Dita kembali ke rumahnya yang sepi. Pamannya mengucapkan beberapa nasihat dan berbagai macam pesan sebelum pergi.
"Paman akan berangkat besok. Kalau kamu berubah pikiran dan ingin tinggal bersama bibimu, maka itu terserah saja. Paman dan bibi tidak akan melarang. Justru sebenarnya paman lebih merasa tenang kalau kamu mau tinggal di rumah paman."
Dita tersenyum. "Terima kasih, Paman. Tapi, sekali lagi, aku harus menjaga rumah ini. Apalagi, Paman tahu sendiri, kan. Kalau aku sudah mulai mempromosikan rumah ini."
Pamannya mengangguk. Raut cemas masih tergambar jelas. Bahkan lebih dari sekadar jelas. Pamannya seperti memiliki ketakutan.
"Hati-hati, ya."
"Pasti, Paman. Oh iya, Paman, aku masih ingin tahu jawaban kenapa garasi rumah ini tidak boleh dibuka. Aku harus mengetahuinya. Sekarang aku adalah pemilik sah rumah ini."
Pamannya menggeleng. "Tidak bisa. Tidak akan pernah. Bahkan sampai mati pun, Paman tidak akan pernah memberitahu alasannya atau tidak akan pernah membuatku membuka garasi itu. Sudah, jangan membahas hal-hal yang tidak terlalu penting untuk dibicarakan. Sekarang, kamu hanya harus fokus pada dirimu sendiri."
Dita mengangguk lagi. Sudah, memang sudah seharusnya gadis itu tidak lagi mempertanyakan tentang garasi tersebut.
Lelaki yang sudah beruban itu berlalu perlahan. Dita melambaikan tangan. Dua bulan. Ya, dua bulan tanpa pamannya datang berkunjung atau mengomel, atau apa pun. Ah, Dita sedikit merasa ini berlebihan. Toh, di zaman sekarang komunikasi sudah sangatlah mudah. Ia tentu saja bisa menghubungi pamannya, kapan pun dan di mana pun. Jadi, seharusnya, Dita tidak terlalu bersedih.
Gadis itu menutup pintu rapat-rapat dan menguncinya. Ya, Dita terlalu takut kejadian kemarin terulang lagi. Dita takut tetangga anehnya itu berdiri di halaman rumahnya sambil menatapnya tajam. Sungguh, sebenarnya ia memang lebih takut pada manusia dibandingkan dengan setan sekali pun.
Berkali-kali, Dita melihat notifikasi di ponselnya. Akan tetapi, tak ada Aji yang menghubungi atau sekadar mengirim pesan. Seingatnya, ia juga sudah mengirim alamat lengkap lokasi rumahnya.
Dita jadi sedikit cemas. Apa jangan-jangan, ada sesuatu yang terjadi?
Semoga tidak ada apa-apa, ucap Dita di dalam hati, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Dengan sedikit ragu, Dita mengirim pesan kepada Aji.
[ Aji? Gak apa-apa, kan? ]
[ Aji? ]
Dua pesan terkirim, tapi centang satu. Itu artinya, ponsel Aji sedang dalam keadaan tidak online, atau bahkan mungkin sedang tidak aktif.
Hari sudah mau sore lagi. Benar sekali apa yang orang katakan. Waktu terasa jadi lebih cepat ketika seseorang bersenang-senang. Sama halnya dengan Dita hari ini. Ia senang berada di rumah sang paman, karena bisa menghirup suasana rumah yang hangat dan berbeda dari rumah yang sedang ia tinggali saat ini.
Saat sore hari, saat yang sangat Dita benci akhir-akhir ini. Jika dulu di Jakarta ia sangat senang berjalan-jalan di taman bersama Rena ketika senja tiba, tapi sekarang kebalikannya. Ia takut. Ia bahkan berharap jika sore atau malam hari ditiadakan dari perputaran waktu semesta. Akan tetapi, tentu saja itu mustahil.
Mengingat Rena, ia jadi sadar kalau sudah dua harian tanpa mendapat kabar dari ibu hamil itu. Dita enggan mengirim pesan. Ia lebih memilih untuk ke kamar. Merebahkan diri di sana dan melamunkan apa saja.
Dita tak ingin Rena merasa cemas akan dirinya. Ya, Rena adalah salah satu teman Dita yang bisa dibilang, 'kelewat' perhatian.
Gadis itu tak ingin membuat Rena cemas. Ya, memang seharusnya begitu.
Perlahan, Dita terlelap. Matanya terpejam dan mulailah ia memasuki alam mimpi.
Sebuah gedoran pintu terdengar. Dita memerhatikan dengan seksama pintu rumahnya itu. Jelas sekali, bahwa di luar sana, di balik pintu itu, ada seseorang yang sangat ingin masuk. Masuk dengan paksa.
Dita melihat sekeliling. Jujur saja, gadis itu tahu dan menyadari kalau ia sedang berada di dalam mimpi. Dita menebak bahwa ia berada di dalam mimpi yang sama persis seperti beberapa waktu yang lalu. Mimpi saat kakeknya membuka pintu dan mencekiknya dengan kuat.
Dita menutup telinganya rapat-rapat. Ia mondar-mandir, kebingungan. Sementara suara gedoran pintu itu semakin keras saja. Semakin Dita menutup telinganya rapat-rapat, suara gedoran itu seolah semakin dekat, tak berjarak. Sangat kerasa sehingga lama-lama Dita tidak kuat dan melepaskan kedua tangan yang menutup telinganya.
Ya, Dita tahu bahwa jika saja ia membuka pintunya, maka mungkin itu akan lebih mudah. Mimpinya akan dengan mudah berakhir. Ia akan dicekik oleh kakeknya sendiri dan kemudian terbangun. Ya, mungkin saja itu yang akan terjadi.
Namun, Dita tetap tidak bisa dan tidak mau membuka pintu itu. Gadis itu memilih mundur. Gedoran itu semakin keras. Kali ini, dibarengi dengan suara-suara aneh yang memanggil namanya. Sekali lagi, suara itu seperti suara campuran perempuan dan laki-laki. Sangat aneh.
DITA! DITA! DITA!
Dita tak menggubris panggilan itu. Ia lari ke belakang. Entah, entah kenapa ia ingin lari. Ia ingin melarikan diri dari rumah itu. Lewat pintu belakang, Dita melarikan diri.
Namun, sejauh apa pun ia berlari, gadis itu tetap berada di sana. Di belakang rumahnya. Bahkan kini, berhadapan tepat dengan garasi rumah yang tak boleh dibuka itu.
Dita menangis. Gadis itu kebingungan. Ia tak bisa ke mana-mana dan malah berada di sana.
Dita mencoba untuk tenang. Kali ini, mimpi itu. Ya, mimpi saat ia ....
Garasinya perlahan terbuka dan menampilkan kegelapan. Benar, ini adalah mimpi itu. Dita akan masuk ke sana, dan ada banyak tangan menggerayangi tubuhnya. Mencengkeram tangannya, mencakar lehernya, menusuk perutnya dengan kuku-kuku tajam, dan akhirnya kembali terbangun.
Dita menebaknya. Dita tahu bahwa ia tengah berada di dalam mimpi. Dan satu-satunya jalan keluar adalah menyerahkan diri. Merelakan diri untuk merasakan ketakutan dan kesakitan demi terbangun kembali.
Gadis itu pun memutuskan untuk mengikuti alur yang seolah sudah terbentuk dan diciptakan entah oleh siapa. Dita masuk ke dalam garasi dan sesuai dengan apa yang ia duga, tangan-tangan itu mulai menyentuhnya perlahan. Sedikit demi sedikit ....
Dan crash!
Dita merasakan kembali seluruh kesakitan itu. Dari tangan dingin, kuku tajam, dan kegelapan yang mengerikan.
Ketukan pintu beberapa kali membuat Dita yang terbangun dengan keringat di sekujur tubuhnya berusaha mengumpulkan kembali tenaga. Ia merasa sangat lelah.
Siapakah itu? Dita masih tak bisa mengendalikan degup jantungnya yang cepat. Gadis itu berusaha bangkit dan berjalan dengan sangat hati-hati.
Dita mengintip. Ada motor dan dua orang di depan rumahnya. Salah satunya berjaket hitam corak hijau. Ia sangat mengenal tanda itu. Kendaraan online.
Aji?
Lelaki satunya kembali menuju pintu. Sementara lelaki satunya segera tancap gas untuk pergi.
"Halo? Dita?"
Ah, benar!
Dengan cepat, Dita membukakan pintu. Gadis itu tak bisa menahan perasaan haru dan senang. Ia nyaris saja ingin memeluk Aji, tapi sisi lainnya masih bisa menyuruh tubuhnnya untuk tidak berperilaku memalukan.
"Ehm, halo. Maaf malam-malam. Tapi aku tidak tahu harus ke mana. Jadi, aku langsung ke sini."
Suara Aji justru membuat Dita merasa sangat lega. Ia mempersilakan Aji untuk masuk.
"Silakan masuk. Gak apa-apa, kok. Kebetulan aku juga udah bangun, kan."
Suasana sedikit canggung mulai menyelimuti mereka berdua. Aji yang duduk dengan ragu-ragu dan Dita yang segera pergi ke dapur untuk mengambil minuman.
"Mau kopi?!" teriak Dita.
"Boleh!" sahut Aji. Lelaki itu tampak menyandarkan tubuhnya ke kursi. Perjalanan yang cukup jauh membuat tubuhnya lelah. Akan tetapi, meskipun begitu, tak ada kantuk yang datang. Ya, perasaan canggung telah membunuh rasa kantuk itu.
Dita datang dengan dua gelas kopi yang asapnya masih mengepul ke udara. Aromanya pun sungguh membuat siapa pun akan tergoda.
"Wanginya enak, nih."
"Hehe, iya. Ayo diminum," ucap Dita.
Aji mengangguk dan tanpa basa-basi lagi, ia menyeruput kopi panas itu.
"Ehm, tadi kamu lagi tidur? Maaf, ya."
Sekali lagi, Aji melayangkan kalimat yang menyatakan bahwa ia merasa bersalah telah datang di malam hari.
"Hehe, gak apa-apa, kok. Aku tadi kebangun bukan karena kamu juga. Aku mimpi aneh tadi."
"Hah? Mimpi? Bukan pertama kalinya, kan?" tanya Aji yang langsung disambut anggukan oleh Dita.
Aji melihat sekeliling. Sebenarnya, ia mampu merasakan aura negatif yang terpancar dari berbagai sudut di ruangan rumah Dita. Ia juga sekilas-sekilas bisa mendengar suara-suara aneh. Namun, semua itu untuk sementara ditepisnya.
Aji tak ingin awal pertemuannya dengan Dita diisi oleh kesan yang mengerikan. Lebih baik nanti, semua orang memiliki waktu untuk bisa menerima banyak hal di luar nalar.
"Oke, kalau gitu kamu mau tidur lagi? Setelah minum kopi? Tenang aja, aku bakalan di sini aja, kok. Kamu bisa kunci pintu kamar kamu."
Dita menggeleng. "Enggak, kayaknya aku gak bakalan tidur lagi."
"Oh, oke kalau gitu, kita begadang aja sampe pagi. Gimana?"
Aji mengangguk.
"Oh iya, kenapa hapemu gak aktif?" tanya Dita memulai obrolan santai.
"Eh, iya. Aku keinget. Hapeku lowbat. Untung aja ketemu ojek online yang lewat. Beruntung bisa order tanpa aplikasi. Hampir aja aku luntang-lantung gak jelas, hehe."
"Aku agak cemas tadi, hehe. Kupikir ada apa-apa."
"Sebenarnya, emang ada apa-apa, sih."
"Hah? Maksudnya?"
"Iya, aku hampir kecopetan."
"Kok bisa?"
"Iya, ini salah aku, sih. Soalnya ngelamun terus. Makanya gak fokus dan jadilah ada yang nyari kesempatan buat ngambil tas aku. Untung gak sampe beneran kejadian."
"Oh, heemh. Eh, Ji. Sebenernya, aku penasaran. Aku penasaran kamu emang bener bisa lihat hantu?"
Aji tersenyum. "Udah kubilang, kemampuan aku ini tipis aja, Dita. Gak kayak yang kamu pikirin. Aku bisa lihat sesuatu, itu pun gak selalu. Kadang kalau gak fokus, ya, gak bisa. Aku bisa ngerasain hal negatif, ya, bisa. Tapi kalau yang ngerasain banget akunya harus memfokuskan pikiran."
Dita mengangguk. Kalimat Aji membuatnya teringat akan salah satu public pigure yang beberapa waktu lalu sempat viral karena bisa membaca pikiran orang.
Begitulah, keduanya melewati malam sampai pagi dengan saling bertukar cerita. Mereka tidak belum tahu apa yang menanti mereka di rumah ini. Sesuatu. Ya, sesuatu yang tak pernah mereka duga sebelumya. []