Bab 08

734 Kata
Tok tok tok! Viola membalikkan tubuhnya dengan cepat, menatap ke arah pintu kamarnya dengan tatapan tajam bak pedang. Suara ketukan itu hanya bisa berasal dari satu orang—dan benar saja, suara berat penuh kontrol terdengar dari luar. "Viola, makan." Nada Mario seperti biasa. Pendek. Dingin. Tanpa emosi, tapi menyiratkan perintah, bukan ajakan. Viola mendengus. Napasnya langsung mengeras. Tangannya meremas ponsel yang sedari tadi ia mainkan dengan gelisah. Ia bangkit dari tempat tidur, melangkah pelan menuju pintu, tidak untuk membukanya—hanya untuk membalas dengan suara cukup keras agar didengar jelas. "AKU NGGAK LAPAR!" Suara dari luar tak langsung menjawab. Hanya keheningan. Tapi Viola tahu Mario masih berdiri di sana. Dia bisa merasakannya. "Viola, makan sekarang. Jangan bandel." Jangan bandel? Viola mengerang dalam hati, matanya memanas karena marah. Dengan cepat dia mengambil tas kecilnya, mengisi sembarangan dengan ponsel, dompet, dan kunci apartemen cadangan yang Mario berikan pagi tadi. Dia tidak peduli. Dia tidak butuh itu. Tidak butuh apartemen, tidak butuh makan dari tangan Mario, dan yang paling penting... tidak butuh dikendalikan oleh pria b******k yang menganggap dirinya pelindung—padahal nyaris memperkosanya semalam! Dia membuka pintu dengan kasar, menabrak d**a Mario yang berdiri di ambang pintu. Tas menggantung di bahunya, langkahnya cepat dan penuh amarah. Mario menoleh, mengernyit. “Kau mau ke mana?” “PULANG!” Satu kata itu dilontarkan Viola seperti peluru. Dan dia terus berjalan, melewati Mario tanpa melihat wajahnya, tanpa peduli lagi. “Viola—” Mario menyusul, menyambar lengan Viola. Tapi Viola menghentak kasar. “JANGAN SENTUH AKU!” teriaknya, membuat suara mereka menggema di lorong apartemen. Mario mendongak, menahan nafasnya, rahangnya mengeras. Matanya membara. Dia menggenggam tangan kirinya yang gemetar karena kesal. “Gadis susah diatur,” desisnya pelan, nyaris seperti gumaman kemarahan pada diri sendiri. “Kau pikir ini permainan, hah? Dunia itu tidak peduli padamu, Vi.” Viola sudah menekan tombol lift, menunggu dengan detak jantung berdegup kencang karena emosi. Saat lift terbuka, dia masuk tanpa menoleh. Sebelum pintu tertutup, dia melontarkan kata terakhir. “Kalau kau pikir bisa buat aku takut dan menyerah, kau salah. Aku bukan anak kecil lagi, Mario. Dan kau bukan siapa-siapaku.” Ding! Pintu lift tertutup. Mario berdiri di sana, terdiam. Tapi amarahnya menumpuk. Giginya terkatup rapat, dan tangan kirinya mengepal. Jantungnya berdetak tak beraturan. Bajingan! Dia tetap keras kepala! --- Di dalam taksi menuju rumah orangtuanya, Viola duduk sambil menatap keluar jendela. Tapi bukan pemandangan malam yang memenuhi pikirannya. Melainkan bayangan Mario. Tatapan mata pria itu. Nada suaranya. Kekasaran sekaligus... ketulusan aneh yang membuat dadanya sesak. Dia benci Mario. Tapi dia juga tidak bisa mengabaikan fakta bahwa pria itu satu-satunya orang yang repot-repot menahannya dari kehancuran. Hanya saja caranya... salah. Sangat salah. Dan malam itu, ketika sampai di rumah, dia disambut wajah kaku ibunya—Rihana—dan tatapan tajam Kevin, ayahnya. Viola hanya menggeleng lelah dan naik ke kamarnya. Dia tidak ingin bicara. Tidak ingin berdebat. Tapi rasa takut dan trauma dari malam itu terus menghantui. Saat berbaring di tempat tidur, dia memeluk bantal erat-erat, berharap bisa tidur... tapi bayangan Mario masih ada di kepalanya. --- Keesokan harinya, Mario duduk di dalam mobilnya, menatap layar ponsel yang kosong. Tidak ada pesan dari Viola. Tidak ada kabar. Dia tahu gadis itu kembali ke rumah. Dia tahu karena mengirim seseorang untuk memantau. Tapi bukan itu yang mengganggunya. Yang membuatnya geram adalah… betapa kosongnya apartemen itu tanpa suara Viola yang cerewet, tanpa bantingan pintu, tanpa teriakan khasnya. Dan itu... menyebalkan. Dia tidak akan mengejar Viola. Tidak sekarang. Biar dia berpikir. Biar dia sadar. --- Sementara itu, Viola kembali ke rutinitasnya. Dia menerima tawaran tampil di klub malam lain—yang lebih eksklusif, dengan bayaran dua kali lipat. Sebagai bentuk perlawanan. Ini caranya membuktikan bahwa dia kuat, mandiri, dan tak perlu dilindungi oleh siapa pun. Tapi malam pertama saat dia berdiri di atas DJ booth itu lagi, dengan lampu kelap-kelip dan dentuman bass menghentak, sesuatu dalam dirinya terasa... berbeda. Dia merasa diawasi. Diperhatikan. Dan itu membuat kulitnya merinding. Saat lagu ketiga dimainkan, matanya menyapu ruangan. Dan dia melihatnya. Mario. Berdiri di pojok, menatapnya dalam diam. Tubuhnya menyatu dengan bayangan, tapi sorot matanya menusuk seperti laser. Viola tercekat. Tapi dia tidak berhenti. Tidak boleh goyah. Dia menaikkan volume musik. Dia melempar senyum pada penonton. Dia menggoyangkan tubuhnya sedikit—lebih agresif dari biasanya. Mata mereka bertemu. Mario tidak bergerak. Dan Viola... tersenyum sinis. Kalau ini permainan, maka dia akan menang. Dengan caranya sendiri. —
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN