Penerawangan Tipis-tipis dan Konten

1233 Kata
Dita mengunci seluruh pintu. Bahkan pintu belakang dan pintu dapur. Gadis itu juga mengunci dan menutup semua jendela dengan gorden. Dita mondar-mandir cemas. Ia masih merasa bahwa tetangga aneh itu mengawasinya terus. Dita tak habis pikir kenapa tetangga aneh itu terus melakukan hal-hal yang sangat mengganggu. Memangnya Dita salah apa? Gadis itu menatap jam dinding yang tentu saja jarumnya terus berputar. Waktu terus berjalan. Dita penasaran, ia pun mengintip sedikit dari kaca samping. Sedikit sekali. Mengintip untuk menemukan bahwa lelaki aneh, si tetangga mengerikan itu masih di sana. Berdiri tegap dengan tatapan yang tajam. Menyorot ke pintu rumah Dita dan sesaat kemudian melirik ke arahnya. Dita segera mundur, hampir saja terjatuh. Ia kaget bukan main. Gadis itu bisa merasakan degup jantungnya semakin cepat dan tak keruan. Semakin petang, Dita semakin cemas. Ia tidak tahu apa yang seharusnya ia perbuat. Bagaimana kalau tetangga anehnya itu macam-macam? Aih, memikirkan bagaimana hal-hal mengerikan dan sadis yang terjadi di film-film Hollywood membuatnya semakin stress. Ah! Aji! Ya, benar. Dita segera menelepon Aji. Berharap, lelaki yang baru dikenalnya itu cepat menjawab dan mengeluarkannya dari kebingungan yang tengah melanda. Tak lama, Aji pun menyambut telepon Dita. "Halo?" "Halo, ini Dita," ucap Dita setengah berbisik. Ia tidak mau tetangga anehnya mendengar. Dita takut percakapannya dengan Aji akan memancing hal yang tak ia inginkan. "Iya, Dita. Ada apa? Ada sesuatu?" Aji menjawab sambil berbisik juga. "Iya, ada. Ada tetangga aneh yang ngeliatin aku dari luar. Aku gak tahu kenapa. Sebelumnya dia juga pernah bikin aku ketakutan. Aduh, aku lupa gak ngaduin soal ini ke paman aku." "Dia cuma ngeliatin? Ini udah mau malem, loh." "Iya." "Lampu nyala?" "Iya, aku nyalain. Dari siang juga. Soalnya emang suasana di sini agak gelap, ada banyak pohon gede di sebelah rumah." "Matiin." "Hah?" "Aku bilang matiin." "Loh, buat apa? Bukannya setan malah lebih seneng di dalem gelap, ya?" "Eh, emang tetangga kamu itu setan? Dia masih manusia, kan?" Benar juga. Dita melihat sekeliling. Ia membayangkan jika sendirian di dalam kegelapan. Itu tentu akan lebih menyeramkan lagi. Tiba-tiba terlintas sesuatu di pikiran Dita. "Apa yang kamu dengar lewat telepon?" tanya Dita. "Aku gak akan ngomong sebelum kamu matiin lampunya. Semua lampu, tidak terkecuali." Dita menghela napas. Ia melangkah ke dapur dan mematikan lampu. Juga ke kamar mandi, dan kamarnya sendiri. Terakhir, di ruang tamu dan juga mematikan lampu untuk pencahayaan di luar. Beruntung, saklar lampunya di dalam. Jadi, Dita tak perlu ke luar. Sekarang, apa? "Halo, Aji. Sekarang aku udah matiin semua lampu. Apa kamu bisa dengar suara lain selain suara aku? Lewat telepon ini?" "Kita gak usah bahas ini. Lagian, itu gak penting dibahas di waktu seperti ini. Iya, kan?" "Iya, bener, sih. Aku cuma penasaran. Karena ini pertama kalinya kita bicara lewat telepon." "Nanti kita bicarain soal ini, tapi nanti." Tepat setelah Aji mengatakan itu, suara gedoran pintu yang sangat keras terdengar. Dita terkejut. Ia bahkan sampai menjatuhkan ponselnya dan tanpa sadar berlari cepat, masuk ke dalam kamar. Gadis itu benar-benar ketakutan sekarang. Ia meringkuk di dalam selimut dan menutup kedua telinganya rapat-rapat. Namun, tetap saja, Dita masih bisa mendengar dengan jelas. Suara gedoran itu. Bahkan semakin lama, semakin jelas saja. *** Dita terbangun. Satu-satunya yang ia lihat pertama kali hanyalah kegelapan. Kegelapan yang membuatnya tersadar kalau suasana di rumahnya sudah terasa membaik. Dita teringat ponselnya dan juga Aji. Gadis itu bangkit perlahan dan meraba-raba dinding. Ia bahkan cukup heran karena bisa berlari cepat masuk ke dalam kamarnya tanpa menabrak apa pun. Ya, mungkin saking Dita ketakutan tadi, ia sampai bisa lari cepat dan tepat. Akhirnya Dita sampai di ruang tamu. Ia dapat dengan mudah menemukan ponselnya. Karena rupanya layar ponsel Dita masih meyala dan .... "Halo? Aji? Kamu masih di sana? Halo?" "Eh, halo? Kamu gak apa-apa, kan? Tadi aku sempet denger kamu lari-lari. Iya, kan?" "Iya. Aku kaget tadi. Apa aku udah bisa nyalain lampu sekarang? Udah bolehkah?" "Iya, udah boleh sekarang." "Oke." Dita mulai menyalakan lampu. Namun, matanya enggan memandang ke arah luar. Ia masih takut kalau laki-laki itu masih ada. "Maaf tadi. Kamu kenapa gak tutup telponnya aja?" Dita melihat jam dinding. Sekitar tiga jam dari saat ia ketakutan dan lari ke dalam kamar. "Iya, gak apa-apa, kok. Kebetulan aku lagi banyak kerjaan. Aku ada beberapa video yang harus kuedit. Mau aku tutup aja telponnya? Mau balik tidur lagi?" "Eh, jangan. Maksudku, enggak. Aku gak mau tidur dulu. Eh, enggak. Aku kayaknya bakalan gak tidur sampai pagi. Aku bakalan begadang." "Eh, yakin?" "Iya, yakin banget." "Oh, oke." "Oke gimana?" "Iya, oke. Aku mau bikin kopi dulu. Nanti boleh gak sambil ngobrol-ngobrol?" tanya Dita. Jelas, ia sangat berharap semoga jawaban yang diberikan oleh Aji itu adalah 'iya'. "Iya." Yesss! Dita bersorak dalam hati. Kini, perasaan takutnya mulai pudar sedikit. Ia ke dapur dengan tangan masih memegang ponsel dengan mode loudspeaker diaktifkan. Ia pun mulai menyeduh kopi dengan tangan yang satu lagi. "Simpan dulu ponselnya." "Hah?" "Iya, itu." Dita terkejut sekaligus merasa lucu. "Kamu beneran bisa lihat aku dari sana? Bisa nerawang gitu?" "Hahah, enggak lah. Masa aku bisa lihat dari sini. Enggak gitu lah." "Terus, gimana?" "Gak tau sih tepatnya kayak gimana. Aku cuma ada feeling atau perasaan seperti itu. Gak bisa dijelasin dengan mudah, sih." "Oh, iya." Ponsel masih di genggaman Dita ketika ia terus menuju ruang tamu lagi dengan membawa secangkir kopi panas. "Btw, kamu lagi ngerjain video apa?" Dita bertanya meskipun ia juga merasa tahu kalau itu pasti video bakal konten youtubenya Aji. "Iya, ini buat konten YouTube aku." "Oh heemh. Biasanya emang buat konten apa?" tanya Dita pura-pura tidak tahu. Padahal, ia sudah sempat stalking akun Aji kemarin-kemarin. "Di akun f*******: aku cantumin kok. Kamu gak lihat link chanelnya?" Dita tertawa tertahan. "Iya, aku lihat. Tapi kan aku gak kepo. Buat apa aku cari tahu, hehe." "Iya, tentu aja. Konten YouTubeku gak jauh-jauh dari horor dan penerawangan atau semacamnya." "Oh heemh. Penerawangan kamu akurat gak?" "Ah, cuma tipis-tipis. Aku juga kadang masih gak terlalu yakin, hehe." "Oh, gitu." "Tapi kalau soal rumah kamu, feelingku kuat banget." "Auranya kuat?" "Iya. Kuat banget. Bahkan cuma dilihat dari fotonya aja udah kelihatan, loh." "Oh, heemh." "Oh iya. Mungkin ini terlalu cepat. Tapi aku mau minta ijin ke kamu." "Ijin?" "Iya." "Ini kerja sama." "Kerja sama?" "Iya. Aku akan bantuin kamu terus, asal kamu ijinin aku buat tinggal di rumah kamu juga." "Buat apa?" "Ya, buat penelitian aku dan aku juga pengen bikin proyek di sana. Seriusan, aku gak berusaha ngambil keuntungan. Ini, cuma aku suka aja. Ini hobi aku. Itu pun kalo kamu ngijinin. Aku akan tinggal di sana juga gak lama. Dan lagi, aku gak akan berbuat yang enggak-enggak. Asli. Apa aku bawa adik cewekku ke sana juga? Boleh?" "Enggak, gak usah. Gak usah bawa adik kamu." "Eh, berarti boleh?" "Ehm, boleh aja, sih. Tapi dengan syarat. Dengan banyak syarat dan banyak perjanjian. Pokoknya nanti aku bakalan bikin banyak perjanjian." "Haha, oke. Beneran, ya." "Beneran." "Besok aku bakalan berangkat ke sana." "Oke." "Aku tinggal ngedit, ya." "Iya." Telepon ditutup. Dita melongo. Apa yang baru saja ia katakan? Menyetujui keinginan Aji untuk tinggal bersamanya? Ini gila! Eh, apa kata paman nanti! Ya ampun. Namun, di sisi lain, Dita juga merasa sangat membutuhkan bantuan Aji. Meskipun Aji baru dikenalnya, tapi hatinya mengatakan kalau Aji bukanlah orang yang picik. Ya, Dita mencoba meyakinkan keputusannya. Namun, soal bagaimana tanggapan pamannya nanti? Ah, ia bisa gila. []
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN