2. Beban Berat

1278 Kata
Kertas tagihan itu terasa panas di genggaman Sheena. Kepalanya berdenyut kencang, sementara pikirannya berputar-putar mencari jalan keluar yang jelas tidak ada. Gajinya sebagai pelayan restoran bahkan tidak cukup untuk membayar satu hari perawatan di ICU ini. Dia mengusap pelipisnya, mencoba menekan rasa pusing yang kian menjadi. Tap... tap... tap... Suara langkah kaki tegas menggema di lorong sepi. Sheena mengangkat kepala. Tiga sosok mendekat, bukan ke arahnya, tapi menuju kamar Moza. Seorang wanita berambut sebahu dengan tatapan tajam langsung menuding ke arahnya. "Kamu siapa?" suaranya menggelegar, memecah kesunyian. Sheena bangkit dari duduknya perlahan. "Saya adiknya Rizaldy—" "Rizaldy?" wanita itu menyeringai sinis. "Kakakmu itu kurang ajar! Mengajak istri orang keluyuran malam-malam! Lihat sendiri akibatnya! Ini sama saja mencoreng nama baik keluarga kami!" "Diena," tegur wanita yang lebih tua di sampingnya, meletakkan tangan pada lengan wanita galak itu. Seorang pria yang menyertai mereka hanya diam, namun matanya menyelidik seperti sedang menimbang-nilai Sheena. "Ayo, kita temui Moza dulu," desak wanita tua itu. Tanpa kata lagi, ketiganya melangkah meninggalkan Sheena, seolah keadaan Rizal di ruang ICU sebelah sama sekali tak patut diperhatikan. Sheena terjatuh kembali di kursi, kedua tangannya menutupi wajah. Masalah biaya rumah sakit yang tadi sudah seperti gunung, kini bertambah dengan hinaan dari keluarga Moza. "Sheena." Dia mengangkat kepala. Dari ujung lorong, ibunya, Sisca, berjalan tergopoh-gopoh dengan wajah pucat dan rambut yang sedikit acak-acakan. "Ibu!" Sheena melompat bangun. "Kenapa Ibu ke sini? Seharusnya Ibu tunggu di rumah saja." "Bagaimana Ibu bisa tinggal diam sementara kakakmu sekritis ini?" Sisca menggenggam tangan Sheena erat-erat. "Bagaimana keadaan Rizal, Nak?" Sheena menggandeng ibunya pelan-pelan menuju jendela ICU. "Lihat Abang, Bu." Sisca terkesiap. Tangannya gemetar menutupi mulut saat melihat tubuh renta anak sulungnya terbaring tak berdaya, dikelilingi selang dan mesin yang berdetak ritmis. "Ya, Tuhan ... anakku ...." Sheena memeluk bahu ibunya yang ringkih. Air matanya mengalir deras, bercampur dengan rasa bersalah karena menyembunyikan kenyataan pahit tentang tagihan rumah sakit yang menggantung. Biarlah dia sendiri yang akan mencari jalan keluarnya. "Bagaimana dengan ... wanita itu?" tanya Sisca dengan suara bergetar. "Dia sudah sadar, Bu. Dia hanya mengalami patah kaki. Keadaannya juga tidak separah Abang." "Syukurlah ...." Sisca menghela napas. Namun begitu dia tetap merasa sesak melihat putra sulungnya terbaring tak berdaya. "Tapi, Bu ... lebih baik Ibu tidak menemuinya dulu," ucap Sheena pelan. Sisca memandangi putrinya, kedua matanya menyipit penuh tanya. "Kenapa?" Sheena hanya menggeleng lemah, rahangnya mengeras. Kata-kata itu terasa mengganjal di tenggorokannya, entah bagaimana menjelaskan bahwa keluarga wanita itu telah menyambutnya dengan cacian, dan bahwa mereka semua kini terjebak dalam skandal yang jauh lebih dalam dan berbahaya daripada yang Ibunya bayangkan. Sheena dan ibunya sebenarnya sudah mencium hubungan Rizal dengan Moza. Satu bulan yang lalu, wanita itu pernah muncul di depan rumah mereka, mencari Rizal dengan alasan mereka adalah teman sekelas saat SMA dulu. Saat itu, Moza tersenyum ramah dan membawakan kue untuk mereka. Sheena yang awalnya menyambut hangat, mulai curiga ketika melihat cara Moza memandang Rizal, terlalu lama dan berbinar-binar, bukan seperti tatapan seorang teman lama biasa. "Abang kenal dia, ya?" tanya Sheena pada Rizal setelah Moza pergi. Rizal hanya mengangguk cepat, tapi matanya menghindari Sheena. "Teman sekolah dulu, kok." Kecurigaan Sheena ternyata terbukti. Satu Minggu lalu, Rizal akhirnya jujur. Di kamarnya, dengan suara rendah dan wajah dipenuhi rasa bersalah, dia mengaku. "Dia itu ... istri Leonard Halim, Dek. Pengacara ternama itu." "Leonard Halim? Yang punya hotel mewah itu?" tanya Sheena masih dalam keterkejutan. Rizal mengangguk, lalu menceritakan tentang rumah tangga Moza yang dingin dan selalu diabaikan oleh suaminya. Sheena terduduk di tepi tempat tidur, dadanya sesak setelah mendengar penuturan Abangnya mengenai Moza. "Lalu kenapa Abang terlibat? Itu juga bukan urusan Abang!" Rizal menatap lantai. "Dia tidak bahagia, Dek. Suaminya sibuk, dia merasa sendiri ...." "Jadi Abang mau saja dijadikan pelarian olehnya?!" Suara Sheena meninggi, tangannya mengepal kuat. "Abang pikir ini main-main? Dia istri orang lho! Di mana harga diri abang sebagai laki-laki?!" Namun, pengakuan Rizal berikutnya seperti menghantam kepalanya. Suara Rizal nyaris tak terdengar, penuh beban. "Abang tidak bisa putuskan hubungan ini, Sheen, Moza ... dia hamil. Anak Abang." Demi makam ayahnya, Sheena ingin sekali menghantam wajah Rizal dengan gitar yang teronggok di sudut kamar kala itu. Kakaknya benar-benar sudah gila. Bermain api dengan istri Leonard Halim, seorang pengacara ternama yang juga putra tunggal konglomerat pemilik jaringan hotel berbintang. Bayangan percakapan panas mereka seminggu lalu kembali berputar di kepalanya, membuat dadanya sesak. Syukurlah ibunya tidak menyadari pertengkaran mereka, sehingga semua masih menjadi rahasia gelap antara kakak beradik itu. Namun, Sheena tidak yakin berapa lama rahasia itu tetap tersimpan, apalagi saat ini Rizal dan Moza mengalami kecelakaan tragis. "Kamu pasti lelah, Shen. Pulang dan istirahatlah. Biar Ibu yang menjaga abangmu di sini," ujar Sisca lembut, menepuk punggung tangan putrinya yang dingin. "Tidak, Bu. Aku baik-baik saja. Ibu yang seharusnya pulang. Biar aku yang tunggu di sini. Kalau abang sadar, aku akan telepon Ibu se—" "Jadi kalian keluarga Rizaldy?" Suara keras itu tiba-tiba memotong pembicaraan mereka. Sheena dan Sisca serempak menoleh. Keluarga Moza telah kembali, Diena dengan wajah merah padam, didampingi wanita tua dan pria yang tadi kini muncul di hadapannya mereka. Sisca berdiri, sedikit bingung. "Iya, kami keluarga Rizaldy. Ada yang bisa kami bantu?" "Bantu?" sela Diena dengan nada tinggi. "Lihatlah yang bisa dilakukan kalian! Lihat anakmu itu!" tunjuknya ke arah Sheena. "Dia membiarkan kakaknya menggoda istri orang! Moza sekarang patah kaki, trauma! Dan kau bilang bisa bantu? Punya apa kau ingin membantu kami, hah?!" Wajah Sisca pucat. "Nona, saya yakin ada salah paham—" "Salah paham?" Wanita tua yang sejak tadi diam itu kini berbicara, suaranya bergetar menahan marah. "Kami baru saja diberitahu oleh Dokter yang mengatakan jika Moza hamil. Dan Moza mengaku jika itu adalah anak dari putramu, bukan suaminya!" Dia menatap tajam ke arah Sheena, yang langsung menunduk, jantung berdebar kencang. Sisca terhuyung, seperti baru saja ditampar. "Hamil? Rizal ...? Tidak mungkin." "Tidak mungkin?" Diena mendekat, menatap sinis. "Kalian pikir ini main-main? Keluarga kami dipermalukan! Moza terluka, dan sekarang kami tahu dia hamil anak laki-laki b******k! Anak dari pria yang jelas-jelas bukan suaminya! Apa kalian bisa bayangkan betapa malunya keluarga kami?" Sheena memandangi ibunya yang tampak limbung, memegangi dinding untuk menyangga tubuh. Dunia seakan runtuh berlapis-lapis, kecelakaan, tagihan rumah sakit, dan kini aib yang tersingkap di depan ibunya. Dan di balik semua ini, bayangan murka Leonard saat tahu istrinya hamil oleh pria lain membuat Sheena bergidik ngeri. "Dengarkan baik-baik!" hardik Diena, jari telunjuknya menancap ke arah Sheena. "Jangan berani-berani bocorkan soal kehamilan Moza kepada Leonard! Kalau kau berani bocorkan, aku hancurkan hidup kalian berdua!" Suaranya mendesis penuh ancaman. Sisca tampak bergetar ketakutan dalam dekapan Sheena. Keributan itu akhirnya diredakan oleh perawat dan petugas keamanan yang khawatir mengganggu kenyamanan pasien lain. Keluarga Moza meninggalkan rumah sakit dengan langkah kesal, meninggalkan Sheena dan Sisca dalam perasaan kacau. Setelah suasana tenang, Sheena membujuk ibunya yang tampak kelelahan untuk pulang. "Ibu, sudah hampir senja. Lebih baik Ibu pulang dan istirahat." "Kamu ikut pulang saja, Nak," bujuk Sisca dengan suara lemah. Sheena menggeleng pelan. "Aku mau tungguin Abang di sini." Selain itu, ada beban lain yang mengganjal, tagihan rumah sakit yang harus segera dibayar. "Ingat makan, ya. Oh, biar Ibu belikan makanan di kafetaria untukmu." Sheena hanya mengangguk, membiarkan ibunya pergi membeli makanan untuknya. Beberapa saat kemudian, Sheena memegang roti yang dibelikan ibunya tanpa selera. Butiran roti terasa kering di mulutnya, susah ditelan. Pikirannya terus berputar pada angka-angka tagihan rumah sakit yang mustahil dia penuhi. Tawaran Leonard tentang pernikahan itu kembali bergema di kepalanya, menggoda seperti bisikan iblis. "Aku harus apa?" gumamnya lirih, sisa kunyahan roti masih memenuhi mulutnya sementara rasa lelah dan putus asa mulai menyelimuti seluruh tubuhnya. Bahkan kantuknya pun tidak mampu dia tahan lagi, hingga akhirnya dia berbaring di atas bangku besi dingin itu dan tertidur pulas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN