Telepon di pangkuan Nana bergetar menyentak kesunyian. Dengan gerakan tenang, dia menyentuh layar dan menempelkannya di telinga.
"Halo?"
"Bagaimana progres di sana?" Suara Leonard di seberang terdengar datar, tanpa emosi.
Nana memandangi Sheena yang saat ini sedang dibalur masker wajah oleh salah satu terapis. "Hampir selesai. Kamu akan melihat hasil yang memukau nanti," jawabnya sambil mengamati perubahan halus pada penampilan Sheena.
Ada jeda singkat sebelum Leonard berbicara lagi. "Jika sudah selesai, tolong antarkan dia ke dokter untuk kontrasepsi setelah selesai."
Nana mengerutkan kening. "Mengapa, Leon?" bisiknya, mencoba menahan suara agar tidak terdengar Sheena.
Tapi Sheena sudah menangkap sesuatu dari nada bicara Nana. Matanya yang tertutup kompres terbuka sedikit.
"Tidak perlu khawatir, Nana. Beri dia pilihan. Aku tidak ingin dia hamil terlalu cepat, mengingat pernikahan kami masih baru," jelas Leonard dengan suara tegas.
Nana menghela napas pelan, jari-jarinya memegang erat telepon. "Baiklah, aku akan mengantarnya nanti sore."
"Terima kasih, Nana. Sampai nanti." Sambungan terputus.
Nana meletakkan ponselnya perlahan, wajahnya sempat menampakkan kerutan kekhawatiran sebelum kembali tersenyum.
"Ada masalah, Nana?" tanya Sheena yang sudah duduk tegak, matanya penuh keingintahuan.
Nana berjalan mendekat dan duduk di sampingnya, tangan hangatnya menepuk punggung Sheena. "Kita perlu ke dokter nanti sore, Sayang."
Sheena membeku. "Dokter? Untuk apa?" tanyanya, hati berdebar tidak karuan.
Nana tetap mempertahankan senyumnya, meski matanya tidak tampak cerah. "Biasa, pemeriksaan rutin saja. Untuk memastikan semuanya baik-baik saja."
Setelah beberapa jam menjalani serangkaian perawatan tubuh, sore harinya Sheena menemani Nana ke sebuah klinik eksklusif yang sama sekali berbeda dari rumah sakit tempat Rizal dan Moza dirawat. Klinik ini lebih mirip butik mewah dengan penerangan lembut dan aroma essential oil yang menenangkan. Sheena dan Nana menunggu di ruang tunggu yang nyaman dengan sofa kulit empuk.
"Nyonya Afsheena Halim."
Suara dari speaker yang tenang menyebut namanya dengan nama belakang Leonard. Sheena sedikit tercekat, sementara Nana dengan sigap berdiri.
"Di sini," sahut Nana.
Mereka diantar oleh perawat berseragam putih bersih menuju ruang konsultasi. Seorang dokter berambut hitam lebat dengan kacamata frameless menyambut mereka dengan senyum hangat.
"Selamat sore, Nana. Lama tidak bertemu," sapa dokter itu sebelum memandang Sheena. "Dan ini pasti Afsheena? Leonard bercerita tentang pernikahan kalian."
Sheena hanya bisa mengangguk kaku, tangannya sedikit berkeringat.
"Leonard menelepon tadi," kata Dokter Andreas sambil membuka berkas. "Dia ingin memastikan kalian merencanakan keluarga dengan baik. Kapan terakhir Anda menstruasi?"
"Dua ... dua minggu lalu, Dok," jawab Sheena pelan.
Dokter Andreas mengangguk sambil mencatat. "Baik. Mari kita bahas pilihan kontrasepsi yang sesuai." Dokter kemudian menjelaskan dengan rinci, "Ada beberapa opsi, dari pil KB yang harus dikonsumsi rutin setiap hari, sampai metode jangka panjang seperti IUD yang bisa bertahan lima tahun, atau implant yang efektif hingga tiga tahun."
Sheena mendengarkan dengan serius, jari-jarinya tak sadar memelintir ujung jaketnya.
"Sebelum menentukan pilihan, lebih baik kita lakukan pemeriksaan dasar dulu," lanjut Dokter Andreas dengan suara menenangkan. "Kita akan cek kesehatan rahim dan organ reproduksi Ibu melalui USG transvaginal, untuk memastikan semuanya dalam kondisi optimal."
Perawat kemudian memandu Sheena ke ruang pemeriksaan di sebelah. Dengan gemetar, Sheena berbaring di atas bed examination yang dingin. Saat transducer USG dimasukkan, dia menatap langit-langit putih, merasakan betapa tubuhnya kini menjadi bagian dari perjanjian yang tak adil ini. Di balik pintu, Nana menunggu dengan ekspresi campur aduk, antara setia melaksanakan perintah Leonard, tapi mungkin juga merasa iba pada gadis muda di ruang pemeriksaan itu.
***
"Leonard Halim! Berani-beraninya kamu menyembunyikan kabar kecelakaan Moza dari kami?" Suara Inggrid di seberang meninggi, penuh dramatis. Leonard bisa membayangkan ibunya sedang duduk di sofa velvet rumah mereka di Paris, dan tangan yang penuh perhiasan mengepal.
"Semua sudah terkendali, Ma. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," jawabnya sambil berdiri dan berjalan ke jendela, memandang kota dari ketinggian.
"Tapi kenapa hal sepenting ini tidak kamu kabari kami, Leon. Bayangkan, Mama dan papamu adalah orang terakhir yang mengetahui kabar itu, bahkan Josh dan Melisa sama sekali tidak mengatakan apa-apa pada kami. Menyedihkan sekali," ungkapnya dramatis sembari menyebut dua anaknya yang lain. 
Leonard menghela napas pelan. "Maaf, Ma. Saya hanya tidak ingin mengganggu waktu Mama dan Papa. Moza hanya mengalami patah tulang kaki, butuh beberapa bulan untuk pulih. Sisanya dia baik-baik saja."
"Oh, kasihan sekali! Mama akan segera pulang—"
"Tidak perlu." Leonard memotong dengan tegas. "Tetaplah di sana menemani Papa. Percayalah, semuanya baik-baik saja di sini."
"Tapi Leon, menantu mama baru saja mengalami kecelakaan dan dipastikan dia tidak akan bisa berjalan untuk beberapa bulan kedepan, jika mama tidak pulang, semua orang akan mengecap mama sebagai ibu mertua yang kejam," ujar Inggrid menjelaskan posisi dirinya. 
"Tidak akan ada yang berkomentar buruk tentang Mama," potong Leonard lagi. "Kesehatan Papa lebih penting. Mama tidak perlu khawatir tentang Moza. Semua sudah terkendali."
Panggilan dimatikan, setelah Leonard dengan susah payah membujuk ibunya untuk tidak perlu pulang ke Indonesia hanya untuk membesuk Moza. Dia kembali melangkah ke kursinya. 
"Kamu bisa pergi, Mel," usirnya pada sang adik yang sejak tadi duduk tepat di depan meja kerjanya. 
"Aku mau tau mengenai hubungan kamu dan istrimu. Jadi dia selingkuh?" tanyanya tanpa basa-basi. 
Leonard mengangkat alis. "Seperti yang kamu dengar."
"Wow! Seorang Leonard Halim yang sempurna dikhianati istri sendiri. Ini benar-benar sangat mengejutkan sekali. Tapi kamu sama sekali tidak bilang pada Mama bahwa Moza kecelakaan bersama selingkuhannya," sindir Melisa panjang lebar.
"Ini urusanku," jawab Leonard dingin sambil menekan tombol interkom. "Sekarang keluar sebelum kupanggil security."
"Kamu benar-benar menyebalkan, Leon!" Melisa berdiri dengan gerakan dramatis, wajahnya merah karena marah sebelum membanting pintu ruangan kakaknya. 
"Ya, terima kasih banyak, Melisa."
Dia kembali menduduki kursi kerjanya yang mewah, jari-jarinya membuka berkas klien. Namun konsentrasinya terusik oleh dering ponsel yang memecah kesunyian ruangan. Tangannya yang bebas segera menyambar perangkat itu. Nama 'Andreas' berkedip di layar.
"Halo, Dre."
"Leon, istri barumu sudah selesai melakukan pemeriksaan. Hasilnya baik, rahim dan organ reproduksinya sehat sempurna. Dan, yang paling utama, dia masih perawan."
"Bagus. Saya akan transfer biayanya."
"Dia juga sudah melakukan pilihan kontrasepsinya ...." Andreas terdengar agak ragu. "Dia memilih IUD. Aku sudah jelaskan semua opsi mulai dari pil, implant, sampai suntik, tapi setelah mendengar penjelasan tentang efektivitas dan durasi, dia memilih IUD yang bisa bertahan lima tahun."
Leonard terdiam sejenak. "Oke."
"Kamu tidak keberatan? Itu pilihan jangka panjang."
"Tidak. Itu keputusannya."
"Leon ... bagaimana dengan Moza?"
"Tidak ada yang berubah. Dia akan pulang besok."
"Dia belum tahu tentang pernikahan kamu yang baru?"
"Dia akan tahu saat waktunya tepat. Cukup, Dre jangan bertanya lagi." Leonard menutup telepon dengan gerakan cepat.
Sebelumnya di ruangan dokter ....
Di ruang konsultasi, Sheena masih terlihat pucat saat dokter Andreas menjelaskan pilihannya.
"IUD yang Anda pilih ini akan ditempatkan di dalam rahim," jelas Andreas dengan suara lembut. "Efektif mencegah kehamilan hingga 99% selama lima tahun. Proses pemasangannya hanya beberapa menit, mungkin sedikit kram, tapi setelah itu Anda hampir tidak akan merasakannya."
Sheena mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. "Dan ... ini bisa dicabut kapan saja jika saya ... jika kami menginginkan anak?"
"Tentu saja, Nyonya Halim. Begitu dicabut, kesuburan Anda akan langsung kembali normal." Andreas memandangnya dengan penuh pengertian. "Ini adalah pilihan yang sangat baik untuk perencanaan keluarga."
Sheena menarik napas dalam. Dalam hatinya, pilihan ini terasa seperti pengakuan diam-diam bahwa pernikahannya dengan Leonard bukanlah kisah cinta, melainkan transaksi yang membutuhkan pengamanan. IUD lima tahun, simbol berapa lama mungkin dia harus menjalani peran sebagai istri boneka dalam sandiwara balas dendam Leonard.
~
Malam itu, Sheena memilih untuk mengurung diri di kamar mewah yang terasa semakin pengap. Tubuhnya lemas terkulai di atas kasur, tatapan kosong menatap langit-langit kamar dengan pikiran menerawang. Dia menyadari betapa hidupnya kini bagai bidak catur yang sepenuhnya berada dalam genggaman Leonard, sebuah konsekuensi pahit yang harus ditanggungnya demi keselamatan Rizal.
Di lantai bawah, Leonard baru saja tiba. Jasnya yang masih rapi langsung dibuka dan diserahkan pada pelayan. Matanya menyapu ruang makan mewah yang hanya diisi oleh Nana.
"Di mana dia?" tanyanya singkat sambil menarik kursi kepala.
"Sheena sedang tidak enak badan, Leon. Ingat, seharian tadi dia menjalani pemeriksaan yang cukup melelahkan," jawab Nana sambil menurunkan sendok peraknya.
Leonard mengangguk pelan, lalu tiba-tiba berdiri. "Saya akan menengoknya."
Nana tidak sempat membalas, karena Leonard sudah menghilang di balik pintu ruangan.
Sheena yang sedang berbaring terkejut saat pintu kamarnya terbuka tanpa permisi. Dengan gerakan refleks, dia bangun terduduk, rambutnya yang tergerai berantakan menutupi sebagian wajahnya yang pucat.
"Bisa tidak kamu mengetuk dulu sebelum masuk?" protesnya dengan suara serak.
Leonard berdiri tegak di tengah ruangan kamar, satu tangannya dimasukan ke dalam saku celana. "Saya suamimu. Untuk apa harus minta izin masuk ke kamar sendiri?" sahutnya dingin, tatapan matanya mengamati Sheena yang tampak rentan dalam gaun tidur sutra. 
Sheena menjatuhkan tubuhnya kembali ke atas kasur, membalikkan badan sambil mengabaikan kehadiran Leonard yang seolah menguasai setiap inci ruang dan hidupnya.
Leonard tidak bergerak, tetap berdiri tegak di tengah ruangan, matanya tanpa sengaja menelusuri lekuk tubuh Sheena yang terlihat jelas melalui gaun tidur tipis berwarna putih, betisnya yang jenjang dan pucat tersirat dalam cahaya lampu kamar. Darahnya berdesir, tapi segera dia tekan reaksi alamiahnya dengan mengetatkan rahang. Pandangannya dialihkan paksa ke jendela kamar yang gelap.
"Besok malam," ucapnya, dengan suara sedikit serak, "saya akan ambil hak saya sebagai suami. Persiapkan diri kamu."
Sheena membeku. Namun sebelum sempat membalas, Leonard sudah berbalik dan meninggalkan kamar, membiarkan pintunya terbuka sedikit.
"b******k!" Sheena mendesis kesal, menggigit bantal hingga kepalan tangannya memutih. Amarahnya bercampur rasa takut yang membuat seluruh tubuhnya menggigil.