Kesadarannya muncul perlahan dari alam mimpi. Suara-suara samar terdengar seperti seorang pria dan wanita saling berbicara di dekatnya, menusuk kesadarannya yang setengah terbius oleh kantuk yang tak tertahankan. Sheena berusaha membuka mata, tetapi kelopaknya terasa berat bagai ditindih beban.
"Kondisi Pasien Rizal masih koma, tapi keadaannya sudah stabil untuk dipindahkan, Tuan. Sayangnya, karena kewajiban finansial dari pihak keluarga belum juga terpenuhi, kami terpaksa memindahkannya ke ruang perawatan biasa siang ini."
"Bolehkan saya berbicara dengan adiknya? Tolong bangunkan dia," pinta suara bariton yang tenang namun penuh wibawa.
"Mbak ... Mbak, bangun." Goyangan lembut di pundaknya membuat Sheena akhirnya terbangun. Matanya berkedip-kedip menyesuaikan diri dengan cahaya lampu lorong.
"Oh, Suster," gumannya serak, berusaha duduk tegak. Pandangannya lalu tertumbuk pada sosok yang berdiri tegak di hadapannya, Leonard Halim, menatapnya dengan tatapan tajam yang mengiris.
"Mbak, mengenai biaya perawatan ...."
Sheena langsung menoleh ke perawat, wajahnya memerah karena malu dan cemas. "Suster, maaf, saya ... saya belum berhasil mengumpulkan dananya," ujarnya terbata, tangannya menggenggam erat tepi bangku besi yang dingin.
"Suster, izinkan kami berbicara berdua sebentar," ucap Leonard halus namun penuh ketegasan.
Perawat itu mengangguk patuh dan segera meninggalkan mereka berdua di lorong yang sunyi.
Begitu suster pergi dan meninggalkan mereka, Sheena menunduk dalam-dalam. Jari-jarinya yang gemetar mulai memilin-milin tali tas selempangnya tanpa sadar, seperti mencari pegangan di tengah badai yang sedang menghampirinya.
"Kesulitan dengan biaya rupanya?" Suara Leonard terdengar datar, tapi ada nada merendahkan di dalamnya.
Sheena hanya bisa menggigit bibir bawahnya sampai keputihan.
"Tawaran saya masih berlaku," ujarnya lagi, tak sabar menunggu. "Jadi, apa keputusanmu?"
"Dengan segala hormat, Tuan ... mengapa harus saya?" Sheena memaksa diri menatap langsung mata pria itu, meski jantungnya berdebar kencang.
"Penjelasan saya kemarin tidak cukup jelas bagimu?" balasnya dingin, satu alisnya terangkat sedikit.
Pikiran Sheena melayang pada kata-kata Leonard sebelumnya—tentang balas dendam, tentang ingin membuat Moza menderita. Namun lidahnya terasa kelu, setiap kata seolah berbobot ton.
"Bila kamu menolak," Leonard melanjutkan, suaranya semakin rendah dan berbahaya, "jangan terkejut bila kasus ini berakhir di meja hijau."
"Apakah ini ancaman?" desak Sheena, suaranya bergetar.
"Ini bukan ancaman, Afsheena. Ini fakta. Saya adalah korban di sini—korban pengkhianatan istri saya dan kakakmu. Dengan uang dan bukti yang saya miliki, sangat mudah membuat Rizaldy menghabiskan sisa hidupnya di balik terali besi. Kamu mau menyaksikan itu terjadi?"
Sheena menatap tajam pria di hadapannya. Logikanya mengatakan Leonard memang pihak yang dirugikan, tapi ada sesuatu yang tidak beres. Bagaimana mungkin pria sekuat dan sekaya ini bisa menjadi korban yang tak berdaya? Sangat ironis sekali.
"Nyawa kakakmu ada di tanganmu sekarang, Afsheena."
"Anda ... Anda akan menanggung semua biaya pengobatan abang saya?" tanya Sheena memberanikan diri, kedua tangannya berkeringat. Dia sudah tidak memiliki pilihan lain dan sangat terdesak.
"Tentu," jawab Leonard ringan, seperti sedang menawarkan permen. "Jika itu yang kamu inginkan."
"Hanya menikah, kan? Tidak ada hal lain yang harus saya lakukan?" tanyanya dengan suara bergetar penuh keraguan.
"Itu akan sangat tergantung pada situasi dan kondisi yang ada nanti," jawab Leonard samar, matanya menyipit.
Jawaban itu justru membuat Sheena semakin gamang. Seharusnya dia paham betul implikasi kata 'menikah' status sebagai istri yang sah, dengan segala kewajiban yang melekat padanya.
"Saya kira ... kita hanya berpura-pura menikah untuk membuat Moza menyesal telah mengkhianati Anda ...."
"Cukup katakan 'bersedia' tanpa perlu menganalisis setiap detailnya," potong Leonard tajam. "Intinya, kamu terima tawaran saya, dan saya biayai pengobatan kakakmu. Apa kita sepakat?"
Di dalam benak Sheena, tawaran itu bagai umpan yang terlalu menggiurkan untuk dilewatkan, namun nalurinya berteriak ketakutan. Bayangan mengikat diri yang entah berapa lama waktunya dengan pria dingin ini membuat napasnya sesak.
"Waktumu tidak banyak, Afsheena," desak Leonard, sambil melirik arloji mewah di pergelangannya dengan gerakan mahir yang penuh kesan bosan.
"Baik ... saya bersedia." Akhirnya, kata itu meluncur lesu. Sebuah penyerahan diri, semata-mata untuk menyelamatkan nyawa kakaknya.
"Bagus." Senyum tipis menghiasi bibir Leonard. "Bersiaplah sore ini."
Sheena terkesiap. "Apa? Sore ini? Anda tidak waras!"
"Apakah orang tidak waras akan menawarkan diri untuk membiayai pengobatan kakakmu, Afsheena?" tantangnya dingin.
Sheena hanya bisa kembali menunduk, tidak mampu menjawab.
"Saya harus menengok istri saya sekarang. Permisi." Dengan langkah pasti, Leonard berpaling dan berjalan menuju kamar Moza di ruang inap kelas VIP, meninggalkan Sheena dalam kebingungan dan keputusasaan.
Sheena menoleh ke arah koridor, memandangi punggung tegap Leonard yang berjalan menjauh dengan langkah mantap. Suara sepatu kulitnya bergema di lorong rumah sakit, mengaburkan detak jantung Sheena yang tiba-tiba tidak tenang.
Leonard berhenti di depan ruang inap Moza. Istrinya saat ini tidak sendirian, Alma, ibu mertuanya, tengah duduk di kursi, sibuk mengupas apel dengan tangan yang gemetar. Begitu melihatnya datang, Alma segera berdiri.
"Leon, kamu datang?"
"Duduk saja, Bu," ujar Leonard pelan tapi tegas. Suaranya datar, nyaris tanpa intonasi.
Dia melangkah masuk tanpa senyum. Tubuhnya tegak, jarak antara dirinya dan ranjang seperti garis batas yang tidak boleh dilanggar. Moza sendiri tidak berani mengangkat kepala, kedua tangannya meremas selimut erat-erat.
"Saya dengar kamu hamil," ujar Leonard akhirnya, dingin dan tenang.
Suara itu membuat Moza mengangkat wajahnya perlahan, ada ketakutan di raut wajahnya. Tak berbeda dengan Alma yang terkejut, bertanya-tanya bagaimana Leonard bisa mengetahuinya?
"Ya," jawab Moza lirih. "Tapi jangan berpikir macam-macam, Leon. Bayi ini ... bayi kita." Suaranya terdengar tegas, namun ada getar ketakutan.
Leonard hanya menatapnya lama, lalu tersenyum tipis. Senyum yang bahkan tidak sampai ke matanya.
"Ya. Tentu saja itu bayi kita," gumamnya pelan. "Saya hanya ingin semuanya tetap tertib, Moza. Untukmu, untuk ... bayi kita."
Moza menatapnya penuh harap. "Kita baik-baik saja, kan, Leon? Aku tahu aku salah. Tapi aku ingin memperbaiki semuanya. Aku janji, aku akan berubah."
Leonard menunduk sedikit, seperti sedang berpikir. Lalu dia mengeluarkan map hitam dari saku jasnya dan menaruhnya di meja kecil di samping ranjang.
"Kalau begitu, bantu saya sedikit, Moza. Ini hanya urusan administrasi rumah sakit, supaya saya bisa urus semua pengeluaran dan tanggung jawab hukummu. Tanda tangan di sini," katanya seraya menunjuk ke kolom yang harus dibubuhi tanda tangan.
Moza memandangnya ragu. "Ini apa?"
"Surat kuasa. Saya sudah isi semua datanya. Kamu tak perlu khawatir."
Nada suara Leonard terdengar lembut kali ini, begitu lembut hingga membuat Moza menunduk, menahan tangis yang nyaris jatuh.
Dengan tangan gemetar, dia mengambil pena dan menandatangani tanpa membaca lebih jauh. Seolah dia mempercayai semua kata yang dilontarkan oleh suaminya.
Leonard mengamati gerakannya tanpa ekspresi, lalu mengambil kembali dokumen itu dan menutup map perlahan.
"Terima kasih," katanya tenang. "Sekarang fokus saja pada pemulihanmu. Saya akan urus sisanya."
Moza menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. "Kamu masih mau di sini, kan?"
Leonard menatap jam tangannya sekilas, lalu menatap balik dengan senyum hambar.
"Selalu," jawabnya singkat.
Dia berbalik meninggalkan ruangan. Hanya suara langkahnya yang tersisa, bergaung pelan hingga lenyap di balik pintu.
Alma memandang punggung menantunya dengan napas berat. Dia tidak tahu kenapa, tapi siang itu, hawa di ruangan itu terasa sangat dingin, seperti baru saja ada sesuatu yang berakhir tanpa seorang pun menyadarinya.
***
Dengan perasaan campur aduk, Sheena menyaksikan para perawat dengan cekatan memindahkan Rizal ke kamar inap kelas satu. Desahan mesin monitor dan bunyi selang-selang medis kini terdengar lebih jelas di ruangan yang lebih luas dan bersih ini. Leonard ternyata tidak main-main—pria itu langsung merealisasikan janjinya.
Saat kereta dorong pasien digerakkan, Sheena mengikutinya dengan langkah gontai, kedua tangan melingkari tubuhnya sendiri seakan mencari kehangatan di tengah situasi yang mencekam. Pikiran tentang pernikahan yang akan terjadi sore ini terus mengusiknya seperti bayangan gelap.
"Terima kasih, suster," ucapnya lirih ketika para perawat selesai menata posisi Rizal di ranjang baru.
Dia mendekat ke samping ranjang, menatap wajah kakaknya yang masih tertutup selang oksigen. Wajah itu tampak lebih tenang sekarang, meski kesadaran masih enggan kembali.
"Cepat sadar, Bang. Ibu ... Ibu sangat merindukanmu," bisiknya, jari-jarinya yang dingin membelai lembut punggung tangan Rizal.
Ketukan pintu yang mantap memecah kesunyian ruangan. Sheena menoleh dan menemukan sosok pria berkemeja rapih berdiri di ambang pintu. Dengan langkah tergopoh, dia menghampiri tamu tak diundang itu.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya, berusaha terdengar ramah meski dadanya berdebar tidak karuan.
"Saya diutus Tuan Leonard untuk menjemput Nona," ujar pria itu dengan suara datar. "Beliau sudah menunggu di altar."