Bab 06

1592 Kata
Mario sudah berulang kali keluar masuk kamar mandi. Setiap kali pintu dibuka, terdengar suara langkah kakinya yang terburu-buru, suara desahan tertahan dari mulutnya, dan gemeretak geraham yang menahan amarah dan rasa sakit sekaligus. Wajah Mario memerah, keringat mengalir deras dari pelipis hingga ke dagu, dan matanya berair karena perutnya seperti dipilin dari dalam. Semua ini gara-gara Viola. Gadis b******k itu! Pikir Mario sambil meremas pinggir wastafel dengan kekuatan penuh. Kalau dia bisa, dia ingin segera menyeret gadis itu sekarang juga dan membalas semua yang sudah diperbuat. Mario tahu Viola sengaja membuatnya begini. Dia tahu betul, karena tadi pagi Viola bertingkah aneh. Senyumnya licik. Tatapannya mencurigakan. Dan sekarang hasilnya: Mario sekarat di kamar mandi seperti orang keracunan. Mario menyeka mulutnya dengan tisu, lalu kembali terpincang-pincang menuju tempat tidur, tapi belum sempat ia menjatuhkan diri, gelombang rasa sakit kembali datang menerjang. Dengan cepat dia balik badan, berlari ke kamar mandi lagi sambil mengutuk kasar di bawah napasnya. "Viola... sialan... kamu akan lihat nanti..." Sementara itu, Viola baru saja mendorong pintu rumahnya. Rambut panjangnya yang kusut berantakan menutupi sebagian wajahnya. Tubuhnya terasa pegal-pegal, tapi ada senyum tipis kepuasan di bibirnya. Viola menendang sepatunya sembarangan dan melangkah masuk dengan santai, seolah-olah dia pulang dari taman, bukan dari semalaman berpesta. Tapi langkahnya terhenti. Di ruang tamu, Rihana, mamanya, duduk di sofa dengan tubuh kaku seperti patung. Di sampingnya berdiri Kevin, papanya, tangan terlipat di d**a, matanya tajam menusuk Viola dari kepala sampai kaki. Keheningan menegangkan memenuhi ruangan. Hanya suara jam dinding yang terdengar, berdetak seirama dengan degup jantung Viola. Dia melirik ke arah mereka, membalas tatapan dingin itu dengan tatapan malas, memutar bola matanya sebelum akhirnya bersandar pada dinding. "Baru pulang?" suara Rihana akhirnya terdengar, datar dan penuh kekecewaan. Viola mendengus kecil, mengangkat bahu tanpa niat meminta maaf. "Kamu pikir ini hotel?" lanjut Rihana, nada suaranya mulai meninggi. "Pulang pagi, berpakaian seperti itu, bau alkohol... Kamu kira aku mau lihat putriku jadi bahan omongan tetangga?!" Viola menahan diri untuk tidak tertawa. Alih-alih menjawab, dia hanya berjalan santai melewati ruang tamu, menuju tangga. Tapi langkahnya kembali terhenti ketika suara berat Kevin bergema. "Kamu tidak akan jadi DJ lagi." Kalimat itu membuat tegang di sekitar mereka. Viola membalikkan badan perlahan, menatap kedua orang tuanya dengan sinis. "Apa?" katanya setengah berteriak. "Kamu dengar apa kata Papa kamu," sambung Rihana. "Sudah cukup main-mainmu. Tidak ada lagi pesta, tidak ada lagi DJ, tidak ada lagi pulang pagi!" Viola memejamkan mata sejenak, mencoba menahan amarah yang mulai membara dalam dadanya. "Aku mau tetap jadi DJ! Aku nggak mau hidup kayak kalian yang ngebosenin!" suaranya meledak. "Kalau mau hidup bebas, keluar dari rumah ini!" bentak Kevin, suaranya menggetarkan jendela kaca. Viola mengepalkan tinjunya. Dadanya naik turun cepat. Dia tahu dia tidak bisa menang berdebat dengan mereka, tapi dia juga tidak sudi menelan begitu saja larangan konyol ini. Mereka tidak tahu apa-apa soal mimpinya! DJ adalah hidupnya. Musik, dentuman, kebebasan. Itu dunia Viola. Dan mereka mau merenggut semua itu hanya karena moral kuno mereka? "Jangan pikir aku takut!" bentak Viola, lalu berbalik badan dan menghentakkan kakinya menaiki tangga. Pintu kamarnya dibanting keras hingga bergema di seluruh rumah. Viola menghempaskan dirinya ke atas kasur, wajahnya menengadah ke langit-langit sambil menghela napas panjang. Di dalam kepalanya, kemarahan terhadap orang tuanya bercampur aduk dengan rasa puas mengingat Mario. Mario si sialan itu. Kakak Sepupunya sendiri, b******k besar yang selalu ikut campur urusannya. Semalam Mario mencoba menganggapnya jalang dengan harus menerima tawaran sialan itu. Cih! Dia tidak sudi menjadi wanita Mario. Dia tidak akan mau mengakang di depan Mario dan mendesahkan nama Mario! Tidak akan! Viola mengatupkan rahangnya kuat-kuat. Dia tidak akan biarkan itu berlalu tanpa balas. Dan memang dia sudah membalas. Dengan sedikit racikan kecil— bubuk pencahar super kuat— yang dia campurkan ke makanan Mario tadi pagi. Dia bisa membayangkan Mario sekarang. Meringkuk, menggeliat kesakitan. Sialan, puas sekali rasanya! Viola tertawa kecil sambil menatap langit-langit. Tapi tawa itu tidak bertahan lama. Pikirannya kembali melayang ke larangan Papa dan Mama. "Kalau mau hidup bebas, keluar dari rumah ini..." kata-kata ayahnya menggema di telinganya. Viola duduk, matanya membara. Dia akan membuktikan kepada mereka. Dia akan menjadi DJ terkenal. Dan dia tidak akan pernah menyesal. Di kamar lain, Mario kembali duduk di lantai kamar mandi, punggungnya bersandar lemas ke dinding. Napasnya memburu, perutnya masih bergolak. Dalam pikirannya hanya ada satu kalimat: Viola harus bayar. Dan dia sudah punya rencana kecil. Rencana yang akan membuat Viola bertekuk lutut, merengek minta ampun. Mario tersenyum bengis di tengah rasa sakitnya. Ini baru permulaan. *** Mario mengusap wajahnya kasar di dalam mobil sebelum turun. Perutnya memang belum sepenuhnya normal, tapi rasa sakit itu kini tergantikan dengan kemarahan yang mendidih. Malam ini, dia akan membalas Viola. Lampu neon warna-warni berkilauan di luar klub malam itu. Musik bergema keras dari dalam, dentuman bas menghentak-hentak sampai terasa di d**a. Mario menyesuaikan jaket hitamnya, melangkah masuk melewati pintu masuk VIP, memberengut dari tangan penjaga pintu yang mengenalinya. Dia tidak perlu izin. Klub ini punya temannya. Dia bebas melakukan apa saja. Begitu memasuki lantai utama, pandangannya langsung terkunci pada sosok Viola di atas panggung kecil. Gadis itu mengenakan atasan hitam minim bertali tipis, rok pendek mengkilap yang nyaris tidak menutupi pahanya, dan sepatu bot setinggi lutut. Rambut panjangnya berkibar liar saat dia menggoyangkan tubuhnya mengikuti irama, kedua tangannya mengangkat dan mengayun bebas. Mata Mario menyipit. Sialan. Viola tampak bersinar di tengah lampu strobo, terlihat seperti pusat dunia malam itu. Tapi yang membuat Mario mengepalkan tangannya adalah pandangan para lelaki di sekitar panggung— mata-mata jalang yang melahap setiap inci tubuh Viola dengan pandangan kotor dan penuh nafsu. Dadanya berdegup keras menahan amarah. Viola. Adik sepupunya. Dan mereka melihatnya seperti itu? Mario mencengkram gelas minuman kosong dari tangan seorang pelayan yang lewat, lalu melemparkannya ke tempat sampah terdekat sambil mendesis rendah. Dia tidak akan membiarkan ini berlanjut. Dari sudut matanya, Mario melihat temannya, Revan, pemilik klub ini, berdiri di dekat bar, berbicara dengan manajer. Tanpa ragu, Mario berjalan ke arah mereka. "Revan," suaranya berat. Pria itu menoleh, mengangkat alis melihat kedatangan Mario. "Bro, apa kabar, butuh wanita malam ini?" tanyanya, setengah bercanda. Mario hanya mendekatkan wajahnya ke telinga Revan dan berbisik, "Aku mau membuat keributan malam ini di klub punya lu." Revan terbelalak. "Lu gila?" Mario tersenyum tipis, dingin. "Bikin seolah-olah ada penyelundupan, narkoba... apa aja. Asal polisi datang. Aku tanggung biaya semuanya." Revan terdiam sesaat, menimbang. Tapi siapa yang berani menolak Mario? Orang itu bisa membuat bisnismu bangkrut dalam semalam kalau dia mau. Akhirnya Revan mengangguk kecil. "Selesaikan malam ini," katanya. Mario mengangguk sekali, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke atas panggung. Viola masih larut dalam dunia kecilnya, bermain dengan mixer, mengatur beat, menggoda kerumunan dengan senyum nakalnya. Tidak sadar kalau badai besar sedang mengintainya. Sementara itu, Revan mulai bergerak cepat. Salah satu pegawainya menyebar isu di antara kerumunan: katanya ada barang terlarang di klub malam itu. Ketegangan mulai terasa di udara. Orang-orang mulai berbisik-bisik, beberapa pengunjung gelisah. Tidak butuh waktu lama sebelum seseorang—yang sudah dibayar untuk itu—menghubungi polisi. Tidak sampai satu jam kemudian, sirene merah-biru menerangi jalanan di depan klub. Mario menahan senyum ketika mendengar suara keras polisi membubarkan orang-orang. "Semua angkat tangan! Jangan bergerak!" teriak salah satu polisi. Musik langsung dimatikan. Lampu sorot putih menyilaukan menggantikan cahaya pesta berwarna. Viola, yang baru saja mau memutar lagu berikutnya, membelalak kaget, panik melihat serombongan polisi masuk. "Apa-apaan ini?!" dia berteriak, mencoba turun dari panggung. Tapi salah satu polisi langsung mendekatinya, menahannya. "Kamu, ikut kami." "Aku? Aku nggak salah apa-apa!" Viola memprotes keras. Tapi tangan polisi sudah mencengkram pergelangan tangannya, membawanya keluar dari kerumunan yang kini kacau balau. Mata Viola mencari-cari sosok yang bisa membantunya, dan ketika matanya bertemu dengan Mario yang berdiri tenang di pojok ruangan, menyaksikan semua dengan seringai dingin di wajahnya, Viola membelalak marah. "Mario! Apa-apaan ini?!" dia menjerit. Mario hanya mengangkat bahu dengan santai, seolah-olah tidak tahu apa-apa. Viola meraung dalam hati saat dibawa paksa ke mobil polisi. Tapi alih-alih dibawa ke kantor polisi, dia menyadari sesuatu yang aneh. Mobil yang membawanya tidak berhenti di kantor polisi. Mobil itu malah melaju ke arah distrik apartemen elit. "Kita mau ke mana?!" Viola memberontak. Salah satu polisi—yang ternyata orang bayaran Revan—menoleh dan tersenyum kecil. "Ke tempat seseorang yang ingin bertemu kamu." Dan benar saja. Mobil itu berhenti di sebuah gedung apartemen mewah. Mario sudah berdiri di depan pintu, menunggu, tangan di saku jaket kulitnya, wajahnya penuh dengan kepuasan jahat. Pintu mobil dibuka kasar. Viola ditarik keluar. Sebelum dia sempat kabur, Mario sudah meringkus pergelangan tangannya dan menyeretnya masuk ke lift. "Mario! Sialan lu! Apa yang lu lakukan?!" Mario tidak menjawab. Cuma menahan lengan Viola erat-erat. Tatapannya dingin, penuh kemarahan. Viola bisa merasakan getaran ancaman dari setiap inci tubuh pria itu. Begitu pintu lift terbuka, Mario menyeret Viola masuk ke unit apartemennya, membanting pintu keras-keras di belakang mereka. Viola memberontak, mendorong d**a Mario, berteriak marah, "Lepasin gue, Mario! Gue bukan tahanan lu!" Mario mendorong Viola hingga menabrak sofa, membuatnya terduduk dengan kasar. "Kamu pikir kamu bisa mempermainkan aku begitu saja, hah?!" bentak Mario, suaranya dalam dan menggelegar memenuhi ruangan. Viola mendongak menantang, napasnya memburu. "Apa mau lu sekarang?! Udah puas mempermaluin gue di depan banyak orang?!" Mario mendekat, membungkuk hingga wajah mereka hampir bersentuhan. Matanya menyala berbahaya. "Belum. Ini baru permulaan," bisiknya penuh ancaman. Viola mengepalkan tinjunya, menggertakkan giginya menahan ketakutan dan kemarahan. Dia tahu, Mario tidak akan melepaskannya begitu mudah. “Dan aku … akan membuat kau merasakan pelajaran karena telah main-main dengan seekor singa Viola sayang.” Senyuman sinis Mario yang begitu menakutkan membuat bulu kuduk Viola terasa meremang. OH s**t! APA YANG AKAN DILAKUKAN OLEH LELAKI SIALAN INI?!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN