Viola menepis gaun merah yang dilempar Mario. Gaun itu jatuh ke lantai, tak digubrisnya. Ia menatap Mario dengan dingin, napasnya berat menahan emosi. “Kenakan itu. Kita pulang,” kata Mario datar, berdiri di ambang pintu kamar belakang klub. Viola duduk di pinggir meja, melipat tangan di d**a. “Kenapa? Tak cukup kau bawa aku ke tempat ini? Sekarang mau seret aku pulang pakai baju itu? Cih.” Mario melangkah masuk, jaraknya kini hanya satu meter dari Viola. Tatapannya tak lepas dari wajah perempuan itu. “Atau kau masih mau tinggal di kamar ini? Bisa juga. Aku tidak keberatan. Mungkin akan lebih cepat buat orang tuamu dan orang tuaku dapat cucu.” Viola berdiri, mendekat hingga wajah mereka hampir sejajar. “Berhenti bicara omong kosong. Aku tidak akan pernah hamil olehmu. Jangan mimpi.” M