Viola menatap Mario seperti seekor singa kecil yang baru saja sadar dirinya terjebak di hadapan pemburu. Sorot matanya mencoba keras untuk tetap membara, untuk tetap menantang, tapi tubuhnya— tubuhnya yang gemetar tak terkendali— mengkhianati perasaannya.
Mario melepaskan jaket kulitnya dan melemparkannya ke sofa tanpa bicara. Kemudian, dengan gerakan santai namun penuh ancaman, dia menarik kaus hitamnya melewati kepala, memperlihatkan tubuhnya yang kekar dan penuh guratan otot. Cahaya hangat dari lampu apartemen menyorot kulitnya yang sedikit basah oleh keringat.
Viola membelalak. Nafasnya tercekat di tenggorokannya.
"Apa... apa yang mau kau lakukan?!" teriak Viola, suaranya serak karena rasa takut yang mulai mencekik.
Mario hanya menoleh padanya sekilas, dengan seringai sinis menggantung di sudut bibirnya. Seolah-olah dia menikmati ketakutan yang kini begitu jelas tergambar di wajah gadis itu.
Tanpa ragu, Mario melanjutkan: jemarinya membuka kancing celana jinsnya, dan dalam sekejap, celana itu meluncur ke lantai. Yang tersisa hanya bokser gelap yang melekat di tubuhnya.
Viola menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya membelalak lebih lebar. Jantungnya berdentum seakan ingin menerobos keluar dari dadanya. Dia mundur sedikit di sofa, punggungnya merapat pada sandaran, seolah berharap bisa lenyap dari tempat itu.
Mario perlahan berjalan mendekat, langkahnya berat namun penuh kendali. Setiap gerakan kecil dari pria itu terasa seperti palu yang menghantam saraf-saraf Viola. Gadis itu menggigil, rasa takutnya melonjak hingga ke ubun-ubun.
Mario berhenti hanya beberapa senti di depan Viola. Ia membungkuk, memperkecil jarak di antara mereka.
Viola menggeleng keras, air mata mulai menggenang di sudut matanya. "Mario... jangan... jangan macam-macam! Aku adik sepupumu!"
Mario menahan tawanya. Senyum sinis itu makin dalam, matanya bersinar-sinar penuh niat jahat— atau setidaknya itu yang ingin dia perlihatkan kepada Viola.
Dia ingin Viola takut. Dia ingin membuat gadis itu kapok. Dia ingin membekas di otaknya bahwa dunia malam itu bukan untuk gadis bodoh dan keras kepala seperti Viola.
Mario menempelkan tangannya ke sandaran sofa di belakang kepala Viola, memerangkapnya dalam kurungan tanpa benar-benar menyentuhnya.
Viola terisak kecil, tubuhnya gemetar hebat.
"Kau pikir dunia luar itu indah, Vi?" suara Mario berat, berbisik dingin di telinganya. "Kau pikir para pria yang menatapmu tadi hanya ingin mendengarkan musikmu? Hah?!" suaranya naik, membentak membuat Viola memejamkan matanya ketakutan.
Mata Mario berkilat.
"Mereka melihatmu... seperti barang. Seperti daging yang bisa mereka beli kapan saja. Sama seperti aku bisa melakukan apapun padamu sekarang..." Mario merendahkan suaranya lagi, memelankan kata-katanya sedingin es, membuat Viola semakin ketakutan.
Viola mencicit, mencoba mendorong Mario. Tapi tenaga pria itu seperti tembok batu. Tidak bergeming.
Mario mendekatkan wajahnya, hidung mereka hampir bersentuhan. Viola bisa mencium aroma maskulin bercampur parfum mahal yang menyelimuti Mario.
"Tapi aku tidak akan melakukannya, Viola," bisik Mario, nadanya penuh kemarahan yang tertahan. "Aku bukan b******k macam mereka. Tapi dunia luar itu... mereka tidak akan sebaik aku. Mereka akan memperkosa, membuang, dan meninggalkanmu."
Kata-kata itu menusuk Viola lebih dalam daripada apapun. Air matanya mulai mengalir membasahi pipinya.
Mario perlahan mundur, menarik tubuhnya dari Viola, tapi tetap menatapnya tajam, penuh peringatan.
Viola terisak keras sekarang, kedua tangannya meremas bantal sofa, wajahnya menunduk tak berdaya.
Mario mengambil selimut tipis dari sofa, lalu melemparkannya ke atas tubuh Viola.
"Pakailah," katanya dingin.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Mario berbalik dan melangkah pergi ke arah dapur, meninggalkan Viola dalam kekacauan emosional yang begitu dalam.
Di dapur, Mario menggenggam tepi meja keras-keras, matanya terpejam, mengatur napasnya.
Dia hampir melewati batas. Dia tahu itu. Dia sadar betapa mudahnya dia bisa benar-benar menghancurkan gadis itu malam ini... tapi dia tidak mau menjadi monster.
Dia hanya ingin Viola mengerti. Dunia malam bukan dunia untuk gadis seperti dia. Dunia itu kejam. Dunia itu penuh racun.
Saat dia kembali ke ruang tamu, Viola sudah mengenakan selimut itu. Tubuhnya membungkus dirinya erat, seperti anak kucing yang ketakutan. Matanya merah dan bengkak, pipinya basah.
Mario berjalan perlahan, berlutut di depannya.
"Vi," katanya lebih lembut. "Lihat aku."
Viola menggeleng, masih terisak.
"Viola," suara Mario lebih tegas. "Lihat aku."
Dengan berat hati, Viola mengangkat wajahnya. Mata mereka bertemu.
Mario menghela napas panjang. "Aku tidak akan menyakitimu," katanya pelan. "Aku hanya ingin kau sadar. Dunia itu jahat. Dunia itu bukan mainan."
Viola membuka mulut, ingin membantah, ingin berteriak... tapi tak ada suara yang keluar. Hanya isakan lirih yang terdengar.
Mario mengulurkan tangan, menyentuh pipinya dengan lembut, menghapus air mata yang terus mengalir.
"Kalau kau terus keras kepala, aku... aku nggak tahu apa yang akan terjadi padamu," suara Mario pecah sedikit di akhir kalimatnya. Ada rasa takut tulus di balik kemarahan dan kekasaran itu.
Viola menggigit bibir bawahnya, merasa perasaannya tercabik. Dia membenci Mario. Tapi dia juga... takut. Dan lebih dari itu, bagian kecil dalam dirinya mulai memahami kenapa Mario melakukan semua ini.
"Jangan kerja di klub malam lagi," bisik Mario, hampir memohon.
Viola menunduk. Dia tidak menjawab. Tapi hatinya berdebar kencang.
***
Viola duduk memeluk lutut di kamar tamu apartemen Mario. Lampu kecil di meja sudut menyala temaram, memantulkan bayangan samar-samar di dinding. Selimut tipis masih melilit tubuhnya, tapi bukan dingin yang menggigilkan—melainkan ketakutan, trauma, dan kemarahan yang mendidih.
Dia hampir saja...
Viola menelan ludah keras-keras. Pikirannya masih mengulang-ulang adegan beberapa jam lalu.
Wajah Mario.
Tubuh Mario yang mendekat.
Tawa sinisnya.
Dan ancaman tak terucap di balik sorot matanya.
Viola menekan wajahnya ke lutut. Tangannya bergetar.
Mario itu b******n. b******k. Kakak sepupu jauh yang terobsesi padanya. Sialan memang!
Obsesi. Itulah yang Viola pikirkan. Semua tindakannya—dari sabotase di klub, sampai mempermalukan dan "menculik" dirinya ke apartemen ini—semuanya bukan sekadar ‘melindungi’ seperti yang dia katakan.
Dia ingin menguasai. Mengendalikan Viola untuk lelaki sialan itu.
Dan gila, sebagian kecil dari dirinya... merasa gentar. Terintimidasi. Takut kalau Mario benar-benar bisa memperkosanya tadi.
Viola mencengkeram ujung selimut lebih erat.
Dia tidak akan menyerah. Tidak akan berhenti menjadi DJ.
Itu hidupnya.
Itu mimpinya.
Dan tidak ada satu pria pun—termasuk kakak sepupu psikopatnya itu—yang bisa menghancurkannya.
---
Di ruangan lain, Mario duduk sendirian di sofa, menatap kosong ke layar televisi yang menyala tapi tidak ditonton. Tangannya mengusap wajah lelahnya. Kepalanya penuh dengan pikiran yang saling bertabrakan.
Dia merasa bersalah. Tapi juga... merasa benar.
Viola keras kepala. Dia tidak akan pernah berhenti jika tidak diberi pelajaran. Dunia malam terlalu kotor. Terlalu mudah menghancurkan gadis seperti Viola—gadis yang terlalu percaya diri, terlalu berani, dan terlalu... menggoda.
Mario mendengus.
Dia tidak seharusnya terlihat seperti itu di depan umum.
Dia tidak seharusnya menari dan menggoyangkan tubuh di tengah para pria haus seks.
Dan dia, Mario, satu-satunya yang peduli. Orangtuanya? Tidak becus. Membiarkan Viola liar tak terkendali.
Matanya melirik ke arah lorong yang mengarah ke kamar tamu. Dia tahu Viola belum tidur. Dia bisa mendengar langkah pelan, napas berat. Mungkin menangis lagi.
Biarkan. Biar dia takut dulu. Biar dia mengerti.
Tapi malam itu, Mario sendiri tidak bisa tidur.
---
Pagi harinya, Viola membuka pintu kamar tamu perlahan. Mata sembab, tapi wajahnya sudah disetel kembali dalam mode perlawanan.
Mario sedang membuat kopi di dapur. Tanpa kaus. Hanya mengenakan celana olahraga. Otot-otot punggungnya bergerak saat dia menuangkan air panas.
Viola berdiri di ambang pintu, berusaha menguatkan diri. “Aku mau ambil bajuku.”
Mario tidak menoleh. “Lemari di sebelah. Aku belikan yang baru.”
“AKU MAU BAJUKU YANG DI KLUB!” Viola membentak.
Mario menoleh sekarang. Matanya tajam.
“Kau pikir aku akan membiarkanmu kembali ke sana? Lupa pelajaran semalam?”
Viola mendekat, wajahnya merah karena amarah. “Kau pikir aku takut padamu, hah?! Mau ngancam bakal perkosa aku lagi?!”
Mario membanting cangkir ke meja.
“JANGAN PERMAINKAN KATA-KATA, VIOLA!”
Viola terdiam. Jantungnya menghantam tulang rusuk.
Mario maju satu langkah. Napasnya berat.
“Aku nggak akan nyentuh kamu. Tapi jangan paksa aku jadi pria b******n sekarang Viola.” Suaranya rendah. “Kau bikin aku takut malam itu. Takut kehilanganmu... dalam cara terburuk. Aku tahu jenis lelaki yang berkeliaran di klub malam. Aku tahu karena aku pernah jadi mereka.”
Viola menggertakkan gigi. Tapi kata-kata Mario menghantamnya dalam-dalam.
Mario menghela napas panjang. “Aku akan kasih waktu. Sebulan. Kau tinggal di sini. Kau berhenti dari dunia DJ. Kalau setelah itu kau tetap mau kembali... aku nggak akan cegah.”
Viola menyipitkan mata. “Ancaman baru?”
“Bukan.” Mario menatapnya lurus. “Untuk dirimu agar intropeksi diri.”
Viola mendengus, lalu berbalik menuju kamar. Tapi sebelum menutup pintu, dia berkata dengan datar:
“Aku akan tetap jadi DJ, Mario. Entah kau suka atau nggak.”
Pintu kamar tertutup keras.
Dan Mario, untuk pertama kalinya... tersenyum kecil.
Tikus kecil susah diatur!