Dita dan Aji masih berada di depan pintu garasi. Perlahan, Dita sudah tenang dan tangisnya juga sudah reda.
"Kenapa semuanya malah jadi lebih buruk?"
Pertanyaan Dita tak mendapat jawaban apa-apa dari Aji, atau dari siapa saja. Aji sendiri bahkan tidak tahu Dita tengah bertanya kepada siapa.
"Kenapa aku merasa bahwa aku juga bersalah? Aku gak melakukan apa-apa. Aku cuma ke sini buat jual rumah ini. Gak ada keinginan lain. Gak ada keinginan buat kembali menguar luka siapa-siapa."
Aji menarik napas. "Siapa yang kamu maksud? Siapa yang terluka?"
"Seseorang. Ada seseorang yang mungkin pernah terluka. Pernah merasa hidupnya hancur dan aku seharusnya ada di sana, tapi aku tidak ada. Aku tidak bersamanya."
"Menyesal?"
"Entah. Mungkin saja. Benar, mungkin aku memang menyesal. Aku menyesali banyak hal sekaligus merindukan banyak hal di masa lalu."
Hanya hening untuk beberapa saat. Sampai Aji kembali membuka suara.
"Kita sudah di depan garasi ini sekitar setengah jam. Apa kamu tidak pegal? Kalau masih mau memandangi garasi yang butut dan sama sekali tak punya unsur estetik ini, kenapa tidak kita bawa dua kursi dan duduk saja sekarang?" tanya Aji sambil tersenyum menggoda.
Dita memukul Aji.
"Eit! Jangan sentuhan fisik!"
"Tadi kamu ngapain peluk?"
"Hah? Tadi itu, reflek. Itu ada dalam pelajaran psikologi. Pelukan itu bisa membuat orang yang sedih jadi tenang."
"Halah! Ngarang aja," ucap Dita sambil berlalu. Kembali masuk ke dalam rumah.
"Eh beneran ini!"
"Bodo amat!"
Sementara itu, dari kejauhan, seseorang memerhatikan Dita dan Aji. Siapa lagi kalau bukan si tetangga. Kedua tangannya terkepal erat, seperti tengah menahan amarah.
***
Di ruang tamu, Aji menyajikan dua gelas kopi. Dita terdiam lama, memerhatikan gelasnya. Akhir-akhir ini, melamun sepertinya merupakan pekerjaan paling menarik bagi Dita.
Dulu, saat ia tinggal di Jakarta, rasa-rasanya jarang sekali ia melamunkan hal-hal pelik dalam waktu yang lama. Sekarang, itu seperti menjadi sebuah rutinitas. Bahkan di malam hari sebelum tidur, aktivitas melamun ini adalah nomor satu.
"Kamu mimpi?" tanya Aji. Dita seolah ditarik dari imajinya.
"Iya."
"Tentang?"
"Masa lalu. Masa kecil di sini."
"Kamu inget?"
"Itu dia. Awalnya aku udah cukup lupa. Aku bener-bener melupakan banyak hal. Jakarta membuatku melupakan banyak hal tentang masa lalu, masa kecilku. Jujur saja, kota itu bisa mengalihkan dunia seseorang. Dunia siapa pun."
"Keramaian bahkan bermanfaat juga, ya."
"Untuk sebagian besar orang yang membutuhkan pengalihan pikiran, kota besar mungkin adalah salah satu jalan. Bukan karena tidak ada hal sulit yang bisa dipikirkan. Tapi karena ada hal sulit lain yang harus dipikirkan. Sama saja sebenarnya. Hanya ya, entahlah."
"Aku ngerti. Ya, misalkan kamu punya luka lama. Terus kamu punya luka yang baru. Maka luka sebelumnya akan terlupakan tanpa sengaja."
"Ya, begitu."
"Tetap saja. Lukanya masih ada. Bertambah banyak malahan. Jadi, sebenarnya, siapa seseorang yang kamu maksud tadi?"
"Anita."
"Anita? Nama yang bagus. Aku punya teman juga yang namanya Anita. Cantik banget, tapi dulu di sekolah sering dipanggil guru BP."
"Hah? BP? Kenapa?"
"Iya. Dia suka pacaran, haha!"
Dita tersenyum kecut. "Anita yang ini gak begitu, gak mungkin begitu."
"Iya, aku tahu."
"Kamu tahu? Dari mana?"
"Oke, aku gak tahu. Aku basa-basi aja tadi."
"Makanya, jangan sok tahu!"
Aji diam. Ia menyerah untuk terus berdebat.
"Anita itu ... sosok yang ceria. Aku gak tahu, kenapa di mimpi aku, ada kilasan di mana Anita disiksa oleh ayahnya dan ya, Anita terlihat sangat sedih. Aku gak tahu apa yang udah terjadi sama teman masa kecilku itu. Jujur, Ji, ini membuatku merasa kalau Anita meminta bantuan aku."
"Meminta bantuan?"
Dita mengangguk. "Sama kayak Tian. Sama kayak Shila. Anita juga ada di sini, temanku butuh bantuan. Aku juga ingin tahu semuanya. Aku ingin tahu apa yang sudah ia lewati selama ini. Dan aku mau minta maaf."
"Minta maaf? Untuk apa?"
"Untuk semuanya. Karena aku gak kembali saat dia masih hidup. Seharusnya aku kembali ke sini ketika Anita masih ada."
"Kamu tahu dia meninggal? Kapan?"
"Udah lama. Waktu aku masih di Jakarta."
"Dan kamu gak ke sini?"
"Enggak, Ji. Jangankan ke pemakaman Anita, ke pemakaman kakekku aja aku gak datang."
"Kenapa?"
"Waktu itu aku bener-bener ada di masa yang sulit. Setelah aku kehilangan orang tuaku, aku harus kehilangan kakek juga. Aku sempet gak mau terima dengan takdir-takdir itu. Tapi, mau bagaimana lagi. Kematian bukan sesuatu yang bisa ditawar. Iya, kan?"
"Iya. Aku mencoba memahami apa yang udah kamu rasain selama ini. Tapi, sekarang kita harus fokus lagi ke temen kamu ini. Karena jujur, aku mulai merasakan. Ehm, aku udah mulai bisa merasakan kehadiran arwah-arwah lain yang keluar lewat celah garasi kemarin. Mereka sudah ada di rumah ini."
"Termasuk sahabat aku?"
Aji mengangguk. "Mungkin. Tapi, belum ada satu pun dari mereka yang mau membuka diri. Mungkin, temanmu mau meminta bantuan. Dia datang lewat mimpi, karena kamu tidak punya kemampuan untuk melihatnya seperti aku."
"Ini rumit."
"Sejak awal, ini emang rumit, kan? Hehe."
Dita mengangguk. "Mungkin aku mau, Ji. Aku mau melihat sahabat aku lagi. Aku mau berkomunikasi sama dia, lewat kamu. Kayak waktu itu. Aku pernah bisa lihat Tian, kan?"
Aji mengangguk. "Tapi waktu itu, kamu hampir pingsan, kan? Malah nangis juga."
"Iya, tapi sekarang aku bakalan mempersiapkan diri. Beneran, deh. Aku janji. Aku gak bakalan takut kalau aku nanti bisa ngelihat Anita lagi. Aku bahkan memang sangat menginginkan hal itu terjadi. Aku mau melihat Anita. Sekali aja lagi. Aku mau mendengar semua yang dia alami. Aku juga mau minta maaf ke dia."
"Oke, tapi aku merasa, cukup untuk hari ini. Kamu mungkin harus istirahat aja."
"Ya ampun. Dari tadi aku ini emang ngapain? Jualan tahu bulat? Aku kan dari tadi diem-diem aja di sini, Ji. Itu berarti aku juga udah istirahat, kan. Dari tadi aku istirahat."
"Oke-oke. Tapi tetep aja. Dengan kondisi kamu yang sekarang, aku belum bisa. Nanti, ya. Kamu harus menguatkan diri kamu dulu."
"Ya udah kalau gitu. Terserah saja."
Aji menatap ke luar. "Mungkin, sebelum sore menjadi malam, kita harus berjalan-jalan di luar.
"Jalan-jalan?" tanya Dita.
"Iya. Bukannya selama ini kamu kayak terkurung di tempat ini? Di rumah ini. Kayak orang yang lagi dikarantina."
"Iya."
"Kamu gak berani ke luar lama-lama, karena ada tetangga aneh itu, kan? Sebelumnya aku juga belum ada. Jadi, gimana kalau kita jalan-jalan sebentar sebelum hari jadi petang."
"Ke mana?"
"Ke mana saja."
***
Dan di sinilah mereka sekarang. Beberapa meter dari rumah Dita, ada sungai kecil yang airnya ternyata masih jernih. Suasana khas perkampungan begitu terasa. Namun, ada satu yang kurang. Sangat berbeda dari dulu. Tidak ada orang. Ya, itu hal paling aneh sebenarnya.
Tak ada rasa takut. Bersama Aji, Dita tidak takut. Gadis itu berjalan pelan, sementara Aji memerhatikan sekitar. Ia sudah seperti bodyguard saja.
"Apa sekarang makin ingat tentang masa kecilmu?" tanya Aji.
"Ya, makin ingat. Meskipun sudah banyak yang berubah."
"Waktu akan mengubah banyak hal."
"Termasuk orang-orangnya. Iya, kan?"
"Iya."
"Banyak dari kita yang ingin menghentikan waktu di saat-saat tertentu."
"Banyak yang menginginkan sesuatu yang mustahil?"
"Heemh. Salah satunya adalah aku. Seringnya aku menginginkan masa-masa yang telah lalu bisa kembali. Aku ingin memperbaiki semuanya."
"Ah, daripada memikirkan hal yang mustahil, kenapa kita tidak coba mengenang atau memikirkan sesuatu yang menyenangkan di sini. Ceritakan satu atau dua kenangan yang membuatku merindukan masa kecilmu."
"Ah, iya. Apa, ya."
"Apa sewaktu SD itu, kamu mungkin pernah menyukai seseorang?"
"Heh, apa maksudnya?"
"Mungkin, jatuh cinta?"
"Haha, enggak. Aku gak pernah jatuh cinta pas SD. Kenapa harus jatuh cinta? Memangnya kamu?"
"Kamu masih ingusan, ya."
"Yakali kalau pilek. Apa sih, kamu gak jelas, Ji. Haha!"
"Ehe. Aku gak bisa bikin topik pembicaraan yang bagus."
"Siapa yang nyuruh kamu bikin topik?"
"Ya, kan. Supaya kamu gak terus-terusan memikirkan soal sahabat kamu itu."
"Oke-oke, makasih, ya. Kamu gak usah repot-repot. Aku mau lihat pemandangan aja."
"Oke."
Dita terdiam. Aji juga hening. Hanya sesekali lelaki itu melihat sekeliling. Takut ada tetangga aneh mereka yang mungkin saja tengah mengintai.
Dita tak bisa berhenti memikirkan bagaimana di dalam mimpinya, Anita terus meminta pertolongan. Suara Anita, wajah sedihnya, semuanya, tergambar jelas di dalam ingatan. Mondar-mandir di dalam kepalanya.
Dita tahu. Ada yang harus dituntaskan. Segera. []