Kolom Komentar

1088 Kata
Dita kesal sekarang. Baru saja foto rumahnya di-posting beberapa menit, sudah ada yang berkomentar negatif. Nanti kalau ada yang tertarik dan melihat komentar tersebut, pasti mereka langsung kabur, pikir Dita. Dita pun langsung menghapusnya. Setelah itu, Dita mulai mencari tahu siapakah gerangan orang yang dengan mudahnya melayangkan komentar yang menurutnya sudah sangat tidak sopan. Dari mana orang itu tahu kalau rumahnya tidak layak ditinggali manusia? Memangnya rumahnya layak ditinggali oleh apa? Hantu? Dita terdiam demi meresapi pertanyaan yang ia ciptakan sendiri. "Argh!" Gadis itu mengacak-ngacak rambutnya sendiri. Ia mendadak migrain memikirkan soal hantu atau sebangsanya. Seumur hidup, baru kali ini ia merasa ketakutan dan gelisah tak menentu dihadapakan pada sebuah keadaan yang melibatkan mahluk halus. Toh, biasanya Dita tak pernah mengalami hal aneh atau gaib. Maka dari itu, ia tidak pernah percaya. Akan tetapi, sekarang? Batinnya ingin menampik keberadaan 'mereka'. Namun, apa yang ia rasakan, apa yang ia alami, mata, telinga, tubuhnya, lebih bisa menjawab itu semua daripada pikiran egoisnya sendiri. 'Mereka' memang ada. Di rumah ini. Bersama Dita. Mungkin saat ini, Dita tengah berada di antara 'mereka'. Dita kembali fokus mencari profil si komentator postingannya. Fotonya menampilkan seorang lelaki berwajah sawo matang dan bermata tajam. Di sana juga tercantum bio berisi link youtube chanel dan caption promosi untuk di-like, disubscribe, dan lain-lain. Oke, Dita sudah bisa menyimpulkan kalau ia tengah berhadapan dengan seorang youtuber. Iseng, Dita kepo lebih jauh lagi. Ia menonton konten YouTube milik Aji. Kontennya terlihat sepi peminat. Isi kontennya padahal tentang misteri dan pengalaman horor. Ya, Dita merasa yang ditampilkan Aji terlalu dibuat-buat. Mungkin karena alasan itulah video Aji tersebut tidak terlalu mendapat banyak yang merespon. Dita menghela napas lega. Mungkin orang tersebut memang orang iseng yang sok cari sensasi. Ia pun memilih untuk tidak menggubris komentar tersebut. Dita meninggalkan ponselnya sejenak. Ia merenggangkan otot tubuhnya dan menggeliat. Seluruh tulang di tubuhnya terasa pegal sekali. Ya, ini karena ia terus saja mengerjakan banyak hal, memikirkan banyak hal, dan ya, minum kopi. Mungkin minuman itu akan jadi minuman favoritnya sekarang. Ada pesan dari pamannya beberapa detik yang lalu. Dita membukanya dengan wajah semringah. Pamannya akan mengantarkan makanan dan kebutuhannya. Meskipun ia merasa tidak enak, tapi Dita bersyukur. Karena ia memang sangat membutuhkannya. Rasanya malas sekali harus menempuh perjalanan jauh ke minimarket terdekat, padahal baginya itu sangat jauh. Artian terdekat dari rumahnya sama dengan artian cukup jauh bagi Dita. Maklum, ia tinggal di rumah yang terpencil dan jauh dari hiruk-pikuk perkotaan. Notifikasi ponselnya kembali berbunyi. Kali ini, ada komentar lagi. What! Dita terkejut. Aji Dewanto mengomentari postingan Anda. Begitulah bunyi notifikasi yang terlampir. Dita kesal lagi sekarang. [ Kenapa dihapus? Seriusan. Rumah tua itu punya aura berbahaya. ] Deg. Dita merasakan debar jantungnya berpacu. Kenapa orang ini tau? batinnya bergumam. Dengan cepat, Dita langsung mengirim pesan lewat messenger. [ Maaf, ada apa, ya? Kamu jangan sok tahu tentang rumahku. Hapus komentarmu atau aku yang akan menghapusnya. ] Karena tak kunjung membalas, padahal sedang online, Dita kembali menghapus komentar yang menurutnya negatif itu. Sungguh lelaki yang aneh! batin Dita. Ia merasa kesal sekaligus ingin penasaran sebenarnya. Kenapa lelaki itu bisa tahu? Apa memang semua orang bisa melihat dengan jelas bahwa foto yang ia lampirkan memiliki aura mistis? Sekali lagi, Dita melihat foto itu. Akan tetapi, tak ada apa-apa. Biasa saja. Fotonya biasa saja. Ia bahkan menambahkan filter agar pencahayaan untuk foto tersebut menjadi lebih baik. Apa yang salah sebenarnya? Ah, itu sangat memusingkan bagi Dita. Ketukan pintu terdengar. Dita terperanjat. Bayangan akan mimpinya terbersit begitu saja. Namun, saat melihat ada mobil pamannya yang terparkir, Dita jadi lega. "Paman, masuk." "Iya. Ini Paman bawa semua kebutuhan kamu. Bibimu juga membelikan beberapa pakaian." "Terima kasih, Paman. Silakan duduk. Paman kau kopi?" Pamannya mengangguk. Ia duduk dan mulai melihat sekeliling. Sementara Dita beringsut ke dapur. "Kamu mau selesai beres-beresnya?" tanya Pamannya. Dita menjawab pertanyaan sambil mengaduk kopi. "Iya, Paman. Aku udah mulai promosiin rumah ini juga, kok." "Promosi? Di mana?" "Ya, di internet. Sekarang kan di internet apa-apa selalu cepat." "Kamu cantumkan apa yang Paman bilang, kan?" Dita datang dengan dua gelas kopi yang aromanya tersebar ke setiap sudut ruang tamu. Aroma yang membuat siapa pun suka. "Iya," jawab Dita berbohong. Sekali lagi, Dita merajuk dalam hati. Mana mungkin ia mencantumkan tentang sesuatu yang mengerikan di caption iklan penjualan rumahnya. Bahkan tanpa caption itu pun, nyatanya ada yang berkomentar soal aura horor. "Iya, harus begitu." "Lagian, nanti itu bisa dibicarakan lagi kalau orang yang beli sudah ada dan datang ke sini untuk melihat-lihat. Iya, kan?" "Iya. Nanti paman akan temani kamu kalau perlu." "Iya. Paman, aku mau tanya lagi. Memangnya kenapa sih, garasi itu gak boleh dibuka? Kenapa? Apa di dalamnya ada sesuatu yang mengerikan atau apa?" Pamannya berusaha menampilkan senyum. Akan tetapi, Dita tahu. Itu senyuman palsu. Senyuman yang dibuat-buat. "Enggak, kok. Bukan apa-apa." "Bukan apa-apa? Terus kalo bukan apa-apa, kenapa gak boleh dibuka?" "Sudah, Paman tidak mau berdebat untuk sesuatu yang sifatnya tidak terlalu penting." "Ini penting, Paman. Ini supaya aku bisa menjelaskan kepada pembeli alasan kenapa garasi itu tidak boleh dibuka oleh siapa pun." "Dita, garasi itu bukan hanya tidak boleh dibuka, tapi juga tidak bisa dibuka oleh siapa pun. Garasi itu terlarang dan memang sudah rusak. Itu saja. Sudah, cukup." "Oke, Paman. Kalau memang sudah rusak, kenapa dibiarkan? Kenapa kita tidak membongkarnya saja? Atau mungkin kita bisa memperbaiki garasi itu? Itu akan jadi nilai tambah dalam penjualan rumah ini." "Dita, kamu tidak mengerti apa yang terjadi di rumah ini. Kamu tidak boleh menentang Paman." "Memangnya apa yang terjadi?" Pamannya menghela napas. Sadar ia sudah berbicara banyak, lelaki itu memilih untuk menyeruput kopi yang sedari tadi didiamkan. Dita juga mulai menenangkan diri. Ia mungkin sudah agak keterlaluan tadi. Bagaimanapun berbicara dengan nada yang keras dan berdebat dengan pamannya sendiri, itu bukanlah hal yang bagus. Namun, Dita penasaran dan karena ia ahli waris rumah tersebut, ia merasa berhak mengetahui semuanya. "Paman, aku berhak mengetahui semuanya," ucap Dita perlahan. Pamannya hanya diam, tak menjawab. Matanya menatap ke luar dan kemudian berdiri. "Paman harus pergi. Ada urusan." "Oh, iya. Maafkan Dita, Paman. Dita cuma penasaran." "Sudah, tidak apa-apa. Kamu istirahat saja. Nanti kabari paman kalau ada yang tertarik dengan rumah ini." "Iya, Paman. Terima kasih." Dita mengantarkan pamannya sampai masuk ke dalam mobil. "Hati-hati, Paman. Salam buat Bibi." Pamannya mengangguk. Sebelum masuk ke dalam rumah, Dita melihat ke arah garasi butut itu. Gelap dan terlihat sangat kacau. Entah apa isinya. Dita kemudian teringat dengan sosok Aji Dewanto. Segera ia masuk ke dalam rumah untuk mengecek notifikasi pada ponselnya. []
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN