Mimpi Buruk

1071 Kata
Tidak ada alasan bagi Dita untuk terus berleha-leha. Ia harus segera menjual rumah ini secepatnya. Menurutnya, semua keganjilan ini sekarang sudah sangatlah tidak wajar. Dimulai dari barang-barang yang terjatuh tanpa sebab yang jelas, seekor kucing aneh, tetangga yang menakutkan, anak kecil misterius, itu membuat Dita muak. Ia menatap tajam ke sekeliling rumah dan bertekad untuk menyelesaikan tujuannya secepat mungkin. Maka, Dita mulai bergerak cepat. Ia mengerjakan segala sesuatu terkait perenovasian rumah dengan gesit. Seolah-olah tak akan ada lagi hari esok. Beberapa jam kemudian, ketika hari sudah mulai gelap, gadis itu tertidur di sofa ruang tamu. Saking lelahnya, Dita tertidur tanpa sengaja. Sebuah ketukan keras terdengar. Dita berjalan mencari sumber suara. Gadis itu tahu kalau hari sudah sangat gelap. Artinya, penerangan di luar pun sudah minim. Akan tetapi, ia tetap bergerak, berjalan menyusuri rumah, seolah ada tangan yang tak kasat mata menuntunnya menuju ke bagian belakang rumah tersebut. Ke garasi. Dita terdiam cukup lama dan memerhatikan garasi usang yang sudah sangat tua itu. Sekilas, tak ada yang aneh. Namun, beberapa saat kemudian, garasi itu terbuka perlahan. Terbuka dengan sendirinya. Ada yang membukanya, tapi dari dalam. Padahal, Dita tahu garasi itu hanya bisa dibuka dari luar saja. Sekali lagi, kaki Dita seolah ditanam ke dalam tanah. Menghunjam jauh ke dasar. Matanya melotot, hampir tak berkedip. Perlahan, garasi terbuka .... Krieeeeet .... Krieeet .... Terbuka setengahnya, dan sungguh Dita tak bisa melihat siapa atau apa pun di dalam sana. Dari luar, yang tampak hanyalah kegelapan yang mencekam. Dita digerakkan oleh kekuatan aneh. Kakinya berjalan terus menuju garasi, padahal sungguh hatinya tak menginginkan demikian. Dita menangis, tapi mulutnya seolah dijahit. Terkunci rapat, sehingga yang terdengar hanya erangan yang tertahan. Dita tak ingin masuk ke dalam sana. Ruangan itu gelap dan beraroma busuk. Bau busuk seperti bau bangkai. Gadis itu perlahan masuk. Matanya hanya melihat kegelapan. Untuk kemudian ada sebuah tangan dingin mencengkeram lehernya. Pelan, tapi pasti. Sangat dingin dan membuat Dita menggigil. Gadis itu ketakutan, tapi tak bisa bergerak. Cengkeraman tangan itu semakin kuat saja. Awalnya hanya satu tangan, tapi tangan lain menyusul. Sepasang tangan mencekik leher Dita, dan tangan-tangan lain meraba seluruh tubuhnya. Kakinya, rambutnya, tangannya, perutnya, semua bagian tubuhnya. Tangan-tangan dingin yang mencengkeram, kemudian mencakarnya habis-habisan. Cengkeraman itu semakin kuat, semakin ganas, membuat Dita jadi kesulitan bernapas. Dadanya sesak, lehernya sakit sekali. Seluruh tubuhnya perih. Ia pun semakin tak sadarkan diri. Perlahan, gadis itu meregang nyawa. Sekarat dan mati. Sebuah suara keras terdengar. Seperti gedoran pintu. Dita terbangun dan berteriak ketakutan. Ia memerhatikan sekeliling dan menyadari kalau dirinya masihlah belum mati. Kamarnya sangat gelap. Segera, gadis itu bangkit dan menyalakan lampu. Namun tunggu, Dita berbalik dan mengamati keseluruhan kamarnya. Bukannya tadi ia sedang tidur di sofa? Ya, seingatnya ia belum berjalan ke kamarnya. Dita terdiam cukup lama demi mengingat kejadian sebelum ia tertidur. Dengan langkah tergesa, ia berjalan ke depan cermin. Dengan was-was, ia meraba leher dan menyingkap sebagian rambut yang menutupinya. Dita bernapas lega. Tidak ada bekas cekikan. Tidak ada luka, atau apa pun. Tidak ada hal-hal yang menjadikan mimpinya tadi seolah adalah sebuah kenyataan. Dita berjalan ke dapur dan menyeduh segelas kopi. Ia berencana untuk tidak tertidur sampai pagi. Ya, meskipun saat itu jam masih menunjukkan pukul satu dini hari, di mana sebagian besar penduduk bumi tengah terlelap, Dita memilih untuk terjaga. Ia tidak ingin mimpi itu datang lagi. Setelah menyeduh kopi, gadis itu kembali ke kamar. Ia menikmati secangkir kopi yang ternyata cukup ampuh membuatnya sedikit merasa lega. Meskipun beberapa saat yang lalu, ia sudah mengalami sebuah mimpi yang sangat mengerikan. Sambil meminum kopi, ia berselancar di media sosial. Mencoba mencari situs jual rumah yang paling cepat dan tidak ribet. Besok, ia akan mencoba memposting foto-foto rumahnya. Bahkan Dita tidak akan mematok harga yang terlalu mahal. Ia sadar bahwa lokasi rumahnya yang cukup terpencil, jika diberi harga yang terlampau fantastis akan sulit terjual. Segelas kopi sudah tandas seiring lamunannya yang terhenti kala ia mengingat mimpi tadi. Dita kembali merinding jika mengingat bagaimana ia berjalan sendirian di tengah gulita menuju bagian belakang rumahnya, yakni garasi yang selalu pamannya wanti-wanti untuk tidak dibuka. Sungguh, Dita sangat ingin tahu ada apa sebenarnya yang terjadi sehingga pamannya melarang Dita untuk berusaha membukanya. Bahkan menambahkan embel-embel yang sama jika rumahnya diiklankan nanti. Sangat aneh memang. Janggal sekali. *** Dita kembali terbangun dengan perasaan tak keruan. Jadi, ia ketiduran lagi? Hari sudah siang. Matahari sudah masuk melalui celah-celah jendela. Ia bahkan tidak meminum air putih setelah minum kopi. Gadis itu segera menyeret langkahnya ke kamar mandi. Suasana rumahnya terasa membaik jika pagi atau siang hari. Ya, entah kenapa ia merasa demikian. Jika sudah menjelang sore dan malam hari, tak pernah sekali pun Dita merasa tenang. Selesai menggosok gigi dan mencuci muka, Dita mulai merancang akan memotret bagian mana dulu. Mungkin terkesan buru-buru, tapi daripada ditunda terus, Dita merasa itu akan lebih membuatnya tak tenang. Dita tidak ingin dirinya terfokus pada hal-hal aneh yang sudah terjadi. Ia berusaha mengalihkan pikirannya pada apa saja. Oh iya, Dita teringat sesuatu. Ia bahkan belum menelepon sahabatnya, Rena. Dan Rena sendiri, tumben belum memberikan kabar apa pun. Tepat ketika ia memikirkan itu, suara ponsel membuatnya seketika berhenti mengotak-atik aplikasi foto. Rena menelepon. Kebetulan sekali. "Halo, Ren!" "Haloo. Yaampun. Girang amat perasaan. Gimana? Udah laku belom? Kapan balik?" "Ih, kangen, ya." "Ada juga kamu yang kangen aku. Kangen Jakarta ya kan? Di sana sepi kan?" Dita terdiam. Ia memang merindukan semuanya. Merindukan sahabatnya, merindukan keramaian kota Jakarta dan hiruk-pikuknya. "Ren, ini aku mau post foto-foto rumah ini. Bagusnya ke situs apa, ya." "Ah, gak usah ke situs juga bisa. Di f*******: banyak loh grup jual beli gitu. Terus post juga di wall kamu. Temenku juga ada, loh yang jual rumah. Dan cepet laku." "Oh, oke, Ren. Siap." "Udah dulu, ya. Aku mau kontrol ke dokter." "Iya, oke. Makasih, Ren." Telepon ditutup. Dita seolah sudah menemukan semangat baru. Ia mulai memotret rumahnya dengan hati yang senang. Semua ketakutan ini pasti akan terbayar, pikirnya. Ya, ia sangat yakin akan hal itu. Setelah potret sana-sini, Dita segera melakukan apa yang disarankan oleh Rena. Dita bernapas lega. Ia sebenarnya ragu untuk mencantumkan embel-embel soal garasi. Akan tetapi, tentu saja Dita tak mencantumkan sedikit pun hal yang menurutnya akan membuatnya rugi. Tak berselang lama, ada seseorang yang berkomentar. Dengan cepat, Dita membaca komentar tersebut: Aji Dewanto [ Rumah kayak gitu ditinggali? Apakah kamu baik-baik aja? ] Dita heran dengan komentar tersebut. Apa maksudnya? []
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN