Bab 12

751 Kata
Jam dinding menunjukkan pukul satu siang ketika Viola akhirnya keluar dari kamarnya. Rambutnya masih sedikit kusut, tapi tatapannya tajam dan sikapnya penuh dengan amarah yang ditahan sejak semalam. Langkahnya terdengar tegas saat ia menuruni tangga dan matanya langsung menangkap sosok Mario yang sedang duduk santai di sofa ruang tamu, menonton televisi seperti tidak terjadi apa-apa. Viola menghentikan langkahnya, menatap Mario tajam dari atas tangga. "Kau masih di sini?" tanyanya dengan nada sinis, matanya menyipit. "Apa kau nggak punya rumah sendiri, hah? Atau kau pikir kau bisa menetap di rumah orang terus?" Mario menoleh perlahan, tersenyum tipis. "Aku nyaman di sini," jawabnya santai, lalu berdiri dan menghampiri Viola. Langkahnya tenang tapi penuh intensi. Viola menegakkan tubuhnya, menjaga jarak, tapi Mario sudah terlalu dekat. Lelaki itu tiba-tiba meraih pinggangnya, menariknya pelan namun mantap hingga tubuh mereka nyaris bersentuhan. Viola tersentak kaget. "Jangan sentuh aku!" serunya sambil berusaha melepaskan diri. Namun Mario hanya mengusap pipi Viola lembut, pandangannya dalam dan nada bicaranya datar. "Kau rumahku, Viola. Aku cuma pulang." Viola langsung menepis tangan Mario kasar. "Kau gila! Jangan pernah coba-coba menciumku, Mario!" desisnya penuh kebencian. Ketika Mario ingin mencium bibirnya. Mario malah tertawa pelan, seolah mendengar sesuatu yang lucu. "Semakin kau menolak, semakin aku tahu… kau belum bisa lari dariku. Dan itu membuatku semakin ingin punya kamu. Karena akh mencintaimu." "Kau salah besar!" Viola membentak. "Itu bukan cinta! Itu obsesi! Dan aku muak denganmu!" Viola memutar tubuhnya, hendak berjalan ke arah dapur, namun Mario sempat menahan lengannya sejenak sebelum akhirnya melepaskannya dan membiarkannya pergi. Namun jauh dalam dirinya, Mario tahu satu hal—Viola membencinya, tapi dia tidak akan menyerah. Dia akan tetap tinggal. Dia akan membuat semua orang di rumah ini percaya bahwa dia adalah penyelamat. Dan Viola, meski berontak, tidak bisa mengusirnya begitu saja. ** Viola mengurung diri di dalam kamar. Napasnya memburu, bukan karena takut—tapi karena marah. Ia merasa dikekang di dalam rumahnya sendiri oleh Mario, kakak sepupu jauh yang semakin hari makin menggila. Mario bukan lagi pria biasa yang dulu kadang ia anggap konyol. Sekarang Mario adalah ancaman yang nyata. Obsesi yang menyesakkan. “Dia harus pergi. Harus menjauh dariku. Tapi gimana?” gumam Viola sambil mondar-mandir di kamar. Ia memikirkan berbagai cara. Membentaknya? Sudah. Mengusirnya terang-terangan? Sudah juga, dan gagal total. Mario malah semakin nyaman tinggal di rumah itu, dan lebih parah lagi—kedua orang tuanya semakin mempercayai lelaki itu. “Aku harus bikin dia hilang minat. Harus bikin dia enek, harus bikin dia berpikir aku bukan lagi Viola yang menarik buat dia…” Tiba-tiba sebuah ide menyeruak di benaknya. “Kekasih…” bisiknya lirih, lalu matanya membulat. “Iya! Kalau aku punya kekasih, kalau aku bisa tunjukin bahwa aku sudah milik orang lain, mungkin itu bisa bikin dia mundur!” Ide itu makin masuk akal setiap detiknya. Mario jelas tidak suka melihatnya dekat dengan lelaki lain. Buktinya waktu di mall, dia nyaris meledak saat Viola dipeluk oleh lelaki lain. Kalau ia bisa benar-benar menjalin hubungan, atau setidaknya berpura-pura punya kekasih… Mario akan terguncang. Dan saat itulah, Viola bisa membuatnya pergi untuk selamanya. “Sekarang tinggal cari siapa yang bisa jadi kekasih pura-pura,” bisik Viola. Ia membuka ponselnya dan mulai membuka daftar kontak. Beberapa nama terlintas—kawan lama, mantan pacar sekolah, teman sesama DJ, bahkan salah satu penyanyi solo pria yang beberapa kali manggung bersamanya di klub malam. Tapi satu nama muncul dan membuatnya terpaku. Ezra. Ezra adalah seorang fotografer freelance yang sering mengerjakan proyek bersama di acara musik dan festival. Pribadinya tenang, ramah, dan yang paling penting—dia tidak menyimpan perasaan apa pun pada Viola. Hubungan mereka netral. Tidak ada drama. “Aku butuh cowok yang bisa akting. Dan Ezra bisa dipercaya.” Tanpa menunggu lebih lama, Viola langsung mengetik pesan. “Zra, gue butuh bantuan lo buat akting jadi pacar gue. Bukan main-main. Ini penting. Lo bisa ketemuan hari ini?” Butuh beberapa menit sebelum balasan datang. “Wah, ini menarik. Lo dikejar debt collector atau cowok posesif?” Viola senyum tipis. “Yang kedua. Tapi lebih gila dari yang lo bayangin. Lo bisa dateng jam lima sore ke kafe biasa? Gue ceritain semua.” Balasan cepat muncul. “Oke. Gue siap jadi pacar pura-pura lo, Viola.” Viola menatap ponselnya, tersenyum puas. Untuk pertama kalinya sejak beberapa minggu terakhir, ia merasa memiliki kendali. Ini bukan soal cinta. Ini soal bertahan. Kalau Mario berpikir dia bisa memiliki dirinya hanya karena obsesi, maka dia akan tunjukkan bahwa dia sudah milik orang lain. Dan kalau rencananya berhasil, maka Mario akan tersingkir. Untuk selamanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN