Pagi harinya, saat matahari mulai naik, Aji kembali menelepon.
"Iya, Ji?"
"Ta, aku bakalan ke sana. Mungkin aku nyampe sore hari. Kamu kirim alamat lengkap rumah kamu itu ya ke WA aku."
"Oke, Ji. Hati-hati."
"Iya. Suasana di sana gimana? Udah kondusif? Tetangga aneh itu?"
"Udah gak ada, lah. Mana mungkin dia berdiri di sana semalaman."
"Itu gak menutup kemungkinan untuk terjadi, tau. Tetangga kamu ini kayaknya berusaha menyampaikan pesan. Apa kamu pernah terlibat pembicaraan dengannya?"
Dita diam sejenak. Pikirannya kembali melayang ke saat itu. Ke saat di mana ia mendapat ancaman dari tetangga anehnya itu untuk tidak membuka garasi yang berada di belakang rumahnya.
Gadis itu ingin sekali membicarakan hal itu kepada Aji, tapi ....
"Bener, ya? Ada sesuatu? Dia pasti pernah bilang sesuatu terkait rumah kamu."
"Iya, emang. Tapi nanti aja kita bicarain ini. Bukannya kamu lagi siap-siap?"
"Iya, oke. Nanti aku hubungi lagi kalau ada perubahan rencana atau kalau aku udah hampir nyampe. Takutnya kesasar."
"Iya. Eh aku mau tanya. Kenapa, sih kamu ngotot mau bantuin aku? Maksudku, apa untungnya?"
"Emangnya, kalau bantuin orang itu mesti mikirin untung, ya?"
"Eh, bukan gitu. Aku cuma penasaran aja, sih."
"Hehe, iya. Oke aku akan bilang, nih. Aku ke sana juga bukan cuma mau bantu. Aku juga mau buat konten. Maksudku, aku mau semacam riset juga, sih di daerah sekitaran Lampung. Tenang, kok. Aku gak akan publish rumah kamu secara terang-terangan dan bikin nilai jualnya jadi ambrol. Gak akan. Aku cuma mau cari pengalaman mistis. Mungkin, kemampuan aku ini sudah saatnya harus diasah."
Mendengar itu, Dita lega. Itu berarti, tidak ada maksud terselubung yang jahat dari Aji. Ya, bagaimanapun Dita adalah seorang perempuan yang harus waspada jika berhadapan dengan seorang lelaki yang baru dikenal dan bahkan mau tinggal satu rumah dengannya, tanpa ada ikatan apa-apa. Wah, ini benar-benar konyol, sebenarnya.
"Ta? Dita?"
"Eh, iya. Oke, Ji. Aku setuju. Jadi, kita sama-sama saling membantu, dong. Dalam hal ini kita sama-sama saling menguntungkan. Iya, kan?"
"Iya. Udah dulu, ya. Nanti kuhubungi lagi."
"Oke."
Dita menutup telepon. Sekarang, ia berencana untuk mengepel lantai rumah dan mungkin kembali berkutat di dapur. Masak lagi. Intinya, harus ada persiapan demi menyambut penghuni rumah yang baru!
Belum sempat ia melakukan salah satu bagian dari rencananya, ponselnya kembali berdering. Kali ini, notifikasi di layar menunjukkan kalau yang menghubunginya adalah pamannya.
"Halo, Paman?"
"Halo, Dita. Paman akan ke sana nanti. Sekalian mengajak kamu untuk sarapan bersama di rumah paman."
"Oh, bareng Bibi?"
"Iya. Nanti Paman jemput."
"Gak usah, Paman. Aku mungkin bisa ...."
Bisa sendiri? Ke sana sendiri? Ke rumah pamannya? Dengan melewati rumah si tetangga aneh? Oh, tidak."
"Kenapa, Dita?"
"Eh, enggak. Ehm, Paman aku mau cerita dikit. Soal tetangga dekat rumah ini. Paman tahu?"
"Si gila itu? Apa dia macam-macam? Paman dengar dia sudah tidak berulah lagi sejak lama. Apa yang dia lakukan? Apa dia mengancammu? Apa mengganggu?"
Suara pamannya terdengar panik. Dita jadi sedikit merasa bersalah karena sudah bercerita soal tetangga aneh itu kepada pamannya.
"Enggak, Paman. Dia cuma ngeliatin Dita aja. Kayak orang bengong. Mungkin karena Dita orang baru di sini. Iya, kan? Bukan masalah besar, kok."
"Oh, baguslah. Paman pikir ada sesuatu."
Ya, memang ada sesuatu.
"Oke, aku tunggu ya, Paman."
"Iya. Paman akan berangkat ke rumahmu sekarang juga."
"Siap."
Dita menarik napas panjang, tepat setelah menutup telepon. Ah, ada bagusnya pagi ini ia akan sarapan di rumah sang paman. Ya, meskipun harus bertemu dengan istrinya yang selalu bersikap ketus, setidaknya, ia bisa makan masakan enak dan menghirup aroma rumah yang normal. Dita merindukan kehangatan sebuah rumah.
Seperti saat kedua orang tuanya masih hidup. Masa-masa itu sunggu sangat ia inginkan bisa kembali lagi. Namun, tentu saja itu adalah hal yang sangat mustahil. Ketidakmungkinan yang sesungguhnya. Waktu tidak akan pernah bisa dimundurkan atau dihentikan.
Suara mobil terdengar. Wah, paman datang sangat cepat, pikir Dita.
"Ayo, masuk. Jangan lupa kunci pintunya," ucap sang paman tanpa masuk ke rumah terlebih dahulu.
Dita segera meraih cardigan di kamarnya dan langsung melesat ke luar.
"Ayo!"
Dita masuk ke dalam mobil dengan senang hati. Sepanjang perjalanan, Dita memutar lagu lawas dan terus tersenyum. Sesekali, mulutnya mengeluarkan nyanyian, mengikuti lagu yang tengah diputar.
Pamannya hanya tersenyum tipis.
Setibanya di sana.
"Ayo, kamu jangan cuma duduk. Lihat-lihat aja rumah ini dulu," ucap sang paman.
"Lihat-lihat?"
"Iya, sambil nunggu bibimu selesai masak. Kamu lihat-lihat dulu rumah ini. Dulu pas pertama, kamu kan belum lihat-lihat."
"Iya, Paman."
Dita melihat sekeliling. Tentu saja, rumah pamannya benar-benar sangat nyaman. Ya, berbeda dengan rumah peninggalan sang kakek. Rumah pamannya benar-benar hidup. Hangat, dan segar.
"Pamanmu mau kamu tinggal di sini," ucap sang bibi sembari menghidangkan makanan di meja.
"Eh, gimana?" Dita keheranan.
"Memangnya belom cerita? Ayo sambil makan."
"Oh, iya, Bi. Ale sama Nena ke mana?" Dita menanyakan keberadaan dua anak mereka.
"Mereka lagi ada acara. Pagi-pagi sekali berangkat."
"Sudah, makan dulu. Nanti setelah makan, Paman jelaskan."
Dita mengangguk. Mereka bertiga pun menyantap makanan tanpa bicara sama sekali. Hanya fokus pada makanan.
Setelah selesai, Dita kembali menanyakan apa yang dimaksud dengan perkataan bibinya tadi.
"Iya, Paman ada tugas di luar kota selama dua bulan. Jadi, paman mau kamu tinggal di sini sementara waktu."
"Dua bulan?"
"Iya."
Dita terdiam cukup lama. Bagaimana ini? Dita sedih. Akan tetapi, jauh di dalam hatinya, ia juga merasa lega. Dita jadi tak harus susah payah mencari alasan agar Aji bisa tinggal di rumahnya.
"Tapi, kalau kamu memang gak mau, gak apa-apa. Lagian masa rumah kakekmu ditinggalin. Iya, kan?" tanya sang bibi ketus. Ya, tentu saja. Bibinya tidak mungkin mau menerima Dita. Entah kenapa, tapi sedari dulu bibinya ini memang selalu bersikap ketus seperti itu. Kepada Dita. Ya, Dita merasa hanya kepadanyalah sang bibi selalu tak ramah.
"Jangan pikirkan perkataan bibimu. Sudah, tinggal saja di sini."
Dita terdiam sebelum akhirnya menjawab, "Aku pikir-pikir dulu, Paman."
"Kenapa? Gak suka tinggal di sini?"
"Bukan, Paman. Bukan gak suka. Aku cuma merasa kalau aku memang gak boleh tinggalin rumah kakek."
Pamannya menghela napas panjang. "Aneh. Memang apa betahnya tinggal di rumah itu?"
"Hah?"
Pamannya tak bersuara lagi.
"Ya, sudah. Kalau kamu memang tidak mau. Paman tidak bisa memaksa."
Bibinya terlihat menampilkan senyum tertahan. Dalam hati, Dita bersorak kegirangan.
"Tapi, nanti bibimu akan sering berkunjung ke sana."
"Oh, iya. Kamu yakin tidak mau tinggal di sini? Bukannya kamu gak suka sama tetangga aneh itu? Nanti kalau ada apa-apa bagaimana?"
"Enggak, Paman. Kan aku juga udah bilang kalau tetangga aneh itu gak ngelakuin hal yang berbahaya, kok."
Pamannya menangguk, meskipun dari wajahnya, kekhawatiran masih terpancar jelas.
"Tuh, kan. Dita mah udah gede sekarang. Sudah bisa mengurus diri sendiri."
Dita mengangguk mantap.
***
Setelah selesai sarapan dan mengobrol, Dita dibiarkan menonton televisi selama berjam-jam. Meskipun begitu, Dita betah. Ya, gadis itu ingin menikmati momen-momen tersebut.
Di saat Dita masih asyik menonton, sebuah panggilan kembali masuk ke ponselnya. Aji.
"Halo, Aji. Masa udah nyampe? Kamu naek jet?"
"Bukan. Aku tadi hampir kecopetan."
"Hah? Ya ampun. Tapi gak apa-apa, kan?"
"Enggak. Eh kamu lagi di mana?"
"Di rumah pamanku."
"Oh, pantesan."
"Pantesan?"
"Iya, aku gak denger suara-suara itu."
Deg.
Jadi, Aji mampu merasakan perbedaan itu. Perbedaan yang tentu saja sangat jauh. Dibandingkan dengan rumahnya, rumah sang paman tentu saja lebih baik. Bahkan, Dita yang tak punya kemampuan seperti Aji pun, bisa dengan mudah merasakan hal itu.
"Memangnya, suara apa aja yang kamu denger di rumah aku? Waktu kita telponan."
"Banyak, sih. Tapi ada satu suara yang menyuruhku untuk diam. Dan itu bener-bener bikin telinga kayak ditusuk jarum."
"Nyuruh diam?"
"Iya."
"Dita! Ayo, mau pulang sekarang?" Suara sang paman membuatnya gadis itu seketika menoleh.
Dita menggeleng. "Bentar lagi, deh Paman."
"Oke." []