4. Nyonya Baru

1439 Kata
Jari-jari Sheena tak henti-hentinya memelintir ujung bajunya. Matanya terus menerus melirik ke arah koridor, berharap melihat sosok yang dinantikan muncul dari balik tikungan. "Nona ...," suara asisten Leonard itu memecah konsentrasinya. "Tolong tunggu sebentar lagi," potong Sheena cepat, suaranya sedikit bergetar. Tidak lama kemudian terdengar derap langkah cepat dari ujung lorong. Akhirnya! "Sheena!" "Emma!" Sheena segera menyambar tangan sahabatnya itu, erat. "Terima kasih sudah mau datang." "Bos marah besar karena kamu sejak kemarin tidak masuk," desah Emma sambil memandangnya penuh khawatir. "Tapi setelah kami dengar tentang kecelakaan Rizal, dia langsung memaklumi." Sheena menghela napas lega. "Tolong sampaikan terima kasihku pada beliau. Sekarang, aku perlu bantuanmu untuk—" "Sudah, tidak usah panjang lebar. Aku akan tunggui Rizal sampai kamu kembali," sahut Emma sebelum Sheena menyelesaikan kalimatnya. Senyuman tipis mengembang di bibir Sheena. Dia meremas tangan Emma berulang kali, seolah mencari kekuatan dari sentuhan itu. "Aku pergi dulu." Dia berbalik dan mengikuti asisten Leonard yang sudah berjalan mendahului. Pria itu tidak sekali pun menoleh, langkahnya mantap dan pasti,. persis seperti bosnya. Mereka akhirnya tiba di depan mobil hitam mengilap yang sudah menunggu. Pintu terbuka. Sheena masuk ke dalam, ruang sempit itu yang tiba-tiba terasa seperti sangkar. Mobil meluncur keluar dari area rumah sakit. Sebelum tiba di tujuan, mobil berhenti di depan sebuah butik mewah. "Silakan masuk. Anda akan bertemu dengan Dana di dalam," ujar sang asisten tanpa emosi. Sheena mengangguk patuh. Di dalam butik, seorang wanita berpenampilan elegan dengan rambut disanggul rapi menyambutnya. "Afsheena, benar?" "Iya," jawab Sheena pelan. Wanita bernama Dana itu menggandengnya menuju ke ruang fitting. "Saya sudah siapkan gaun putih sederhana namun elegan, persis seperti permintaan Tuan Leonard." Sheena terkesiap saat melihat gaun yang dimaksud. Terpampang di depan matanya sebuah gaun putih berpotongan sederhana dengan panjang sebatas betis. Lengan pendek, dengan detail renda halus di bagian leher. Gaun itu tampak anggun, namun bagi Sheena, gaun tersebut lebih mirip seragam penjara yang siap membelenggunya. Beberapa saat kemudian, Sheena sudah duduk di kursi belakang mobil dengan gaun putih yang terasa asing di tubuhnya. Kain itu berdesir halus setiap dia bergerak, mengingatkannya pada situasi surreal yang sedang dijalaninya. Mobil meluncur mulus menuju halaman sebuah gereja kecil di pinggiran kota yang tampak sepi. Asisten Leonard kembali membukakan pintu untuknya dengan gerakan monoton. Sheena melangkah keluar, angin sore menerpa wajahnya yang pucat. Dalam hati, dia masih sulit mempercayai bahwa sebentar lagi dia akan menjadi istri Leonard Halim, suami dari wanita yang sedang mengandung anak kakaknya. Dia menaiki anak tangga dengan langkah mantap. Di depan pintu gereja, seorang pria muda berdiri memegang buket bunga kecil yang langsung disodorkan padanya. "Untuk Anda," katanya singkat. Sheena menerimanya tanpa bertanya dan hanya senyum segaris yang dia tunjukkan pada pemuda itu. Saat melewati pintu kayu besar, Sheena disambut ruangan yang nyaris kosong. Hanya terdengar suara langkahnya sendiri di lantai marmer. Tidak ada dekorasi pernikahan, tidak ada tamu undangan, hanya kesunyian yang menyelimuti ruang ibadah itu. Di ujung altar, Leonard sudah berdiri tegak dengan setelan jas hitamnya yang membuat pria itu tampak rupawan. Namun, wajahnya tetap datar seperti biasa, tanpa senyum maupun ketegangan. Di sampingnya, pendeta tua memegang Alkitab dengan tenang. Saat Sheena berjalan menyusuri lorong gereja, matanya menangkap sosok wanita paruh baya di bangku paling depan, mungkin satu-satunya saksi selain asisten dan pembawa bunga tadi. Wanita itu mengangguk singkat padanya, ekspresinya netral. Sesampainya di altar, Leonard tidak menawarkan lengannya atau kontak mata. Dia hanya memandang lurus ke depan. "Kita mulai?" tanya pendeta dengan suara rendah. Leonard mengangguk singkat. Sementara Sheena tampak sangat gugup. Prosesi pernikahan berlangsung cepat dan kaku. Saat pendeta membacakan janji pernikahan, suara Leonard terdengar jelas dan tegas saat mengucap "Saya bersedia", sementara Sheena harus berdeham kecil sebelum menjawab dengan suara parau "Saya ... juga bersedia". Yang paling canggung adalah saat pertukaran cincin. Jari-jari mereka bersentuhan sebentar, dan Sheena bisa merasakan betapa dinginnya tangan Leonard. Cincin yang dikenakan di jarinya terasa asing dan berat. "Yang telah dipersatukan Tuhan, tidak boleh diceraikan manusia," ucap pendeta menutup ritual. Leonard pun menuntun Sheena keluar dari gereja dengan pegangan yang formal di punggung tangannya, bukan gandengan mesra. Tidak ada ciuman pengantin, tidak ada pelukan, hanya dua orang asing yang kini terikat oleh ikatan pernikahan yang dingin. Dia kini dia sudah menjadi Nona Afsheena, atau lebih tepatnya, Nyonya Afsheena Halim. Istri Leonard Halim. "Masuklah ke mobil. Nana akan menemanimu," perintah Leonard tanpa menoleh, sambil menuntun wanita paruh baya yang tadi menjadi saksi pernikahan mereka. Wanita itu tersenyum ramah. "Halo, Nona Afsheena." "Sheena saja, Bu," sahutnya cepat. "Kalau begitu, panggil aku Nana." Sheena membalas senyuman tipis, namun senyum itu pudar ketika Leonard berdehem keras. "Cukup basa-basinya. Segera masuk ke mobil," desak pria itu, nada suaranya sedikit meninggi penuh ketidaksabaran. Sheena menatap tajam pria yang baru saja menjadi suaminya itu. Leonard membalas dengan alis berkerut dan pandangan mengingatkan. Dasar tidak sabaran! batin Sheena kesal. Dengan langkah berat, dia masuk ke mobil setelah Nana mengambil tempat duduk di dalam. "Bawa mereka ke Raffles Residences," titah Leonard pada asistennya yang sudah siap di kursi sopir. "Siap, Pak!" "Tunggu!" Sheena tiba-tiba membuka pintu mobil dan melompat keluar. Leonard berbalik, wajahnya berkerut oleh iritasi yang tak tersembunyikan. "Bagaimana dengan kakakku? Dan aku belum memberitahu ibuku tentang ... tentang semua ini!" "Saya akan segera mengurusnya. Masuk!" potong Leonard singkat, suaranya seperti baja. Sheena menghela napas pasrah sebelum kembali masuk ke mobil. Pintu tertutup, dan mobil mewah itu pun meluncur meninggalkan gereja. Begitu mobil yang membawa istri barunya itu pergi, Leonard segera memasuki mobil pribadinya yang hitam. Dengan wajah yang masih berkerut, dia menyetir sendiri menuju rumah sakit—tempat Moza dan Rizal masih terbaring. *** Mobil mewah itu meluncur melalui gerbang besi berukir, memasuki kawasan rumah mewah yang tertutup. Sheena menatap takjub pada bangunan bergaya modern minimalis tiga lantai yang berdiri megah di balik taman yang tertata rapi. Cahaya sore memantul pada dinding kaca dan marmer, membuat seluruh tempat berkilauan. "Kita sudah sampai," ucap Nana dengan lembut, menyentuh lengan Sheena yang tegang. "Apakah ... ini rumah yang ditinggali Moza?" tanyanya ragu-ragu. Nana tersenyum samar sambil mengangguk. "Dan sekarang kamulah nyonya di sini. Ayo." "Tapi ...." "Ayo, turun." Nana segera mendorong tubuh Sheena keluar dari mobil. Saat mereka tiba di teras, seorang pelayan berseragam rapi menyambut dengan membungkuk hormat. "Selamat datang, Nana dan ... Nyonya Baru." "Nyonya baru," gumamnya lirih. Dia masih terlalu asing dengan sebutan itu, mengingat Moza masihlah istri dari Leonard. Sheena melangkah masuk ke dalam, dan napasnya hampir tersendat. Interiornya lebih megah daripada yang bisa dibayangkan, lantai marmer mengilap, langit-langit tinggi dengan lampu kristal berkilauan, dan tangga spiral yang meliuk elegan ke lantai atas. Setiap detail berteriak kemewahan yang membuatnya merasa seperti penyusup. "Rita akan mengantarmu ke kamar utama," ucap Nana, memecah lamunannya. "Kamar utama? Tapi bukankah itu—" "Itu akan menjadi kamarmu sekarang," potong Nana tegas. "Bagaimana mungkin?" Sheena masih saja bergumam tak mengerti. Dengan perasaan campur aduk, Sheena mengikuti Rita menuju lantai atas. Setiap langkahnya di tangga marmer terasa berat, seolah menuju sesuatu yang tak seharusnya menjadi miliknya. Rita membuka pintu kayu berukir yang megah, sekali lagi Sheena memasuki ruangan yang membuatnya terpana. Kamar itu seluas apartemen studio. Tempat tidur king size dengan tirai sutra menjuntai menjadi pusat perhatian, diapit oleh dua meja sisi dari marmer hitam. Di sebelah kiri, terdapat dinding kaca dari lantai ke langit-langit yang menghadap ke kolam renang pribadi dan kota di kejauhan. Sebuah lukisan abstrak besar berwarna gelap menggantung di atas kepala tempat tidur, menambah kesan dramatis. Di sisi kanan, terdapat area duduk dengan sofa kulit dan perapian modern. Lemari pakaian built-in sepanjang dinding terbuat dari kayu mahoni, dengan gagang emas yang berkilau. Pintu kaca geser mengarah ke walk-in closet yang lebih besar dari kamar tidurnya sendiri, dan di baliknya terlihat kamar mandi mewah dengan bathub marmer dan perlengkapan berlapis emas. "Semua sudah disiapkan untuk Nyonya," ucap Rita dengan suara lembut sebelum membungkuk dan pergi, meninggalkan Sheena sendirian di tengah kemewahan yang tiba-tiba menjadi miliknya, sebuah kehidupan baru yang dipaksakan, di ruangan yang seharusnya menjadi saksi bisu cinta Leonard dan Moza. Sheena menatap nanar pada ranjang king size di depannya, lalu melangkah pelan mendekati tempat yang pernah menjadi tempat tidur Leonard dan Moza. Tangannya membelai selimut beludru putih, kainnya halus namun terasa menusuk bagai duri. Dia terduduk di tepinya, tubuhnya lelah tapi pikirannya berputar kencang. Saat matanya berkeliling, sesuatu yang tertutup tirai merah tepat di depan ranjangnya menarik perhatiannya. Tirai itu tergantung berat, seolah menyembunyikan lebih dari sekadar dinding. Dengan hati berdebar, Sheena berdiri dan mendekat. Perlahan, jari-jemarinya yang gemetar menyibak tirai tersebut. Di baliknya, terpampang cermin besar setinggi tubuhnya yang tertanam rapi di dinding. Namun seperti ada yang aneh dengan cermin itu, tapi dia tidak tahu apa. Sheena mengamati pantulan dirinya yang pucat dalam dress pengantin putih, berdiri sendirian di kamar mewah yang bukan haknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN