Garasi di belakang rumah kakeknya Dita sudah mulai terbuka sekarang. Dari bawah rolling dor, sudah terdapat celah kecil. Dari sanalah arwah-arwah mulai keluar. Meskipun hanya beberapa, karena beberapa lainnya justru masih merasa nyaman dan tak terganggu dengan celah kecil itu.
Arwah-arwah yang keluar dari celah kecil itu mengintai Dita.
Dan Aji.
***
Aji menatap Dita yang terbaring tak sadarkan diri. Sudah sekitar dua jam, gadis itu tak juga membuka matanya. Jujur, Aji sebenarnya penasaran dengan apa yang telah terjadi. Begitu kuat, pengaruh arwah yang berada di sekitar garasi, atau mungkin arwah yang keluar dari celah kecil garasi.
Dita terlihat seperti orang biasa. Aji meyakini itu. Dita tak memiliki kemampuan apa pun yang berkaitan dengan hal mistis. Dita tidak sama dengan Aji. Namun, kenapa bisa arwah-arwah di rumah sangat ingin berdekatan dengan Dita. Beberapa yang memilih untuk berdamai, ingin Dita ikut serta membantu mereka. Dan yang memilih untuk berseteru, melakukan hal semacam ini kepada Dita. Membuat gadis itu ambruk. Kehilangan energi.
Dita pasti menyimpan sesuatu di dalam dirinya, atau bahkan menyembunyikan sesuatu. Aji mungkin tidak mengetahui banyak hal tentang Dita. Toh, mereka hanya dua orang yang dipertemukan lewat media sosial. Sama sekali tidak istimewa. Jadi, mungkin saja memang ada hal-hal yang tak Dita bicarakan dengan Aji.
Sementara itu, di dalam alam bawah sadar Dita, Dita kecil tengah berjalan-jalan di kebun sang kakek. Raut muka sang kakek yang khas, wajahnya yang dipenuhi oleh peluh dan noda tanah, tak lantas membuat roman wajah sang kakek yang begitu kuat luntur begitu saja. Justru, noda-noda tanah di wajah kakeknya mengesankan bahwa kakeknya itu adalah seorang pekerja keras.
Dita kecil berlari-lari. Di kebun, tak hanya ada kakek dan dirinya. Ada seorang anak seumuran Dita yang sama-sama tengah bermain di kebun. Namanya Anita.
Sama halnya dengan Dita, Anita juga punya kakek yang sering berkutat dengan tanaman dan tanah.
Dita ingat, gadis itu masih ingat bagaimana ia dan Anita melakukan kenakalan khas anak-anak.
Dita pernah pergi bermain seharian dengan Anita, tanpa orang tua mereka tahu. Jadilah saat keduanya benar-benar pulang ke rumah, mereka mendapat hukuman.
Namun, keesokan harinya, mereka berdua membicarakan pengalaman tersebut dengan saling melempar tawa. Seolah-olah dimarahi oleh ayah dan ibu bukanlah sesuatu yang menakutkan.
"Anit, kamu gak takut dimarahin sama ayah ibu kamu? Hihi."
"Enggak, kok. Lagian, mereka marahnya juga gak lama. Sebentar aja. Abis mereka marah, mereka baik lagi. Kamu gimana, Ta?"
Dita tersenyum. "Sama aja, kok. Orang tuaku sama kayak orang tua kamu. Mereka gak lama marahnya. Setelah itu, tetep baik lagi ke aku."
"Jadi, gak apa-apa, kalau nanti kita main gak bilang-bilang lagi. Nanti, mereka toh gak akan lama marahnya, hehe."
Dita mengiakan. Dita kecil setuju untuk melakukan kenakalan lagi. Anita kecil juga demikian senang mendapat jawaban yang sangat ia harapkan.
Begitulah, mereka melewati masa kecil dengan sangat mulus dan berharga. Hingga menginjak remaja, Dita harus pergi ke Jakarta dan otomatis harus berpisah dengan Anita, sekaligus kakeknya sendiri.
Perpisahan yang membuat Dita perlahan melupakan masa kecilnya. Kehidupan di Jakarta yang cukup pelik, membuatnya tak berusaha mengingat semua kenangan di Lampung. Perlahan, kenangan masa kecil dengan Anita terhapus. Seiring berjalannya waktu, semua kenangan itu berganti dengan kesibukan dan kesibukan yang menuntutnya untu bertahan
Jakarta memang kota yang kejam. Orang tua Dita membuka bisnis di sana dan jalannya tak semudah yang mereka duga sebelumnya.
Awalnya terlihat baik-baik saja. Orang tua Dita membuka usaha kuliner dengan modal hasil dari berladang di kampung. Mereka mulai membuka usaha tersebut dan respon masyarakat sekitar juga baik. Pembeli juga banyak yang tertarik.
Namun, itu hanya terjadi di awal mereka membuka usaha. Setelahnya, usaha mereka sepi. Kedai makan yang semula ramai, menjadi sulit pengunjung.
Dita remaja mulai menawarkan ke semua teman-teman di sekolah barunya. Akan tetapi, tetap saja, pengunjung masih tak ada.
Dita masih berada di alam mimpi. Mimpi yang menuntun gadis itu untuk menyelami masa lalu. Perjalanan kembali ke masa lalu dalam lompatan waktu-waktu yang tak jelas.
Mimpi membawa Dita kembali ke masa di mana ia harus pergi dari Lampung. Gadis itu harus berpamitan dengan Anita. Anita sebenarnya sangat sedih dan meminta Dita untuk tetap tinggal. Akan tetapi, tentu saja keinginan Anita tak bisa terwujud. Kepergian Dita dan kedua orang tuanya ke kota Jakarta saat itu, adalah keputusan yang sudah mutlak, tak bisa diganggu gugat.
"Kenapa kamu harus ke Jakarta?" tanya Anita dengan mata yang berkaca-kaca.
"Iya. Karena aku dan keluargaku harus cari uang yang banyak," jawab Dita.
"Kalau begitu, nanti kamu akan ke sini lagi, kan? Nanti kita main lagi."
Dita mengangguk. Ia berjanji kepada Anita, dan bahkan kepada dirinya sendiri untuk kembali lagi suatu saat nanti.
Namun, janjinya itu tak ditepati. Karena setelah Dita ke Jakarta, Dita dan keluarganya menetap lama sekali. Bahkan saat kedua orang tua Dita meninggal dalam sebuah kecelakaan, saat kakeknya Dita meninggal, Dita tak pulang ke kampung halaman. Ada banyak faktor yang membuatnya tak bisa pulang.
Banyak hal yang sulit dijelaskan. Dan saat itu, Dita juga sudah melupakan banyak hal tentang masa kecilnya, termasuk seseorang yang bernama Anita itu.
Dan sebuah gambaran tiba-tiba saja terlintas di memori otak Dita. Sebuah gambaran yang memperlihatkan seorang gadis remaja yang mirip dengan Anita sewaktu kecil dipukuli. Gadis remaja itu disiksa sedemikian rupa, sampai wajahnya babak belur.
Gadis itu berteriak, meminta tolong, tapi tak ada satu pun yang mendengar teriakannya. Semakin gadis itu berteriak dan menangis dengan keras, seorang laki-laki paruh baya semakin ganas menyiksanya.
Lalu, di sela-sela isak tangisnya, terucap nama Dita.
"Dita, tolong aku ...."
Kelebat bayangan-bayangan dari penglihatan itu terus saja terjadi berulang-ulang.
Dita berdiri di depan sebuah rumah yang tak asing. Gadis itu melihat perempuan yang mirip dengan Anita sewaktu kecil tengah berdiam di beranda rumah. Perempuan yang mirip dengan Anita itu, setelah Dita lihat lebih dekat, memang sangat mirip dengan Anita.
"Ya! Dia memang Anita!"
Dita berteriak kegirangan. Dita berlari ke arah Anita dan hendak memeluknya. Namun, Anita menepisnya.
"Siapa kamu?"
Dita heran. "Aku temanmu, Dita. Ini Dita. Kamu Anita, kan?"
"Iya, aku Anita. Tapi, maaf. Aku tidak punya teman."
"Tapi aku temanmu, apa kamu lupa?"
Anita menggeleng. "Tidak. Aku tidak pernah lupa. Kamu yang lupa. Iya, kan?" tanya Anita. Gadis itu tersenyum kepada Dita kemudian menyeringai, menampakkan seluruh giginya yang berdarah dan dengan cepat wajah Anita berubah menjadi sangat menakutkan.
Dita mundur perlahan, mundur sampai terjatuh.
"Anita!"
Dita terbangun dan melihat sekitar. Ia di kamarnya sekarang. Gadis itu kini tak lagi berada di dalam mimpi. Ia sudah kembali.
Kemudian saat Dita melihat ke salah satu sudut kamar, seseorang ada di sana. Anita ada di sana. Menatap Dita dengan tatapan seperti meminta pertolongan.
Permintaan tolong itu ....
"Dita, tolong aku ...."
Anita melayang, keluar dari kamar. Dita terdiam sebentar untuk kemudian menyusul. Gadis itu mengikuti ke mana sosok yang diyakini adalah temannya semasa kecil.
"Anita ...."
Sosok itu menuntun Dita ke garasi. Sosok itu menembus pintu garasi dan masuk ke dalamnya. Dita tak bisa masuk. Ia hanya bisa melihat dari luar. Melihat pintunya saja.
Dita menggedor pintu garasi sekuat tenaga. Gadis itu kesal, marah dan sedih di waktu yang sama.
"Anita!"
Dita meneriakkan nama Anita. Gadis itu benar-benar ingin mengetahui semua kebenarannya. Apa yang terjadi, kenapa, dan bagaimana?
Dita hanya tahu Anita sudah tak ada lagi di sini. Dita hanya tahu Anita sudah tiada. Itu saja.
Dita putus asa. Ia harus membuka garasinya. Sekarang, lebih dari Aji, Dita ingin sekali melihat isi garasinya. Ia sangat ingin tahu ada apa saja di sana. Adakah Anita? Adakah di sana teman masa kecilnya?
Apakah jika ia membuka garasi, ia akan menemukan semua jawaban itu?
Dita menggedor pintunya tanpa henti, meskipun tahu betul itu tidak akan membuat pintunya terbuka.
"Anita!"
"Dita!"
Suara itu, Aji.
"Kenapa? Ada apa?"
Dita menangis. Ia menatap Aji. "Kita harus buka garasinya."
"Sekarang? Kenapa?"
"Kita harus buka!"
"Ta, kamu baik-baik aja, kan?"
"Enggak. Kamu denger gak, sih? Kita harus buka garasinya!"
Dita memukul Aji. Menumpahkan semua kekesalan dan kemarahan. Aji tak melawan, ia merelakan dirinya dipukuli.
"Ini semua tuh gak masuk akal!" teriak Dita.
"Aku udah bilang, ini semua gak perlu harus kita ngerti. Kita cuma perlu terima. Itu aja. Itu bakalan lebih mudah."
Dita menangis kencang. Aji memeluknya. []