1. Pria Yang Dikhianati

1507 Kata
Hujan deras membasahi jalan raya sepi di pinggiran kota malam itu. Suara klakson panjang menyayat, diikuti benturan keras logam menghantam aspal dan tiang listrik. Sebuah sedan hitam terhenti di pinggir jalan. Bagian depannya ringsek parah, kaca depannya retak, menyisakan serpihan halusnya berhamburan di udara. Di bawah lampu jalan, bayangan dua tubuh terperangkap dalam rongsokan mobil. Seorang pria di balik kemudi terengah-engah, darah mengucur deras dari pelipisnya. Perempuan di sampingnya menjerit tertahan, kakinya terjepit pintu mobil yang remuk. Beberapa pengendara berhenti. Ada yang panik, ada yang hanya bisa memandang ngeri, sementara yang lain segera memanggil bantuan. Polisi dan ambulans tiba lima belas menit kemudian. Kedua korban berhasil dievakuasi dari mobil yang ringsek itu dan segera dilarikan ke rumah sakit terdekat untuk penanganan lebih lanjut. “Nama korbannya?” tanya seorang petugas. “Perempuan ini Moza Arimbi, istri pengacara ternama Leonard Halim. Dan pria ini ... Rizaldy Pratama,” jawab seorang saksi yang mengenal Moza dari penampilannya di media sebagai bintang iklan. “Rizal?” Polisi itu saling memandang. “Bukan suaminya?” Saksi itu menggeleng pelan, sembari memegang kartu identitas si pria. “Bukan, Pak.” Catatan itu ditulis cepat di buku laporan malam itu: tabrakan di Jalan Arjuna Timur melibatkan pengemudi tak dikenal yang kabur. Namun, satu pertanyaan menggantung menjadi bahan bisik-bisik: apa yang sebenarnya dilakukan istri seorang pengacara berduaan di tengah malam seperti ini dengan pria lain? *** Keesokan paginya, rumah sakit menjadi tempat pertemuan dua dunia yang remuk. Moza selamat, namun harus mengalami patah kaki cukup parah dan berpotensi lumpuh untuk waktu yang lama. Sementara pria yang bersamanya, Rizal, menderita luka serius dan masih tak sadarkan diri di ICU. Suara langkah kaki terdengar berisik di lorong rumah sakit yang masih sepi. Sheena baru saja pulang dari shift malamnya ketika kabar mengerikan tentang kecelakaan kakaknya itu sampai di telinganya subuh tadi. Dia membujuk ibunya untuk menunggu di rumah, sementara dia yang akan mengecek keadaan Rizal. Di ruang tunggu, Sheena duduk memeluk tasnya erat. Wajahnya pucat, napasnya pendek-pendek. Dia telah mendapat laporan tentang kondisi Rizal dan Moza pagi itu, setelah melalui penanganan intensif semalaman. Petugas rumah sakit juga menyarankannya untuk mencari keterangan kronologi kejadian dari saksi atau polisi. Tapi Sheena hanya bisa terduduk lemas. Dia enggan menyelami lebih dalam detail kecelakaan yang menimpa kakaknya. Satu hal yang dia tahu: Rizal bersama Moza dalam kecelakaan itu. Dan dia cukup mengenal siapa Moza, seorang wanita bersuami yang belakangan ini kerap terlihat dekat dengan kakaknya. Tangannya gemetar menatap tubuh Rizal di balik kaca ICU, terbungkus perban dan selang-selang yang menyambungkannya pada mesin penunjang kehidupan. Nyawa kakaknya bergantung pada desisan dan detak mesin itu. “Abang ...,” bisiknya lirih, suaranya nyaris hilang tertelan kesunyian lorong. Suara langkah sepatu yang tegas memecah marmer lorong rumah sakit, menghentikan lamunannya. Sheena menoleh. Seorang pria berjas gelap berdiri tidak jauh darinya, dengan raut wajah datar dan tatapan yang mengiris. Sheena langsung mengenali sosok itu, Leonard Halim, suami Moza. Wajahnya sering menghiasi media berita lokal. Aura dinginnya menyapu seluruh ruang. Matanya sesaat menatap ke arah kamar Moza, sebelum beralih pada Sheena tanpa ekspresi. Sheena memilih duduk di kursi besi yang dingin, dengan jantung yang berdebar kencang. “Jadi, kamu adik dari pria itu? Rizaldy?” tanya suara bariton itu. “Iya,” jawab Sheena pelan, kepalanya menunduk memandangi lantai marmer di bawah kakinya. “Kamu tahu apa yang telah dia lakukan?” “Saya ... saya tidak tahu apa-apa, Tuan. Saya baru tiba, saya hanya ingin melihat keadaan kakak saya—” “Kakakmu meniduri istriku.” Kalimat itu diucapkan datar, dingin, seperti pisau bedah. Sheena masih menunduk, terdiam, dan mematung, seluruh urat wajahnya menegang. Ingin membantah, tapi lidahnya terasa kaku dan kelu. Leonard melangkah mendekat, satu tangan tetap terselip di saku celananya. Kini tatapan mata Sheena tertuju pada sepasang sepatu kulit hitam yang mengilat di depannya. “Saya bisa menyeret keluargamu ke pengadilan karena melindungi pelaku perzinahan dan pencemaran nama baik.” Sheena mengangkat kepalanya, memandang pria itu dengan tatapan nyalang. Ini menakutkan. “Tapi, saya memilih untuk tidak membawa ini ke jalur hukum ....” Leonard balas menatap dalam ke mata Sheena yang mulai berkaca-kaca. Leonard yakin, gadis ini tahu banyak tentang hubungan terlarang yang terjadi antara istrinya dan kakaknya. Sheena hanya berpura-pura tidak tahu untuk melindungi dirinya sendiri atau kakaknya. “Dengan satu syarat. Kamu harus menerima tawaran saya.” Sheena mengerjapkan mata, bingung. “Tawaran?” “Menikah dengan saya.” Ucapannya tenang, namun dampaknya menghujam bagai tusukan belati. Sheena terpaku. Untuk sesaat, dia mengira ini adalah lelucon buruk, tetapi raut wajah pria di depannya tidak berubah sedikit pun, tetap datar, penuh ketegasan, dan sama sekali tidak tergugah. “Menikah? Untuk apa? Dan, mengapa harus saya?” Sheena tampak kebingungan. “Karena saya ingin Moza merasakan bagaimana rasanya dikhianati. Dan karena saya ingin setiap kali dia melihatmu, dia teringat betapa murahnya pengkhianatan yang dilakukannya.” Sheena menunduk. Matanya terasa memanas, dadanya sesak. Pria di hadapannya ini sedang merancang balas dendam terhadap istrinya sendiri. Dan dia, hanya kebetulan sebagai adik dari pria yang menjadi selingkuhan istrinya, dengan mudahnya dijadikan pion utama dalam rencananya. 'Pria ini benar-benar sangat licik dan juga kejam!' batinnya berseru. 'Dia pikir aku mau dijadikan alat balas dendamnya.' Sheena kembali merutuk. Di balik kaca ICU, mesin monitor terus berdengung pelan, mengisyaratkan kakaknya yang masih terombang-ambing antara hidup dan mati. Sementara di sisi lain, hidup Sheena baru saja diseret ke dalam permainan balas dendam seorang lelaki yang merasa direndahkan oleh perselingkuhan istrinya. “Kamu boleh pertimbangkan tawaran saya. Kita bisa bertemu lagi besok, di sini. Dan, keputusanmu ... bisa memengaruhi keadaan kakakmu. Selamat siang.” Leonard berpaling, meninggalkan Sheena yang masih terpaku, kebingungan menerima tawaran gila itu. “Apa dia baru saja mengancamku?” gumam Sheena lirih, memandangi punggung tegap Leonard yang semakin menjauh. Sheena melangkah mendekat ke jendela kamar, memandangi Rizaldy yang terbaring tak berdaya di balik kaca. “Nona Afsheena?” Suara itu membuatnya menoleh. Seorang petugas polisi berdiri tak jauh darinya. Dengan perasaan campur aduk, Sheena menghampirinya. “Anda adik dari Rizaldy Pratama, korban kecelakaan bersama Moza Arimbi tadi malam di Jalan Arjuna?” “Benar, Pak.” sheena sudah berdiri tepat di hadapan petugas polisi itu. “Bisa ceritakan kronologi kejadiannya, Pak?” tanya Sheena. Meski telah membaca beberapa berita di media sosial, tetap saja dia ingin mendengar penjelasan secara langsung dan akurat. “Menurut saksi mata dari arah berlawanan, sebuah mobil melaju dengan tidak wajar. Mobil yang dikendarai saudara Rizal berusaha menghindar, namun gagal karena mobil tersebut seperti sengaja memblokir jalan. Akibatnya, Saudara Rizal membanting setir ke kanan dan sayangnya, di sana ada tiang listrik. Mobil dari arah berlawanan justru menabrak bagian kiri mobilnya, membuat pintu penumpang ringsek parah. Pelakunya langsung kabur. Kami masih menyelidiki dan menduga pengemudi itu dalam keadaan mabuk.” “Menurut Bapak, apakah ini benar-benar kecelakaan biasa?” tanya Sheena, merasa ada yang tidak beres. “Mengapa Anda menanyakan itu? Apakah selama ini saudara Rizaldy memiliki musuh? Atau, sedang berselisih dengan seseorang? Oh, iya, saya ingat jika Nona Moza adalah istri pengacara ternama Leonard Halim. Jangan-jangan ini ada hubungannya dengan beliau?” Mendengar nama Leonard, Sheena langsung membelalak. “Tidak, Pak! Saya sama sekali tidak menuduh Pak Leonard ... maafkan saya.” Petugas itu memandanginya dengan kedua alis saling bertautan, wajahnya berkerut penuh pertanyaan. “Hm, jika Anda memiliki kecurigaan tertentu, bisa sampaikan kepada kami dengan disertai bukti-bukti yang kuat. Jika tidak ada, untuk sementara kami masih menyimpulkan ini sebagai kecelakaan yang melibatkan pengemudi mabuk yang kabur.” Sheena mengangguk pelan. “Terima kasih untuk informasinya, Pak.” Begitu petugas itu pergi, Sheena kembali menjatuhkan dirinya di kursi besi ruang tunggu. Tatapannya kosong, tubuhnya lelah oleh rasa khawatir dan kurang tidur. Belum sempat dia mengambil napas dalam, seorang perawat mendatanginya. “Mbak Afsheena, keluarga dari Rizaldy Pratama?” “Iya, suster. Ada kabar apa?” Perawat itu menyodorkan selembar kertas. “Ini tagihan sementara untuk perawatan hari ini. Karena lokasi kejadian bukan di jalan tol atau jalan utama yang dikelola jasa marga, maka tidak ada klaim asuransi jalan. Seluruh biaya sementara ini ditanggung oleh keluarga.” Sheena menerima kertas itu. Matanya langsung membelalak melihat angka yang tertera. “Enam puluh juta? Baru hari pertama?” ujarnya lirih, jantungnya berdebar kencang. “Iya, Mbak. Ini termasuk tindakan darurat di IGD, operasi, pemasangan pen, obat-obatan, dan perawatan intensif di ICU. Akan ada tagihan harian untuk ruang ICU dan obat-obatan selanjutnya.” Sheena memandangi angka-angka itu, tangannya mulai gemetar. Angka-angka dalam kertas itu seketika saja menjadi mimpi buruknya. “Suster ... apakah ada cara untuk ... menunda atau mengangsur pembayaran ini?” Perawat itu menghela napas simpatik. “Kami meminta deposit sebesar itu dulu untuk melanjutkan perawatan, Mbak. Jika tidak, kami terpaksa akan memindahkan pasien ke ruang perawatan biasa besok pagi, dan beberapa tindakan lanjutan mungkin harus dihentikan.” Perkataan perawat itu menghujam seperti pukulan. Sheena memandang ke arah kaca ICU, di mana kakaknya berjuang antara hidup dan mati, dan kini nyawanya juga bergantung pada uang yang tidak dimilikinya. “Saya ... saya mengerti. Saya akan berusaha mencairkannya,” gumamnya pelan, sementara dalam hatinya bertanya, ’Bagaimana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam semalam?’
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN