Pagi itu, Sheena memilih tetap berada di kamar dan enggan bergabung di meja makan untuk sarapan. Malas sekali dia bertemu dengan Leonard setelah tadi malam. Dia yakin jika pria itu akan datang ke kamarnya sebentar lagi dan mengucapkan kata-kata tidak menyenangkannya.
Suara ketukan lembut memecah kesunyian. Sheena menoleh, sedikit terkejut. Bukan Leonard, pria itu tidak akan pernah repot-repot mengetuk.
"Masuk," jawabnya lirih.
Pintu kamar didorong ke dalam, jelas sekali bukan Leonard, tapi Rita yang datang membawa nampan berisi sarapan untuknya.
"Selamat pagi, Nyonya. Saya diminta Tuan Leonard untuk membawakan sarapan anda ke kamar," ujar Rita seraya meletakkan nampan yang dibawanya ke meja kecil di samping sofa.
"Kupikir dia yang akan datang ke sini menemuiku," ujarnya tanpa sadar.
Rita tersenyum simpatik sambil menata makanan di meja kecil. "Tuan Leonard sedang sangat sibuk pagi ini. Asisten dari firma hukumnya sudah datang sejak pagi-pagi sekali, katanya ada persidangan penting pagi ini."
Sheena hanya mengangguk, tidak terlalu tertarik dengan urusan Leonard. Tangannya mengambil anggur Muscat dan menggigitnya. Rasa manis-asam meletup di lidahnya.
"Ada kabar baik untuk Nyonya." Rita melanjutkan sambil melipat serbet.
Sheena mengangkat kepalanya menatap Rita. "Kabar apa?"
"Tuan Leonard, memberi izin kepada anda untuk berkunjung ke rumah sakit membesuk kakak anda."
Ekspresi wajah Sheena seketika berubah menjadi lebih cerah. "Sungguh?!" tanyanya tak percaya.
"Ya, ini sungguhan. Tapi dengan catatan saya harus ikut dengan anda ke rumah sakit," balas Rita lagi.
"Itu sama sekali bukan masalah. Jadi kapan kita bisa pergi, Rita?" tanya Sheena hampir tidak sabaran.
"Kita bisa pergi setelah Tuan Leonard dan asistennya berangkat ke pengadilan. Nyonya punya banyak waktu untuk berada di rumah sakit, jadi manfaatkan waktu yang diberikan oleh Tuan Leonard."
Sheena tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Dia menyelesaikan sarapan dengan cepat, mandi, dan bersiap untuk pergi. Dia ingin bertemu dengan ibunya, Emma, dan juga melihat perkembangan kondisi kakaknya yang entah bagaimana kabarnya setelah dua hari ini dia menyandang status sebagai istri Leonard Halim.
Sheena berdiri mematung di depan cermin panjang, memandangi bayangannya yang terlihat asing. Gaun katun warna lemon itu terjuntai elegan hingga ke betis, potongannya klasik dan mahal, sangat old money, dan samgat bukan gaya Sheena sekali. Di balik pintu lemari kayu mahoni, tidak ada lagi jejak jeans belel dan kaus oblong favoritnya. Semua telah digantikan oleh koleksi busana yang membuatnya merasa seperti memakai kostum orang lain.
Dia beralih ke jendela, menyaksikan sebuah mobil hitam meluncur masuk ke halaman. Tak lama, Leonard muncul dengan langkah tegas, jasnya berkibar ditiup angin pagi. Di belakangnya seorang wanita berpenampilan formal berjalan mengikutinya sembari membawa tas laptopnya. Sheena menahan napas saat Leonard dan wanita itu memasuki mobil dan pergi. Senyum tipis mengembang di bibirnya, akhirnya kebebasan sesaat menanti.
Pintu kamar kembali terbuka, sontak saja dia menoleh dan mendapati Nana yang muncul di sana.
"Kamu sudah bersiap pergi, Sheena?"
Sheena menghampiri dan menarik wanita tua itu untuk duduk bersama di sofa beludru. "Jadi benar, kan? Leonard mengizinkanku menjenguk Rizal?"
Nana mengangguk, tapi matanya menghindar. "Iya, dia mengizinkan. Tapi jangan lupa dengan ... pesannya."
Sheena menatapnya lebih dalam. "Pesan?"
"Tentang status pernikahan kalian," bisik Nana, suaranya seperti peringatan halus.
"Oh, tentu." Sheena mengalihkan pandangannya ke jendela. "Aku ingat."
Nana tersenyum kaku. Senyum wanita itu seolah menyembunyikan sesuatu yang tidak Sheena tau.
Rita muncul tepat saat sunyi mulai mengganggu. "Mobil sudah menunggu. Atas perintah Tuan Leonard."
Mereka berjalan menuruni tangga marmer, melewati lorong-lorong megah yang masih terasa asing. Di teras, mobil hitam mengilap sudah siap, mesinnya berdesis pelan.
Sheena menoleh pada Nana. "Tidak apa kan kami tinggal."
"Tentu saja, Sayang. Pergilah, semoga kakakmu segera sembuh dan kembali sehat sedia kala."
Sheena tersenyum hangat. "Terima kasih, Nana. Kami pergi ya."
Mobil yang membawa Sheena dan Rita meluncur meninggalkan halaman Raffles Residence. Nana masih bertahan di teras rumah dan menghela napas panjang.
"Nana, mobil dari rumah sakit akan tiba dalam beberapa menit lagi," ujar seorang pelayan di belakangnya.
"Kalau begitu, ayo persiapkan kamarnya." Nana segera memutar tubuhnya dan melangkah masuk ke dalam mansion yang diikuti oleh pelayan tadi.
***
Sheena dan Rita sudah berada di rumah sakit, namun dia tidak melihat ibunya di sana. Sheena berdiri di tepi ranjang rumah sakit, menatap wajah Rizal yang masih pucat namun terlihat lebih tenang di bawah selimut bersih kamar VIP. Semua peralatan medis di sekitarnya berteknologi mutakhir, sesuatu yang tidak pernah bisa dia bayangkan mampu dibiayai keluarganya. Di sudut ruangan, Rita berdiri dengan tangan terlipat, mengawasi dengan diam.
"Leonard menepati janjinya," gumam Sheena dalam hati. Tapi justru ini yang membuatnya semakin bingung. Mengapa pria itu mau membiayai pengobatan orang yang jelas-jelas telah mengkhianatinya? Apa yang sebenarnya sedang dimainkan Leonard?
Dia menoleh pada Rita. "Bisakah kamu menunggu di sini sebentar? Aku ingin pulang ke rumah menemui ibuku."
Rita mengangguk patuh. "Tentu, Nyonya."
Sheena segera bergegas keluar, tangannya menggenggam tas dengan erat. Di luar, dia menghentikan taksi dan menyebut alamat rumah masa kecilnya. Sepanjang perjalanan, hatinya berdebar-debar, rindu bertemu ibunya, tapi juga cemas dengan pertanyaan yang mungkin akan diajukan.
Saat taksi berhenti di depan rumah sederhana yang ditinggali keluarganya selama belasan tahun, Sheena langsung melompat keluar.
"Ibu!" panggilnya sambil mengetuk pintu yang ternyata terkunci.
Dari dalam terdengar suara anak kunci yang diputar, lalu pintu terbuka. Seorang wanita muda tidak dikenal berdiri di depannya.
"Siapa kamu?" tanya Sheena, matanya menyelidik.
"Saya Ika, pembantu di sini."
"Pembantu?" Sheena mengerutkan kening. Dengan gerakan cepat, dia menerobos masuk mencari ibunya. "Ibu!"
Siska terkejut melihat putrinya muncul tiba-tiba di dapur. "Sheena! Kamu pulang?"
"Mengapa ada pembantu di sini, Ibu?" tanya Sheena sambil matanya terus mengamati Ika yang kini berdiri di ambang pintu dapur.
"Ibu tidak tahu persis. Dia bilang butuh pekerjaan dan tidak punya tempat tinggal. Meski Ibu bilang tidak bisa membayar, dia bersikeras mau tinggal di sini." Siska menghela napas. "Ibu pikir ... dengan kamu bekerja untuk membiayai pengobatan Rizal, setidaknya ada yang temani Ibu di rumah."
Sheena menatap ibunya dengan sorot sedih. Dia tahu jika ibunya pasti sangat kesepian. Kemudian dia menemui wanita muda itu lagi, mengajaknya berbicara di luar rumah.
"Apa kamu di sini atas perintah Tuan Leonard?" tanya Sheena.
Wanita itu mengangguk pelan. Matanya tidak berani menatap Sheena langsung.
Sheena mengusap wajahnya, rasa frustasi memuncak. "Dasar licik ...," gumamnya melalui gigi yang terkunci. Leonard tidak hanya mengontrol hidupnya, tapi kini juga menyusup ke dalam kehidupan keluarganya yang tersisa.
***
Mobil ambulance berhenti di depan pelataran rumah. Nana, dengan postur tegap namun wajah penuh keprihatinan, sudah menunggu di depan tangga rumah bersama dua pelayan yang berdiri sigap di belakangnya. Tak lama, mobil lain menyusul, Diena dan Alma turun dengan langkah cepat dan wajah yang masih diliputi kekhawatiran.
Pintu ambulance terbuka. Dua perawat dengan hati-hati menurunkan brankar yang membawa Moza. Wajahnya pucat, tubuhnya terbaring lemah dengan kaki yang masih terbalut gips.
"Pelan-pelan," bisik Nana, mendekati para perawat. "Gunakan pintu samping, sudah disiapkan jalur khusus yang landai untuk kursi roda."
Diena menggigit bibirnya, matanya menyapu kemegahan rumah itu dengan rasa tak suka. "Aku benar-benar tidak mengerti dengan Leon. Moza masih butuh perawatan intensif, tapi dia malah dibawa pulang," gumannya pada Alma yang hanya bisa menghela napas.
"Dengan perawat khusus dan fasilitas yang disiapkan di sini, Moza akan mendapat perawatan terbaik," jawab Nana dengan tenang, mendengar keluhan Diena.
Saat brankar memasuki kamar yang disiapkan, Moza mengangkat kepalanya pelan. "Nana ... ini bukan kamarku," protesnya lemah, suaranya terdengar bergetar.
"Kamar ini lebih praktis untuk kondisimu sekarang, Sayang," jawab Nana sambil merapikan selimutnya. "Lihat, ada akses langsung ke terapi fisik dan taman. Bukankah Leon sangat perhatian dengan menyiapkan semuanya?"
"Tapi ... berarti kami tidak sekamar lagi?" tanya Moza, matanya berkaca-kaca.
Nana hanya tersenyum tipis, menghindari tatapan Moza yang memohon penjelasan.
Diena berjalan mengamati setiap sudut kamar baru itu. Bau cat dan kayu baru masih tercium tajam. Semua perabotan terlihat masih berlabel, seperti kamar yang baru saja dibuat dalam waktu singkat. Ada sesuatu yang tidak beres di sini.
"Sepertinya lebih baik kita tinggalkan Moza untuk beristirahat," ucap Nana, membimbing Diena dan Alma keluar kamar.
Saat pintu kamar tertutup, Moza menatap langit-langit kamar barunya. Kesepian yang lebih dalam dari yang pernah dia rasakan mulai menyergap, sementara di balik senyum Nana, tersimpan rahasia yang membuat seluruh situasi ini terasa semakin tidak nyaman.