6. Two-way Mirror

1310 Kata
Sheena masih menatap tajam ke arah Leonard, napasnya sedikit tersengal. Pria itu kini memegang kendali penuh atas hidupnya, dan dia sama sekali tak berdaya. Namun di balik itu ada nyawa yang sedang ingin diselamatkan, kakaknya. Leonard membalas tatapannya dengan sorot mata bagai es, dingin dan tak terbaca. "Malam ini dan besok kamu boleh tidur sendiri. Tapi mulai lusa, kamu harus siap menjalankan peran sebagai istri sepenuhnya." "Jadi maksudnya aku harus melayanimu?" tanya Sheena dengan suara tercekat. Leonard yang semula memandang ke arah jendela, kini memutar tubuhnya perlahan. "Bila kamu belum paham tugas seorang istri, saya akan meminta Nana untuk memberimu pelajaran." "Tidak usah! Aku mengerti apa yang kamu maksud!" potong Sheena cepat, pipinya memerah karena campuran malu dan marah. "Bagus." Leonard berbalik hendak pergi. "Selamat malam, Afsheena." Tapi Sheena segera menyergap, menghalangi langkah Leonard yang hendak mencapai pintu. "Bagaimana dengan ibuku? Apa dia berhak tahu bahwa putrinya sudah menikah?" "Siang tadi saya sudah menemui ibumu." Sepasang mata Sheena membulat sempurna. "Kamu menemui ibu? Membicarakan apa?" "Tentang biaya pengobatan kakakmu. Dan saya katakan pada beliau, jika kamu akan bekerja pada saya sebagai gantinya." Senyum kecut merekah di bibir Sheena. "Jadi pernikahan kita adalah rahasia?" Leonard tidak menjawab, pandangannya tetap tertuju pada pintu yang terbuka. "Berapa lama ini akan berlangsung, Tuan Leonard Halim yang terhormat?" tanya Sheena dengan nada menantang. Leonard akhirnya menoleh, matanya menyapu wajah Sheena dari ujung kepala hingga kaki. "Sampai saya merasa puas denganmu." "Sialan kau!" umpat Sheena melalui gigi yang terkatup. Tanpa berkata lagi, Leonard melangkah keluar, meninggalkan Sheena yang berdiri terguncang di tengah kamar mewah yang tiba-tiba terasa seperti penjara. Setelah Leonard pergi, Sheena tidak bisa duduk diam. Dia berjalan mondar-mandir di atas karpet tebal, jari-jarinya tanpa sadar memilin ujung gaun tidur sutranya. Pandangannya menjelajahi setiap sudut kamar mewah yang tiba-tiba terasa seperti ruang pesakitan. Akhirnya, dengan langkah gontai, dia merebahkan diri di atas kasur yang luas. Dia mengambil ponsel barunya, benda asing yang dipaksakan ke dalam hidupnya. Saat membuka daftar kontak, sudah tersedia tiga nama di sana yakni, Nana, Eric, dan Leonard. Tidak ada nomor ibunya, bahkan nomor Emma pun tidak ada. "Sial!" geramnya dalam hati, melemparkan ponsel itu hingga memantul di atas selimut beludru. Dia memilih merebahkan tubuhnya di atas ranjang yang tampak nyaman. Mencoba memejamkan mata, berusaha memaksa diri untuk tidur. Tapi kelopak matanya seolah menolak menutup. Pikirannya terus melayang kepada ibu dan keadaan kakaknya yang tidak dia tahu keadaan sebenarnya. Dalam keremangan cahaya kamar, matanya tanpa sengaja tertuju pada cermin besar di seberang ranjang. Pantulan dirinya sendiri terlihat samar-samar, seperti hantu di balik kaca. "Mengapa kamar ini membuatku merasa seperti sedang diawasi?" bisiknya gemetar, sebelum memutar tubuh dan berusaha menenangkan diri. ~ Leonard memasuki sebuah kamar yang masih berbau cat dan kayu baru. Setiap perabotan masih terbungkus plastik, kecuali sebuah ranjang minimalis di tengah ruangan. Dia berjalan menuju panel kaca besar yang tertutup tirai merah darah. Dengan gerakan mantap, tangannya menyibak tirai itu. Yang terpampang bukan bayangannya sendiri, melainkan pemandangan jelas kamar Sheena. Terlihat jelas, gadis itu sedang berguling-guling di atas tempat tidur, wajahnya diliputi kecemasan. Two-way mirror ini adalah masterpiece-nya, sebuah alat balas dendam yang sempurna untuk membuat Moza menderita karena telah mengkhianatinya. Leonard berdiri tegak, tangan di saku, mengamati setiap yang dilakukan Sheena. Dia menyaksikan bagaimana gadis itu terus bergerak gelisah sambil memeluk bantal, padahal malam sudah larut. Tiba-tiba, Sheena terduduk. Matanya menatap lurus ke arah cermin. Leonard tidak bergerak, tahu betul jika Sheena tidak bisa melihatnya. Tapi ada sesuatu dalam tatapan gadis itu yang membuat nafasnya sesaat tertahan. Sheena turun dari ranjang, langkahnya pelan dan penuh keraguan. Dia mendekat ke arah cermin, wajahnya hanya berjarak sejengkal dari kaca. Di kedua sisi cermin, mereka berdiri berhadapan, Sheena dengan ketakutan yang terpancar jelas, sedangkan Leonard dengan wajah yang sama sekali tidak ada emosi. "Kau menakutkan!" Sheena mendesis, sebelum menarik kasar tirai merah hingga menutupi seluruh permukaan cermin. Dunia Leonard tiba-tiba gelap. Tirai yang tertutup itu seperti tamparan baginya. Tapi yang tersisa di bibirnya justru senyum tipis. Permainan baru saja dimulai. *** Di meja makan pagi itu hanya ada Leonard dan Nana tengah menikmati sarapan. "Nona Sheena belum turun?" tanya Nana sambil menyeka sudut mulutnya dengan serbet. Leonard tidak mengalihkan pandangannya dari piring. "Mungkin masih tertidur," jawabnya singkat, dengan suaranya yang datar. Nana mengamati raut wajah Leonard. "Oh, kalian belum berbagi kamar rupanya." Leonard melirik ibu asuhnya. "Moza akan pulang besok pagi. Saya sudah menyewa perawat khusus untuk terapinya. Saya ingin Nana yang mengawasi semuanya." Nana mengangguk pelan. "Tentu saja, Leon. Aku akan mengawasi mereka seperti perintahmu." "Dan, satu lagi ... Jangan biarkan Sheena memasuki kamar baru Moza." "Ya. Akan kuingat itu." "Terima kasih, Nana. Saya sangat percaya padamu." "Selamat pagi." Percakapan mereka diinterupsi oleh kehadiran Sheena di meja makan. Nana tersenyum senang melihat Sheena akhirnya bergabung dengan mereka di meja makan. Leonard hanya melirik sekilas pada Sheena, lalu kembali sibuk dengan sarapannya. "Bagaimana tidurmu, Sayang? Nyenyak?" tanya Nana pada Sheena. Sheena tersenyum tipis. "Aku tidak bisa tidur, mungkin karena berada di tempat yang masih asing." "Oh, tentu saja. Itu wajar sekali, Sheena. Mungkin jika lama-kelamaan kamu akan terbiasa dengan suasananya." "Ya, Nana." "Saya sudah selesai." Leonard segera berdiri dari duduknya. Di bawah meja, Nana dengan halus menyenggol kaki Sheena. Sheena terkejut, lalu memahami maksud wanita itu saat Nana melirik ke arah Leonard yang sedang beranjak pergi. Sheena yang paham dengan maksud Nana, lantas berdiri dari duduknya. Leonard menaikkan kedua alisnya. Lalu melangkah menjauh dari meja makan, Sheena pun mengikuti langkah lebar pria itu. Menyadari jika ada yang berjalan di belakangnya, dengan sigap Leonard memutar tubuhnya dan membuat Sheena hampir saja menabraknya. "Tidak perlu mengantar saya," ucap Leonard dingin. "Kembalilah ke meja makan." "Oh. Baiklah," jawab Sheena pelan. Dia berbalik dan berjalan kembali ke meja makan, merasakan tatapan Leonard yang menembus punggungnya sebelum pria itu akhirnya pergi. Nana hanya bisa menghela napas pelan, menyaksikan ketegangan antara kedua muda-mudi itu. Udara pagi yang segar menyapu wajah Sheena saat dia berjalan menyusuri taman yang luas usai sarapan. Kakinya menapaki jalan setapak batu alam yang diapit hamparan rumput hijau terawat. Matanya menelusuri setiap detail kemegahan rumah ini, arsitektur yang sempurna, taman yang seperti lukisan. Sebuah kehidupan mewah yang hanya bisa dia impikan sebelumnya. "Dia punya segalanya," gumamnya lirih, jari-jarinya tak sadar membelai kelopak mawar yang baru merekah. "Suami tampan, kekayaan berlimpah ... tapi masih saja berselingkuh." Kepalanya menggeleng pelan. "Apa sebenarnya yang dia cari?" Kenangan akan pengakuan Rizaldy tiba-tiba menghampiri pikirannya. Suara kakaknya yang bergetar saat berkata, "Dia kesepian, Sheen. Suaminya tidak pernah ada untuknya." Sheena menghela napas panjang. "Alasan yang terlalu rapuh," bisiknya. "Nyonya!" Suara memanggil dari belakang membuatnya menoleh. Rita terlihat berjalan cepat mendekat, napasnya sedikit tersengal. "Ada apa, Rita?" "Nana memanggil Nyonya. Beliau menunggu di taman sisi timur." Dengan langkah tenang, Sheena mengikuti Rita menuju area kolam ikan besar. Di sana, Nana sedang duduk dikelilingi dua wanita berseragam putih bersih, dengan postur tubuh tegap dan profesional. "Sheena, Sayang," sapa Nana dengan senyum hangat. "Kita perlu merawat tubuhmu hari ini." Sheena mengerutkan kening. "Haruskah?" tanyanya, tangannya tak sadar menyibak rambut yang tertiup angin. "Ini perintah Leonard," jawab Nana lembut tapi tegas. "Mari ganti pakaian dulu. Mereka akan memulai perawatanmu." Tanpa protes, Sheena mengikuti Rita ke ruang ganti kecil di dekat taman. Kimono sutra halus telah disiapkan untuknya. Saat kain itu menyentuh kulitnya, dia merasakan getar aneh, seperti sedang dipersiapkan untuk sesuatu yang tidak sepenuhnya dia pahami. Kembali ke taman, Nana menuntunnya ke kursi santai yang telah dilapisi handuk. "Berbaringlah di sini, Sayang." Sheena merebahkan tubuhnya, matanya tertuju pada langit biru di atas. Dua terapis itu mulai bekerja dengan gerakan terlatih, tangan mereka yang terampil mengoleskan lotion dingin ke kulit Sheena. Tapi sentuhan mereka terasa terampil, seperti prosedur yang harus dijalani, bukan perawatan yang menenangkan. Dia menutup mata, mencoba menikmati momen ini. Tapi dalam hatinya, dia tahu ini bukan sekadar perawatan tubuh. Ini adalah bagian dari transformasi yang dipaksakan Leonard yang ingin mengubah Afsheena yang sederhana menjadi versi yang layak menjadi 'istri' di dunia mewahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN