Chapter 6 : Media

1926 Kata
Harmoni restaurant Luxury | 10. 30 AM "Hari ini, sepertinya kau terlihat senang, ceritakan! Ada apa?" tanya Vaye. Menggigit bibir bawahnya. Tersenyum lebar, menatap lekat ke arah Caroline. "Aku selalu senang, 'kan?" cetus Caroline. Menaruh ponselnya. "Tapi kali ini berbeda. Wajahmu terlihat lebih berseri. Aku bisa membaca semua situasi, tahu," sindir Vaye. Caroline mengulum senyum. Menopang dagu. Bergerak mendekatkan wajah. Sedikit maju. "l'm pregnant." "What? Pregnant?" teriak Vaye. Spontan. Membuat Caroline lekas berdiri. Menutup mulut sahabatnya itu rapat. "Kecilkan suaramu!" bisik Caroline. Tegas. Membulatkan kedua mata. Melepas Vaye, setelah melihat sahabatnya itu mengangguk. Setuju. "I'm sorry. Aku sangat terkejut. Sungguh," ucap Vaye menelan ludah. Kasar. Menekan sudut dadanya. "Siapa ayah dari anak itu? Edward? Luiz?" "Luiz Germany Hodgue." "Kau tidak perlu menyebutkan nama lengkapnya," tandas Vaye. Meraih gelas berisi air yang sejak tadi berada dihadapannya. Menenggak hingga tandas. Mendadak haus. "Lalu bagaimana hubunganmu dengan Edward? Dia pasti belum tahu kalau kau selingkuh, 'kan?" tuding Vaye. "Belum. Pagi tadi, dia mencariku ke penthouse Luiz. Mereka bertengkar." "Ya Tuhan. Dua pria tampan dan keren memperebutkan mu, dan kau memilih kasta paling rendah," kekeh Vaye. Memutar bola matanya. Malas. "Jangan menyebut Luiz seperti itu," sergah Caroline. "Pria seperti itu, hanya ingin tubuhmu. Sekarang, kau hamil. Anaknya. Lalu, bagaimana jika dia memperlakukan mu seperti dulu? Kau akan kembali bersama Edward?" "Olivaye!" "Caroline. Kau menyakiti orang lain. Lihat! Jari tanganmu sudah menunjukkan siapa pemilik mu. Tapi kau, memikirkan perasaanmu sendiri. Kau bertunangan bersama Edward, tapi, kau bercinta hampir setiap malam bersama Luiz hingga hamil. Kau egois. Tahu?" keluh Vaye sarkas. Menumpahkan perasaan. Tegas. Kembali menenggak segelas air. Membasahi kerongkongan yang terasa kering. "Kau hamil, Caroline?" tegur seorang. Berdiri dekat. Mengerut kening. Menatap tajam. Caroline beserta Vaye menoleh. Menatap sumber suara. Sedikit mendogak. Memastikan seksama. Rose Oriana Lafayeth. "Bukan urusanmu, 'kan?" tandas Caroline. Serak. Membidik Rose dengan tatapan mengancam. Rose mendengus. Tersenyum smirk. Menaruh ponselnya ke dalam saku handbag. Berpaling ke lain arah. Melangkah mendahului tanpa mengeluarkan kata. "Itu, bukannya si ular hijau. Kenapa dia bisa di sini?" tanya Vaye. Kesal. "Aku tidak ingin membahas wanita itu. Saat melihatnya, moodku buruk!" celetuk Caroline. Menarik napasnya dalam. Mengembus cepat. "Tapi, kau tetap harus hati-hati. Dia tidak terlihat seperti wanita baik," ujar Vaye memperingatkan. Melirik ke arah ponsel. Menekan sesuatu di layar. Terlihat sibuk sesaat. "Caroline. Aku sepertinya harus pulang." "Pulang? Masih jam segini," tahan Caroline. Melirik arloji di tangan kanannya. "Ada hal mendadak yang harus aku selesaikan." "Kau sibuk akhir-akhir ini," sindir Caroline. "Ya. Sedikit. Jadi maaf, ya." "Hm. Pergilah!" "Tapi, bagaimana kau pulang? Aku tidak bisa mengantarmu," tandas Vaye. Khawatir. "Aku akan minta mommy mengirim sopir ke sini. Jadi tenang saja." "Baiklah. Sekali lagi, aku minta maaf. Kirim pesan jika kau sudah sampai mansion, ya." "Pasti." *** "Halo. Aku bisa bicara dengan direktur media The Fun?" "Albert Anniston sedang memimpin rapat. Jika kau ingin bertemu, bisa ajukan janji terlebih dahulu." "Aku punya berita bagus untuk kalian. Tentang hubungan gelap putri keluarga Morgan bersama anak bodyguardnya, sekaligus Edward Stark. Jika kau tidak tertarik, aku akan pergi ke media lain." "Tunggu, nona. Memang, kau siapa? Kenapa bisa mendapatkan informasi seperti itu? Kau sedang tidak mengarang kan?" "Aku punya bukti. Jika kau memberiku izin untuk bertemu Albert, akan ku putar langsung hari ini." "Akan ku hubungi tuan Albert. Kau bisa menunggu?" "Lima menit. Jika tidak ada jawaban, aku pergi." "Baiklah." Pria tersebut bergeser. Terlihat berbicara dengan lawan bicaranya serius. Lantas, terlihat menghubungi seseorang lewat jaringan office. Keduanya Mengangguk paham, menutup panggilan dan lekas kembali menuju ke arah wanita pembawa berita. "Akan ku antar kau masuk. Ayo!" "Okay." *** Beberapa kali. Caroline menatap layar ponselnya. Sesekali memegang perut. Mual, akibat bau makanan yang menyengat. Hidungnya terasa sensitif. Risih. Sekilas. Ia berpikir. Ingin menghubungi Edward. Mengatur pertemuan untuk membicarakan banyak hal. Private. Namun mendadak, Caroline mengeluh. Melepas napasnya dalam. Menggelengkan kepala. Pelan. "Sebaiknya. Aku menunggu hingga ia pulang dari tour. Saat ini, waktunya belum tepat," gumam Caroline. Mengetuk ujung jarinya di sisi meja, sambil menaruh ponselnya kembali. Beberapa menit kemudian. Benda canggih itu bergetar. Memberi notifikasi pesan. Luiz pengirimnya. Segera, Caroline memeriksa. Membaca tiap kata yang terlihat singkat. "Aku sudah membuat janji untuk melihat kandunganmu. Besok." Caroline tersenyum. Lebar. Berniat membalas pesan. Jari mungil nya mulai mengetik. Terlihat menari dilayar. Cepat. "Kau sudah makan?" kirim Caroline. Enggan melepas pandangan. Menunggu balasan. Namun, beberapa menit menunggu, Luiz tidak merespon. Lamban. "Hmm. Mungkin dia sibuk," pikir Caroline. Menaruh ponsel ke dalam bag. Mulai mengangkat pandangan. Memerhatikan tanda dari sopir keluarga Morgan yang pasti akan dikirimkan Lorna. Namun, tatapan Caroline sontak terpaku. Tegas. Memerhatikan Luiz, pria itu bergerak, masuk ke dalam restauran yang sama, bersama seorang wanita. Asing, akan tetapi cukup familiar. "Sialan! Dia. Beraninya bersama wanita lain, bahkan tidak menyadariku di sini," geram Caroline. Menggenggam tangan. Berpapasan dengan kedatangan sopir keluarganya. Dengan segera, Caroline berdiri. Melangkah mendekati pintu, keluar dari restauran tanpa berniat menegur Luiz. "Bukankah itu Caroline Morgan?" tanya Shannon. Mendelik tegas. Menatap ke arah pintu. Luiz menoleh. Cepat. Mencari sosok yang Shannon bicarakan. "Kau mau kemana? Daddy ku sebentar lagi datang. Aku tidak bisa mempresentasikan semua sendiri. Ini ide mu," tahan Shannon. Spontan, memegang lengan Luiz. Pria itu menahan diri. Menatap Caroline. Wanita itu memalingkan pandangan. Memasuki mobil, kurang bersahabat. Luiz yakin, Caroline marah. "Luiz. Kau tidak apa-apa, 'kan?" tanya Shannon. Kembali mengusap lengan Luiz. Berotot. Kekar. "Hmm." tandas Luiz. Datar. Menarik dalam napasnya. "Aku dengar dari daddy. Hubungan mu bersama putri keluarga Morgan kurang baik. Apa itu alasanmu berada di Open Sea?" tanya Shannon. Penasaran. Cukup mengetahui sejarah kecil kehidupan Luiz. Daddy-nya, cukup banyak bicara. "Bukan urusanmu," tegas Luiz. Pelan. Beberapa kali berpaling. Menatap kaca pintu. Tidak sabar. "Daddy sepertinya sudah gila, karena ingin menjodohkanku dengan pria sedingin ini," batin Shannon. Menggeleng kepala. Mengangkat tangan, meminta pelayanan datang untuk memesan makanan. "Kapan Arthur sampai?" tanya Luiz. Menatap kilat ke arah Shannon. "Akan ku hubungi. Daddy tidak biasa terlambat," jelas Shannon. Mengangkat ponsel. Menghubungi orang tuanya segera. "Sedang berada dalam panggilan lain." "Kau yakin dia ingin bertemu sekarang?" tanya Luiz. "Apa kau sedang meremehkan indra pendengaranku?" tanya Shannon. Membuat Luiz bungkam. Turut memeriksa ponsel. Menghubungi Arthur Moreira. Hasilnya sama. Sibuk "Sebaiknya kita pesan makanan dulu. Aku lapar." celetuk Shannon. Menyodorkan menu. Luiz menarik napas. Meraih benda itu. "Caroline pasti melihatku," ulas Luiz. Membatin. Hanya membolak-balikkan menu. Tidak memesan. "Biar aku yang pesan," Shannon mengeluh. Menarik menu dari Luiz. Menunjuk asal, lantas menyerahkannya kembali pada pegawai. "Kau terlihat aneh, setelah melihat Caroline. Bukankah, kalian tumbuh bersama sejak kecil? Kenapa dia tidak menyapa? Apa yang dikatakan daddy benar? Kalau kau memang memiliki masalah dengannya?" tanya Shannon mencari tahu. Terlihat penasaran. Akan tetapi, Luiz hanya mengeluh. Menatap wanita itu beberapa detik, dan kembali membuang pandangan. Menunjukkan sikap yang sangat tidak bersahabat. "Jika daddy mu tidak muncul dalam sepuluh menit. Aku kembali ke kantor," tegas Luiz. Memberi peringatan. "Aku tahu kau berbakat, dan daddy sangat membutuhkan posisi mu di sini. Tapi, di Open Sea bukan kau bos nya," tegas Shannon. Mengulum senyum. "Aku bukan bawahan Open Sea. Aku berbisnis. Kau tidak bisa mengaturku!" balas Luiz. Lebih tegas. "Bisnis? Daddy tidak mengatakan itu padaku," cetus Shannon. "Tanyakan padanya!" Luiz berdiri. Meraih dompet di dalam saku. Menarik beberapa lembar dollar. "Kau ingin membayar makanan ini? Tidak perlu. Aku...." "Aku akan mengirim email pada daddy mu untuk proyek ini," sela Luiz. Teguh, menaruh uang di sisi meja. Lantas, bergerak memutar. Meninggalkan Shannon. "Dia pria yang berkelas. Mungkin, karena itu, daddy tertarik padanya untuk mendampingiku," gumam Shannon. Menatap kepergian Luiz. Lekat. Enggan berpaling meski sedetik. Shannon tersenyum, menyelipkan rambut di balik telinga. "Aku jadi penasaran siapa kekasihnya. Lebih cantik dariku atau tidak," ulas Shannon. Bermonolog sendiri. Mengulum senyum. *** Morgan Mansion. "Luiz," panggil Lorna. Membulatkan kedua mata. Terlihat senang. "Caroline di sini?" tanya Luiz. Datar. "Hanya Caroline, yang kau tanya? Mommy tidak?" tegur Milla. Sambil menenteng majalah fashion. Bergerak mendekat. Melempar senyuman lebar. "Seorang pria yang merasa mampu menghidupi putriku, berada di sini? Kenapa?" tandas Alexander. Muncul dengan pandangan remeh. Terlihat sengaja. "Aku hanya ingin menemui Caroline." "Kalian bertengkar? Ya. Terlihat jelas. Putriku yang sering membangkang itu tidak akan tahan tanpa uang dariku." "Sungguh, Alexander. Kau lebih baik menutup mulut," tegas Lorna. Kesal. "Kau harus mencium ku," pinta Alexander. Mengangkat sebelah alisnya. "Semakin tua, kau semakin sinting," tandas Milla. "Sudah. Naik saja sana. Caroline di kamarnya!" tunjuk Lorna. Mengusap bahu kekar milik Luiz. " Aku harap, kau selalu menjaga tubuhmu. Jangan menjadi buncit seperti itu." Lorna menunjuk Alexander. Tepat diperut. Milla tertawa. Spontan menutup mulut, hingga terdengar seperti sesuatu terjepit. "Sialan!" umpat Milla. Pelan. "Aku berinvestasi di rekening. Bukan di perut!" balas Alexander. Membela diri. "Sama saja. Buncit. Tetap buncit! Jika bisa semuanya, kenapa tidak?" tegas Lorna. Berdecak kesal. Luiz mengabaikan. Menerima pesan. Ia meraih ponsel. Membacanya dalam hati. Seketika, bibir tebalnya mencuat. Miring. Sedikit tersenyum tipis. "Aku ingin bercinta. Cepat naik ke kamarku!" "Luiz," tegur Milla. Sadar. Memerhatikan tingkah putranya. "Aku akan naik!" tegas Luiz. Melangkah menjauh. "Jangan melakukan hal m***m di mansionku!" teriak Alexander. Memperingati. Menunggu respon Luiz yang jelas mengabaikan. "Aku akan punya cucu. Ah. Bahagianya," ucap Lorna. Kembali mengulang kalimat yang sama saat ia berpapasan dengan Alexander. "Aku benar-benar muak mendengar mu, Milla." "Aku harap bisa memberikan kontribusi nama pada tiap cucu-cucuku. Tidak sabar, melihat mereka tumbuh bersama nanti." "Aku berharap. Kau mendapatkan cucu yang bisa membuat mu stress nantinya!" sumpah Alexander. Kesal. Menatap Milla. Tegas. "No problem. Yang penting cucu. Dari megan ceklis, dari Luiz ceklis. Lengkap." Milla memegang pipi. Mencubitnya sendiri. Lorna hanya terdiam. Menggelengkan kepalanya datar. Memerhatikan tingkah aneh sahabatnya. "Kapan kalian berdua bisa akur?" tanya Lorna. "Sampai mati aku tidak akan akur!" balas Alexander. Kesal. Lekas mendelik. Kabur. *** "Hey!" panggil Luiz. Berat. Saat membuka pintu kamar Caroline. Wanita itu mendelik. Berlari mendekat. Menyambut Luiz dengan pelukan. Lalu berciuman. Dalam. "Caroline, wanita tadi...." "Bercinta dulu. Aku butuh!" minta Caroline. Penuh permohonan. Luiz tersenyum. Mengusap sisi wajah wanita itu. Halus. Mengecup singkat. Tepat ditelinga. Caroline terdiam meremas kerah pakaian pria itu. Merinding. "Ponselmu," bisik Luiz. Melirik sekilas. Benda itu berdering. Keras. "Biarkan saja!" sengaja merengkuhkan tubuh. Masuk ke dalam pelukan Luiz. ___________________ "Apa yang kau pikirkan?" tanya Luiz. Memeluk Caroline yang berbaring di sisinya, setelah selesai bercinta. Dekat. "Aku sedang memikirkan hal konyol," jawab Caroline. Mengecup singkat d**a bidang Luiz. Pria itu mendengus. Menurunkan pandangan. Menatap Caroline lekat. "Aku ingin tahu," harap Luiz. Caroline mendelik. Mengerutkan kening. Ia bergeser, sedikit memosisikan tubuh, berbaring telungkup. Menaruh salah satu tangan pada tubuh Luiz. "Tapi, janji jangan tertawa!" pinta Caroline. "Hmm.." "Janji?" "Ya." "Kalau kandunganku sudah besar. Sepertinya kita tidak bisa lagi bercinta seperti ini." "Kenapa?" tanya Luiz. Suram. Terlihat khawatir. "Ular mu besar. Bagaimana kalau kepala anakmu terbentur?" Mendadak. Luiz mengangkat tubuhnya. Tertawa lepas. Begitu keras. Menertawakan pernyataan Caroline. Wanita itu mundur. Terlihat kesal. "Kau sudah janji tidak tertawa." "Pernyataan mu konyol. Sangat!" timpal Luiz. Masih tertawa. Serak. "Luiz hentikan!" pinta Caroline. Menggenggam kedua tangan. "Kau sepertinya terlalu banyak menonton drama." "Luiz..." panggil Caroline. Menelan kasar ludahnya. Menatap pria itu masih tidak berhenti tertawa. Ia mengulum senyum. Sedang Luiz terus memojokkannya. Menekan perutnya, terus mengejek. "Dasar berengsek! Pergi sana kau bersama wanita yang kau ajak makan tadi!" Bugh! Caroline spontan bergerak. Mengangkat kaki. Menedang Luiz. Tepat mengenai bagian intim miliknya. Seketika, Luiz terdiam. Meringkuk di ranjang. "Caroline. Sakit," dengus Luiz bergetar. "Sudah aku katakan, jangan menertawakan ku. Sekarang rasakan! Nikmati saja saat-saat terakhir kehidupan ularmu itu!" ucap Caroline. Bergerak menuruni ranjang. "Dasar berengsek. Tadinya aku tidak ingin marah setelah melihatmu bersama wanita lain di restauran. Sekarang aku marah!" teriak Caroline kesal. Mengambil bantal. Memukul Luiz cukup keras.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN