Dita dan Aji sudah merelakan kantuknya dirampas oleh dua gelas kopi. Mereka yang sebenarnya kelelahan, terutama Aji, seharusnya menyempatkan diri beristirahat. Bukan malah mengobrol.
"Ngantuk, gak?" tanya Aji. Wajah lelaki itu jelas sekali tampak sangat kacau. Ia harusnya sungguh-sungguh tidur sekarang.
Dita menggeleng. "Ehe, kamu ngantuk? Tidur aja. Sebenernya ada dua kamar kosong. Tapi belum dibersihin banget. Mau?" tanya Dita.
Aji menggeleng. "Enggak. Nanti aja. Apa aku boleh mandi aja dulu? Biar segeran?"
Dita melongo. "Mandi?"
Aji terdiam, sedikit kikuk, ia mengangguk. "Iya, mandi."
"Oh, iya, ya."
Tentu saja, seharusnya Dita sudah tahu itu. Maksudnya, karena Aji sekarang adalah penghuni rumah ini juga, seharusnya Dita juga menyadari bahwa akan ada banyak hal atau kebiasaan yang Aji lakukan di sini.
"Ehm, apa ada toilet umum di sekitar sini? Hehe." Pertanyaan Aji jelas adalah basa-basi. Mana ada toilet umum dan sebenarnya ia juga tidak ingin bersusah payah mencari toilet lain.
Dita langsung menggeleng cepat. "Eh, enggak. Gak apa-apa, kok. Iya, lah. Kamu harus mandi. Ngapain di toilet umum. Lagian jauh banget. Di deket sini mana ada. Toilet tetangga ada juga. Tapi masa iya, sih."
"Oke, kalau gitu. Aku boleh ke kamarku?"
"Oh, boleh. Ayo, aku anterin."
Aji mengambil tas besarnya yang semalam ia taruh di sembarang sudut. Dita menuntun lelaki itu untuk memasuki kamar.
"Ini, kamarnya."
Aji pun masuk. "Ehm, makasih, ya. Kamu bilang kan kalau ada syarat dan perjanjian? Selama aku tinggal di sini?"
Dita mengangguk. "Iya, nanti aku kasih tahu kamu. Salah satunya adalah, jangan ada sentuhan fisik. Oke?"
Pertanyaan itu langsung diiyakan oleh Aji.
"Iya. Syarat lainnya, nanti aku kasih tahu."
"Oke."
"Oke. Kamu boleh pake kamar mandi sekarang. Aku ehm, aku beres-beres di halaman rumah dulu, ya."
"Okesiap. Eh, aku mau charge ponselku. Boleh?" tanya Aji lagi.
"Boleh. Tuh ada colokan di sana."
Dita menunjuk stopkontak yang terpasang. Itu merupakan salah satu barang yang kemarin pamannya berikan. Pamannya benar-benar mempersiapkan banyak hal. Itu yang baru-baru ini Dita sadari. Pamannya sangat peduli. Berbeda dengan dulu.
"Oke."
Dita pun berlalu. Ia mencoba untuk tidak terlalu dekat dengan Aji di setiap kesempatan. Bagaimanapun, Aji adalah seorang laki-laki dan mereka memang tidak ada hubungan apa-apa. Dita juga tak berniat untuk mengetahui apakah Aji sudah punya pacar atau belum. Intinya, Dita tak ingin mencampuri urusan pribadi Aji, begitu pula dengan Aji, jangan sampai mencampuri urusan pribadinya.
Dita benar-benar pergi ke halaman. Ia tak ingin satu frame dengan Aji yang sedang mandi di toilet sana. Mungkin ini agak berlebihan, tapi begitulah Dita. Gadis itu sering memikirkan hal yang tidak-tidak dibandingkan hal yang iya-iya.
Maka dari itu, memang tepat sekali ia melarikan diri dari keadaan canggung yang ia pikir akan sangat aneh nantinya.
Gadis itu celingak-celinguk di halaman, tanpa tahu harus berbuat apa. Sejenak, ia ingat lagi si tetangga aneh. Dita pun mundur dan tidak mengambil jarak yang jauh dari pintu. Memikirkan bagaimana cara si tetangga aneh menatapnya, membuat Dita merinding.
Beberapa menit setelah itu, sebuah mobil datang. Hah? Itu bukannya mobil sang paman?
Dita kebingungan. Seharusnya, Pamannya berangkat sekarang. Ada apakah?
Akan tetapi, sebelum itu terjadi, Dita segera ingat tentang Aji. Akan sangat gawat jika pamannya atau siapa saja melihat ada seorang lelaki asing di rumahnya. Gawat sekali! Dita berlari ke dalam rumah dan langsung menuju toilet. Dita mengetuk pintu toilet keras-keras. Aji melongok dari dalam, menyembulkan kepalanya saja.
"Ada apa?"
Dita bicara sambil menutup mata dengan kedua tanga. "Gawat, ada pamanku berkunjung ke sini. Kamu diem aja dulu di sini, ya. Jangan keluar. Ssst."
"Hah?"
Tanpa bicara lagi, Dita langsung menjorokkan kepada Aji ke dalam dan menutup pintu toilet.
"Dita ...." Itu suara bibinya.
"Iya?"
"Ayo cepat ganti baju, pamanmu sudah nunggu di bandara. Dia mau kita semua ngantar dia."
"Oh, iya. Oke, sebentar."
Dita langsung masuk ke kamar dan tak mengacuhkan bibinya yang seperti keheranan. Dita sadar, bibinya itu pasti mencium aroma yang tak beres. Seperti dua gelas kopi di ruang tamu yang belum dibereskan, aroma parfum laki-laki yang masih tercium, dan sepatu Aji di luar. Ya ampun! Dita berharap, bibinya tidak menyadari semua hal itu.
Bisa gawat kalau bibinya sampai tahu. Dita bisa dicincang habis-habisan.
Dita memakai pakaian sekenanya. Ia sudah sangat bingung dan tidak fokus. Bagaimana kalau begini, bagaimana kalau begitu, pikirannya dipenuhi ketakutan dan ketakutan.
"Dita, ayok!"
"Iya, Bi."
Gadis yang dipanggil keluar dari kamar. Dita berusaha menampilkan senyum dan bersikap tenang.
"Kamu kenapa lama? Paman sudah nunggu di sana. Ayok."
"Iya, Bi. Maaf."
Bibi dan Dita berjalan ke luar. Sekilas, Dita melihat ke arah sepatu Aji. Namun, rupanya sang Bibi sedang tidak fokus atau apa, sehingga bibinya itu tidak ikut melihat sepatu tersebut.
"Halo, Kak Dita!" sapa sepupuku yang bernama Radit.
"Halo, Radit. Udah besar ya, kamu. Hehe."
Radit tersenyum. Dita berusaha senormal mungkin. Sebenarnya, ia bertanya-tanya. Tentang kenapa pamannya ingin ia mengantarnya juga sampai ke bandara? Ini membuat Dita merasa sang paman sudah agak berlebihan.
"Kak Dita, Kak Dita gak takut tinggal sendiri?" tanya Radit ketika mobil sudah melaju.
"Enggak, kok. Kenapa harus takut?"
"Hehe, iya, sih. Gak apa-apa. Cuma, ya. Rumah itu kan udah lama gak ditinggali. Dan keliatannya sumpek gitu rumahnya. Apa gak ada setannya?"
"Eh, Dit! Jangan ngada-ngada kamu."
Bibi menyambar ucapan Radit. Aku tersenyum sebelum menjawab.
"Gak ada kok, gak ada hantu. Dan nanti juga gak sumpek, kok. Emang belom beres sepenuhnya, hehe."
"Gitu ya, Kak. Beda aja kesannya. Kayak ada aura negatifnya."
"Enggak, itu mungkin cuma perasaan kamu saja, Dit."
Ya ampun. Bahkan Radit juga bisa merasakan keanehan itu. Mungkin bibinya juga. Namun, perempuan itu tidak menunjukkannya sama sekali.
Percakapan berakhir. Dita jadi cemas soal Aji. Apakah Aji sudah keluar dari toilet? Oke, seharusnya ia ....
[ Ke bandara? ]
Aji mengirim pesan. Ya ampun, pas sekali, pikir Dita.
[ Iya. Udah beres mandi? ]
[ Udah. Ini aku mau keliling rumah kamu. Boleh, kan? Pengen lihat detailnya. ]
[ Boleh, sih. Tapi hati-hati. Jangan sembarangan buka atau sentuh apa pun. Jangan deket-deket garasi, jangan biarin pintu kebuka kalau kamu mau lihat-lihat di luar. Aku takut nanti tetangga itu masuk atau gimana. Pokoknya jangan sampe kamu ketemu tetangga itu. ]
[ Terus, gini, Ji. Jangan kaget soal barang-barang yang mungkin tiba-tiba jatuh di dapur atau di mana. Emang sering kejadian kayak gitu, kok. ]
Beberapa saat kemudian, Aji membalas dengan memberi Dita emoticon ngakak tiga biji.
Dita juga ingin tertawa sebenarnya. Kenapa tiba-tiba saja ia jadi sangat cerewet sekarang? Haha, sungguh tidak jelas.
***
"Ini buat kamu. Sekali lagi, kamu harus hati-hati," ucap sang paman sambil menyelipkan uang di tangan Dita. Gadis itu sungguh kaget. Bibinya sedang pergi ke toilet sebentar. Jadi, tentu saja ini momen di mana sang paman tidak ingin ada yang tahu kalau ia memberinya uang.
"Tapi, Paman ...."
"Udah, Paman bener-bener gak mau kamu ada apa-apa."
Dita dapat melihat dengan jelas bahwa sang paman memiliki ketakutan tersendiri. Seharusnya, ya, Dita pikir, seharusnya sang paman tidak merahasiakan apa-apa. Bahkan soal garasi itu.
"Makasih ya, Paman."
Pamannya kembali bersikap seolah tak ada yang terjadi ketika Bibi datang lagi. Radit yang sibuk main ponsel, bahkan mungkin tak peduli dengan apa yang terjadi sedari tadi.
Pamannya berangkat. Lelaki yang mirip sekali dengan ayahnya itu perlahan meninggalkan mereka.
Ada perasaan sedih yang menyelimuti Dita. Namun, segera ditepisnya. Ia harus kembali ke rumah. Ada Aji yang menunggu di sana. Entah apa yang sedang dilakukan laki-laki itu. Dita harap, Aji tidak melakukan hal nekat atau macam-macam.
***
Di dalam mobil, Dita kembali memulai percakapan dengan Aji.
[ Lagi apa? Hati-hati loh, ya. Jangan macam-macam. Btw, kalau kamu lapar, ada bungkusan di dapur. Mungkin ada roti atau apa di sana. ]
[ Iya, aku nunggu kamu aja, Ta. Nanti makan barengan aja. ]
[Oke, terus lagi apa sekarang? ]
[ Lagi nyari temen. ]
[ Temen? Maksudnya? ]
[ Iya, aku keliling buat nyari temen. Siapa tahu ada. Di sini sepi banget. ]
[ Eh, aku kan udah bilang, jangan gimana-giamana. Kalau kamu pas ketemu sama tetangga aneh itu kan bisa gawat. Aku repot ntar. ]
Selang beberapa detik, Aji kembali membalas.
[ Iya, tenang aja. Aku gak lagi nyari temen manusia. ]
[Hah? Maksud kamu? Kamu lagi nyari temen hantu? ]
[ Iya. ]
[ Heh! ]
[ Kamu pernah denger? Ketika kita takut sama sesuatu, kita harus jadiin sesuatu itu sebagai teman. Maka, ketakutan itu bakalan hilang. ]
Membaca pesan Aji, Dita menepuk keningnya sendiri. Kata-kata Aji terdengar bijak. Akan tetapi, sungguh itu konyol bagi Dita. Teman hantu? Apa jadinya nanti? []