambutnya. Memegang salah satu tangan Caroline. Menggenggam erat. "Ada yang ingin kau tanyakan?" "Bayiku sehat, 'kan?" sela Luiz. Cepat. "Ya. Normal. Aku lihat, kandungan Nyonya Caroline sangat kuat. Meski begitu, jangan terlalu kasar saat bermain." Caroline menunduk. Mengulas senyum malu. Sejenak, ia mengangkat pandangan. Menatap ke arah Luiz. "Oh ya. Ada yang ingin aku tanyakan," tandas Caroline. Mendadak. "Ya? Tanyakan!" "Kau yakin kehamilanku empat minggu? Hmm. Maksudku, dalam rentang itu, aku sempat meminum kontrasepsi darurat. Apa itu tidak memberi efek baik pada kandunganku atau...." Caroline menggigit bibir. Takut. Merakan Luiz terus menggenggam tangannya. Terasa menguat. "Kontrasepsi darurat memiliki keefektifan hanya sekitar delapan puluh lima persen. Jika aku lihat, intensitas hubungan seksual mu di dalam rentang masa subur. Maka peluang kontrasepsi lebih mengecil." Caroline mengangguk. Menarik napasnya dalam. Lalu mengembus perlahan. Ia bergeser. Menaruh tangan satunya di perut. Mengusap lembut. Spontan. "Akan ku berikan vitamin, dan di minum setiap hari sebelum tidur." "Thanks," ucap Luiz. Serak. Tersenyum tipis. Terlihat tenang. *** "Aku tidak menyangka. Hubungan pertama kita di Villa langsung membuatku hamil," celetuk Caroline. Mengeluh kasar. Menatap jalan lewat jendela mobil nya. "Kau mungkin tidak harus mempercayai Elizabeth seratus persen," tandas Luiz. "Maksudmu?" tanya Caroline. Menoleh cepat. Luiz bungkam. Hanya mengangkat kedua bahu. Fokus menyetir. "Luiz jangan bilang kalau kau—" "Aku tidak ingin membuatmu hamil. Tapi, kontrasepsi berbahaya." "Berengsek! Jadi kau bekerja sama dengan Elizabeth?" tanya Caroline berteriak. Tegang. "Tepatnya. Dia tidak tahu. Aku hanya membantunya menukar pil itu," ulas Luiz. Tersenyum lebar. "Lalu, bagaimana kau? What the f**k, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Caroline. Penasaran. Sedikit mengangkat tubuh. Menatap Luiz. "Aku sudah jelaskan." Luiz menegaskan. "Kau belum menjelaskan apapun! Kau menukar pil nya? Hah?" "Aku hanya melihat kesempatan." "Apa yang kau minum kan padaku?" geram Caroline. "Vitamin penyubur rambut mommy." "Milla?" "Hmm.. Salahmu, kau tidak mengenali bentuk pil itu." "Berengsek! Kau sengaja menghamiliku? Lalu mengatakan kalau Elizabeth dalang nya? Hah? Berengsek! Berengsek!" Caroline tegang. Memukul Luiz beberapa kali. Pria itu bergeser. Turut menghindar tanpa melepas pandangan dari arah jalan. Ia tertawa. Lagi, cukup lepas. "Berhenti menertakanku atau...." Caroline berhenti bicara. Mendadak menabrak Luiz. Pria itu mengerem. Sengaja menekannya kuat. Menghentikan mobil, tepat didepan traffic light— merah. Luiz sigap, menarik pinggul Caroline. Semakin dekat. Memberi kecupan singkat, lalu memegang sisi lehernya, mendekatkan bibir. Memberi ciuman. Dalam. Caroline menarik napas. Tenang. Merasakan tubuhnya cepat merespon. Napas hangat yang diberikan Luiz menenangkan. "Apapun yang terjadi. Aku akan bertanggung jawab. Okay!" jelas Luiz. Menyatukan kening. Mengusap sisi wajah Caroline. Pandangan mereka lekat. Saling menatap satu sama lain. "Hmm. Akan ku potong ularmu lalu ku jadikan soup, jika kau macam-macam!" balas Caroline. Melebarkan tangan. Memeluk Luiz sementara waktu. Dalam. "Ponselmu," leguh Caroline, dengan napas terengah. Melepas ciuman. Luiz menelan ludah. Terpaksa melepas. Menarik ponsel, menatap layar. "Siapa?" tanya Caroline penasaran. Turut memerhatikan. "Rekan kerjaku," balas Luiz. Mengangkat panggilan. "Luiz kau dimana? Aku di kantor. Tolong datang sekarang. Daddy bersamaku, ada yang perlu kita bicarakan," ucap Shannon. Cepat. "Ya," tutup Luiz. Menaruh kembali ponselnya. Menekan gas mobil saat traffic light berganti warna. "Ada apa?" tanya Caroline. "Aku harus ke kantor, setelah mengantarmu ke mansion." "Kenapa tidak mengantar ku ke Penthouse?" tahan Caroline. "Kendaraanku di mansion." *** Open Sea Yatch "Masuklah!" sambut Arthur Moreira. Melempar senyum begitu ramah, melihat Luiz. "Hmm." Luiz mengangguk. Mengedarkan seluruh mata. Sempat menatap ke arah Shannon. Wanita itu duduk santai. Melipat kaki di sudut sofa. Sibuk membaca berkas. "Ada masalah?" tanya Luiz. Serak. "Tidak. Tentu saja tidak. Ayo, Shannon. Kita bicarakan ini di luar." ajak Arthur. Tanpa menjelaskan. Luiz mengulum bibir. Malas. Namun, terpaksa menurut. Ia butuh keluarga Moreira. Bisnis miliknya masih setengah jalan. "Aku sudah memesan meja di hotel Bright," tandas Shannon. Membuat Arthur mengangguk. "Hotel?" "Ya. Aku dan Shannon biasa makan di sana. Chinese food. Sangat enak," balas Arthur. Luiz mengulum bibir. Menggaruk pelipis kanan nya. Ragu. "Ayo! Ikut saja." Shannon mendekat. Merangkul lengan Luiz. Rapat. Menarik pria itu melangkah keluar ruangan. *** Sambil mengobrol. Arthur tidak berhenti mengunyah. Pelan menyantap makanan. Mengisi perut. Ia cukup akrab bicara bersama putrinya. Shannon moreira. Sejak tadi, Luiz hanya diam. Sesekali mengunyah, sambil melirik ke arah ponsel. Menunggu Caroline mungkin menghubunginya. "Kau suka makanannya?" tanya Shannon. Kurang jelas. Memasukkan sayuran ke dalam mulut. Penuh. "Ya." Luiz mengangguk. Datar. "Bibirmu," tunjuk Shannon. Lekas meraih tissue, membantu Luiz mengelap mulutnya. Spontan, pria tersebut mundur. Memilih mengusap bibir dengan ibu jari. "Maaf," ucap Shannon malu atas penolakan Luiz. Ia hanya spontan. Biasa melakukannya pada daddy-nya. "Luiz, apa kau tidak tertarik pada putriku?" tanya Arthur melempar senyum. Shannon menunduk. Memukul lengan Arthur pelan. "Aku memiliki kekasih," aku Luiz. "Owh. Seperti apa rupa kekasih mu?" tanya Arthur. "Cantik!" tandas Luiz. "Jika hanya cantik. Aku yakin putriku tidak kurang. Bukankah sebaiknya kau mencoba melakukan pendekatan bersama Shannon?" "Dad. Jangan mempermalukan ku!" tindak Shannon serak. Menggeleng kepalanya. Kuat. "Kekasihku hamil," balas Luiz. Tegas. "Aku sudah katakan pada daddy. Dia tidak ingin dengar, jadi maaf, ya." Pinta Shannon. "Apa kita punya pembahasan lain?" tanya Luiz. Bosan. "Ya. Kau tahu, kalau beberapa anggota club sekarang bergabung bersama Open Sea, 'kan?" tanya Arthur. Menatap lugas ke arah Luiz. "Hmm. Mereka menyetujui kontrakku." "Apa kau bisa. Menarik lebih dari itu? Jika bisa, aku akan memberikan mu saham Open Sea." "Berapa nilainya?" "Lima persen. Jika kau mau bersama putriku, akan ku tambah," tawar Arthur. "Dua puluh persen tanpa syarat!" pinta Luiz. "Bersama Shannon?" "Dua puluh persen untuk separuh anggota club Alexander," pinta Luiz. Membuat Arthur bergumam. Melirik Shannon dalam. "Luiz. Kau tahu..." "Tidak bisa ditawar!" sela Luiz. Menghentikan Shannon. Wanita itu terdiam. Menatap satu sama lain ke arah Arthur. "Jika anggota club membelot. Peluang kita lebih besar, dad. Kau tahu, penghasil kekayaan terbesar keluarga Morgan dari Yatch, mereka orang-orang berpengaruh," timpal Shannon. Meyakinkan. "Itu sangat besar. Bahkan berisiko," jelas Arthur. Mengulum bibirnya singkat. Turut berpikir. "Uang kita di sini. Aku harap kau tidak ragu, dua puluh persen hanya pengorbanan," jelas Shannon. Ambisius. Lagi, Arthur memanfaatkan waktu. Lebih banyak berpikir. Sambil memerhatikan Luiz. Pria itu terlihat datar. Tidak memiliki ekspresi. Sulit ditebak. Sikapnya yang cukup tenang, membuat Arthur kagum. "Baiklah! Jika putriku setuju, aku juga akan setuju," jelas Arthur. Mengulas senyum. "Thanks, dad. Akan ku siapkan kontrak. Kau tinggal menandatangani dan mengisi akta pemindahan saham." "Kapan ini selesai?" tanya Luiz. "Secepatnya!" "Baik. Aku akan membujuk mereka jika sudah melihat kontrak nya." "Ya." timpal Shannon. Mengangguk setuju. "Sebentar. Aku harus menerima panggilan," Arthur berdiri. Meraih ponsel di dalam saku jas. Lekas bergerak meninggalkan putrinya bersama Luiz. "Aku senang kau setuju," ucap Shannon melebarkan bibir. Luiz mendelik. Memalingkan wajah. Mengedarkan matanya ke tiap ruangan. "Kau sering mengabaikan ku," sindir Shannon. Menarik kursi, lebih dekat. Luiz menarik napas, menunjukkan sikap. Jelas, ia tidak nyaman. Risih. Shannon harusnya paham. "Bagaimana kau bisa membujuk anggota club?" tanya Shannon. "Tidak perlu ku jelaskan!" tandas Luiz. "Kau takut aku mencuri ide mu? Tenang saja. Kita satu team. Sekarang, apa pendapatmu tentang saham senilai dua puluh persen? Kekasihmu pasti bangga. Pacarnya kaya. Apa kau akan membelikannya sesuatu setelah mendapatkan kontrak?" tanya Shannon. Melempar senyum. Akan tetapi, Luiz senyap. Malas bersuara. Ia melirik ponsel. Sama sekali tidak merespon. "Dasar. Dingin!" ketus Shannon. Ingin memukul Luiz. Namun, tanpa sengaja menepis gelas berisi air yang berada dihadapan pria tersebut. "f**k!" umpat Luiz. Kesal. Menepuk jeans nya yang basah. "Maaf. Aku tidak sengaja. Sungguh!" Shannon menarik tissue. Bergerak lebih dekat. Membantu Luiz mengelap. Jarak mereka dekat. Shannon tanpa sadar menaruh salah satu tangannya pada pinggul Luiz. Rapat. "Minggir!" sergah Luiz. Berat. Menarik diri. Segera berdiri. "Aku tidak sengaja," timpal Shannon. Melihat Luiz menarik jaket, serta kunci motor miliknya. Bergerak memutar, mengayun langkah tanpa suara. "Ah. Sial, aku seharusnya tidak mengikuti saran daddy." celetuk Shannon. Kesal. Mendadak murung. "Dimana Luiz? Kenapa kau sendiri?" tanya Arthur heran. Memerhatikan putrinya. Tajam. "Dad, please! Jangan minta aku menggodanya. Dia sangat dingin. Pria itu tidak tertarik padaku. Sama sekali." "Shannon dengar! Aku melepas dua puluh persen saham. Jika kau tidak berhasil, kita bisa kehilangan Open Sea. Daddy butuh pria itu." "Kau menjual kebebasanku, dad." "Shannon. Tolong daddy!" "Aku wanita berkelas. Tidak seharusnya aku mendekati pria yang memiliki kekasih. Bahkan dia akan menjadi ayah," tegas Shannon. "Jangan pedulikan orang lain. Cukup fokus pada Open Sea. Kau akan memimpin. Daddy akan menyerahkan perusahan ini padamu," timpal Arthur. Meyakinkan. Membuat Shannon menarik napas. "Ya. Akan ku gunakan cara lain. Bukan menggodanya seperti pelacur." "Daddy tahu, kau menyukainya." "Ya. Tapi...." "Kau harus lebih sabar!" pinta Arthur. Menepuk pundak putrinya. Tegas. Melempar senyum, penuh keyakinan. *** "Ed. Kita perlu bicara," ucap Caroline. Parau. Menatap dalam. Diam-diam, pergi dari mansion. Tanpa izin Luiz. Menemui tunangannya itu. "Carol. Apa yang terjadi? Kenapa tidak mengabariku?" tanya Edward. Melangkah mendekat. Melepas skrip yang berada ditangannya. "Nomor ponselmu mati. Jadi, aku menghubungi Rami, untuk meminta alamat apartemen mu." "Oh? Really? Aku belum memeriksa ponsel. Maaf," tandas Edward khawatir. Mengusap wajah Caroline, sambil menyelipkan rambutnya. "Ya." Caroline mengangguk ragu. Lekas bergeser, mendekati sofa. Menaruh tubuhnya di sana. Sungguh, perutnya terasa berbeda. Mendadak mual. "Kau sudah berkemas? Besok kita berangkat. Pesawat...." "Ed, aku tidak bisa pergi," sela Caroline. Tegas. Melipat tangan. Menutupi perut. Edward terdiam, mengerutkan kening. "Ada apa? Kenapa tiba-tiba?" "Ed. Aku.... Uekk!" Caroline menutup mulut. Mendadak pucat. Keningnya berkeringat. Basah. "Caroline. Kau sakit?" tanya Edward. Berlari mendekat. Menyeka kening wanita itu. Caroline terasa hangat. "Edward, maaf. Aku sungguh..." "It's okay. Kau tidak perlu ikut. Aku lebih khawatir jika memaksamu, tapi, konser sulit dibatalkan. Kau yakin tidak apa jika ku tinggal?" tanya Edward. Khawatir. Membuat Caroline mengangkat pandangan. Menatap bersalah. Ingin sekali mengaku, namun, takut mengacaukan tour. Terlebih, Edward sangat antusias. "Tidak masalah. Aku bisa minta bantuan mommy Milla untuk merawat," balas Caroline. Beberapa detik. Edward menunduk. Mendiamkan diri. Ia menarik napas. Menelan kasar ludahnya. Munafik, jika ia tidak kecewa. Namun, kesehatan Caroline jauh lebih penting. Edward tidak akan egois. "Aku minta maaf, Ed." Caroline bicara serak. Terdengar berbeda. Dipermainkan emosi. Sumpah, ia tidak sanggup. Lebih lama melukai Edward. Mereka bertunangan, sementara Caroline hamil. Anak dari pria lain. "Tidak masalah. Aku akan fokus pada tour agar bisa segera pulang." "Ya. Thanks, karena kau memahami ku," ulas Caroline. Takut jujur. Menahan diri. Edward mengangguk. Bergerak maju. Berusaha mendekatkan diri. Berharap mendapatkan kecupan. Akan tetapi, Caroline menghindar. Memalingkan wajah. "Kepalaku sakit. Aku harus pulang sekarang." "Akan ku antar." "Ed. Tidak perlu," tegas Caroline. "Jika kau tolak. Aku akan menahan mu di sini!" tegas Edward. Enggan berpaling. Caroline mengulum bibir. Menutup rapat mulutnya, terpaksa setuju, ia mengangguk pelan. Melepas napas yang terasa begitu berat. "Ayo!" *** "Bagaimana? Apa yang kau dapat?" Albert mendelik. Menatap dengan sorot mata layu ke arah jurnalis yang ia percayakan untuk mengikuti gerakan keluarga Morgan beserta orang sekitarnya. "Skandal besar! Ini akan menjadi berita eksklusif!" tegas Jurnalis pria bertubuh kurus dengan kacamata yang terlihat tebal. "Show me!" pinta Albert. "Pertama, aku yakin, rekaman yang di berikan wanita misterius hari ini, benar. Aku mendapatkan gambar, Caroline Morgan pergi mengunjungi dokter Obgyn bersama anak bodyguard keluarga itu." "Good. Lalu?" "Setelah dari sini, aku melihat anak bodyguard itu pergi bersama Shannon, putri kedua Arthur Moreira di hotel Bright." "Mereka tidur bersama?" tanya Albert. "Sayang nya tidak. Mereka makan, bersama Arthur. Namun, foto ini bisa kita jadikan bahan. Lihat! Shannon memeluk rapat pria ini." "Ada yang lain? Caroline?" "Dia mengunjungi apartemen tunangannya, Edward Stark, sendiri." "Memuaskan. Kita punya banyak bukti. Tinggal mengusung berita yang bisa menguntungkan," tegas Albert. "Kau ingin aku mempublish nya?" "Jangan. Publish berita Caroline mengunjungi Edward lebih dulu!" jelas Albert. "Sir. Kau yakin? Kita punya berita besar." "Edward memiliki jadwal tour. Jika kita merusaknya, The Fun, juga akan kehilangan berita itu. Fans Edward pasti ingin detail penampilannya nanti. Sebaiknya, kita manjakan mereka, untuk menarik perhatian. Setidaknya, rated The Fun akhirnya memiliki berita eksklusif." "Kau benar. Baiklah, Sir. Akan ku kerjakan." "Publish di laman cetak, serta media sosial. Itu akan menambah penghasilan!" titah Albert. "Baik, Sir."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN