Bab 13

1055 Kata
Suasana kafe sore itu cukup tenang, hanya suara alunan musik jazz lembut dan percakapan pelanggan yang terdengar samar. Di salah satu sudut ruangan, Viola duduk menanti. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan gelisah. Pandangannya menerobos kaca besar yang menampakkan lalu lalang orang di trotoar luar. Hingga akhirnya, sesosok pria bertubuh tinggi dengan kamera tergantung di leher memasuki kafe. Rambutnya sedikit berantakan khas seniman, dan senyum ramahnya selalu mengingatkan Viola pada ketenangan laut sore hari. "Viola," sapa Ezra sambil menarik kursi di depannya. "Oke, spill. Ini soal cowok gila itu, ya?" Viola menghela napas panjang. "Banget." Ezra menatap serius. “Gue siap bantu, tapi gue pengen tahu semuanya dulu. Lo bilang mau pura-pura pacaran. Tapi kenapa sampai segitunya, Vi?” Viola menggigit bibir bawahnya. Lalu, dengan suara rendah tapi penuh tekanan, ia mulai menceritakan segalanya. Dari bagaimana Mario—kakak sepupu jauhnya—muncul kembali dalam hidupnya. Awalnya sebagai pelindung, lalu berubah menjadi sosok pengendali yang mengekang. Bagaimana Mario menyabotase pekerjaannya sebagai DJ, memaksanya pulang ke rumah orang tuanya, bahkan mengganggu kehidupannya setiap saat. “Dia... terobsesi, Ezra. Bukan cinta. Tapi obsesi yang bikin gue sesak. Gue nggak bisa gerak. Nggak bisa kerja. Dia tahu semua gerak-gerik gue. Dia selalu muncul. Selalu mengawasi.” Ezra mendengarkan dengan tenang, matanya menatap Viola lekat-lekat. Tidak ada ekspresi menggampangkan atau meremehkan. Ia sungguh menyimak. “Dan sekarang,” lanjut Viola sambil mengusap wajahnya, “satu-satunya cara yang gue pikir bisa bikin dia mundur adalah… kalau gue punya cowok. Seorang pacar. Seseorang yang bisa dia lihat sebagai ‘penghalang’. Sesuatu yang nggak bisa dia tembus.” Ezra menyesap kopinya pelan, lalu mengangguk pelan. “Dan lo milih gue buat jadi pacar pura-pura itu?” Viola mengangguk. “Gue butuh seseorang yang bisa dipercaya. Yang bisa akting dan nggak akan bawa-bawa perasaan ke dalam permainan ini. Gue tahu lo bisa.” Ezra tersenyum tipis, lalu menaruh cangkir kopi di meja. “Oke. Gue terima. Tapi ada satu syarat.” Viola menatap Ezra waspada. “Apa?” “Satu, kita harus punya ‘cerita’ yang masuk akal. Gimana kita ketemu, udah berapa lama pacaran, dan kenapa lo nggak pernah cerita ke keluarga lo sebelumnya. Dua, lo harus siap bawa gue ketemu keluarga lo.” Viola tertawa kecil meski wajahnya masih diliputi ketegangan. “Gampang. Cerita bisa dibuat. Dan untuk ketemu orang tua gue, malah bagus. Biar Mario lihat langsung.” Ezra bersandar santai. “Sip. Kita mulai dari mana?” Viola tersenyum untuk pertama kalinya hari itu. “Besok pagi. Lo datang ke rumah gue. Pura-pura antar sarapan. Kita bakal bikin drama itu dimulai.” Ezra mengangkat alis. “Drama, ya? Berarti gue harus dandan ganteng dong.” “Kalau perlu, lo harus akting romantis juga,” kata Viola sambil tersenyum nakal. Ezra tertawa. “Tenang aja. Gue aktor terbaik kalau urusan gombal.” Viola mengangguk penuh tekad. Untuk pertama kalinya, ia merasa punya sekutu. Dan rencananya baru saja dimulai. *** Pagi itu matahari baru saja naik dengan tenang, membanjiri halaman rumah keluarga Viola dengan cahaya keemasan yang hangat. Burung-burung bercuit riang di dahan pohon mangga tua, dan angin semilir membawa aroma tanah yang masih basah karena embun. Pintu gerbang depan terbuka perlahan. Sosok Ezra, dengan kemeja kasual dan rambut yang tertata rapi, melangkah masuk sambil membawa kantong kertas berisi dua bungkus sarapan dari kafe favorit Viola. Senyum ramah tergantung di wajahnya, meski dalam hati ia tahu bahwa pagi ini tidak akan mudah. Ketika Ezra baru saja mengangkat tangan untuk menekan bel rumah, pintu terbuka begitu saja. Dan di sana—berdiri tegap, dengan tubuh tinggi menjulang dan mata tajam penuh kecurigaan—adalah Mario. Tatapan mereka bertabrakan. Ezra tetap tersenyum sopan, sementara Mario menatapnya seakan ingin membakar pria yang ada di hadapannya hidup-hidup. “Kau siapa?” tanya Mario dingin, nadanya penuh tekanan, tidak menyembunyikan sedikit pun rasa tidak suka. Ezra mengangkat kantong kertasnya sedikit. “Pagi juga. Gue Ezra. Pacarnya Viola.” Hening. Mario tidak langsung menjawab. Matanya menyipit, menyapu Ezra dari ujung kepala sampai ujung kaki. Detik berikutnya, ia menyeringai miring—sinis, meremehkan. “Pacar?” gumam Mario pelan, langkahnya maju, mendekat seperti macan yang bersiap menerkam. “Sejak kapan Viola punya pacar dan gue nggak tahu, hah?” Ezra hanya menatap tenang, tidak terprovokasi. “Mungkin karena kamu bukan siapa-siapanya Viola,” jawab Ezra datar tapi tajam. “Dan orang pacaran nggak perlu lapor ke kamu, kan?” Mario tertawa kecil. Tapi tawa itu lebih terdengar seperti geraman binatang buas. “Lucu kamu. Datang pagi-pagi bawa sarapan, ngaku-ngaku pacar Viola. Kau pikir aku bodoh?” Ezra menegakkan bahunya. “Gue nggak datang buat debat. Gue cuma mau kasih sarapan ke Viola. Kalau lo nggak suka, lo bisa minggir.” Mario mengepalkan tinjunya diam-diam, tapi belum sempat ia membalas, suara langkah tergesa dari dalam rumah menghentikan pertikaian yang baru saja akan meledak. “Ezra!” seru Viola dengan nada sedikit berlebihan, muncul di depan pintu sambil tersenyum lebar, aktingnya seolah-olah mereka benar-benar pasangan yang sedang jatuh cinta. Ezra langsung berbalik. “Sayang, gue bawain sarapan.” Viola menghampiri Ezra, meraih tangannya dan mencium pipinya cepat. “Awww, kamu manis banget!” Seketika rahang Mario mengeras. Matanya menusuk seperti anak panah, dan Ezra bisa merasakan amarah pria itu melonjak naik seperti gelombang laut yang siap menghantam karang. Viola menatap Mario dengan senyum kemenangan. “Kamu ngapain pagi-pagi udah di rumahku, Mario?” “Gue cuma mampir. Tapi rupanya banyak kejutan pagi ini,” jawab Mario pahit. Viola tertawa pelan, memeluk Ezra erat. “Yah, hidupku memang penuh kejutan.” Rihana muncul dari ruang tengah. “Eh? Ezra ya? Wah, akhirnya kita ketemu!” serunya ceria. “Kamu bener pacarnya Viola?” Ezra menjawab sopan. “Iya, Tante. Senang bisa bertemu.” Rihana langsung tersenyum lebar. “Masuk, masuk. Sarapan bareng, ya?” Mario masih terpaku di tempatnya. Dadanya naik-turun. Ia ingin berteriak, ingin menyeret Ezra keluar rumah dan menghancurkan semua yang barusan ia lihat. Tapi untuk sekarang, ia harus bermain cantik. “Silakan masuk,” katanya penuh tekanan, membuka jalan sambil menatap Ezra seakan ingin mengirisnya dengan pandangan. Ezra melirik Viola sekilas. Viola menggenggam tangannya lebih erat, memberi isyarat bahwa semua ini akan berhasil kalau mereka kompak. Mereka masuk ke dalam rumah, meninggalkan Mario yang berdiri sendiri di ambang pintu—bagai raksasa marah yang baru saja ditampar kenyataan. Namun dalam hati Mario bertekad. Kalau dia akan menyingkirkan Ezra ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN