Viola terlelap di sofa yang dingin dan asing. Tubuhnya meringkuk, hanya berbalut pakaian yang masih sama sejak semalam—gaun pendek dan tipis yang kini terasa tidak layak menutupi dirinya, terutama dalam ruangan yang senyap dan asing seperti ini. Mata bengkaknya tertutup, dan alisnya tetap berkerut meski dalam tidur. Hatinya masih kacau. Otaknya menolak percaya bahwa ia sedang terjebak di apartemen Mario—lelaki b******k yang masih mengurungnya dan tidak mengizinkannya pulang ke rumah.
Ia tak tahu sudah berapa lama dia tertidur. Mungkin sejam. Mungkin lebih. Yang jelas, tubuhnya lelah setelah terus berteriak dan memberontak semalam, memaksa pintu, mencoba menendang jendela, dan akhirnya kehabisan tenaga hingga tertidur dengan perasaan marah dan frustasi.
Namun tidurnya tak berlangsung lama.
BYUR!!
Air dingin menyentak tubuhnya tanpa ampun. Viola terbangun dengan jeritan teredam, napasnya tertahan ketika kesadarannya kembali penuh. Rambutnya basah, air menetes dari dahinya ke pipi, dan gaunnya menempel ketat ke kulitnya yang menggigil.
Matanya yang baru saja terbuka, langsung menangkap sosok Mario yang berdiri di hadapannya—tinggi, tenang, dan dingin. Ember kosong masih di tangannya. Wajahnya datar, tak memperlihatkan penyesalan sedikit pun.
Viola bangkit setengah duduk, tubuhnya menggigil karena air dingin yang menyelusup ke tulang-tulangnya. “GILA KAMU?!” teriaknya, nyaris histeris. “APA MASALAHMU, HAH?!”
Mario hanya menatapnya. Tak ada emosi. Tak ada senyum. “Kau terlalu nyenyak. Aku perlu membangunkanmu,” jawabnya datar.
“KAMU SINTING!” Viola berteriak lagi, kali ini suaranya nyaring menggema di seluruh ruangan. “AKU MAU PULANG, MARIO! AKU MAU PULANG! SEKARANG JUGA!”
Namun lelaki itu tidak bergeming. Ia meletakkan ember ke lantai, lalu menyilangkan tangan di d**a. “Kau akan pulang. Tapi setelah kau masak untukku.”
Viola membeku. Sejenak pikirannya tidak memproses kalimat itu dengan benar. Tapi ketika kesadarannya sepenuhnya kembali, ia langsung tertawa pahit. Matanya menatap Mario dengan sorot seolah lelaki itu adalah makhluk paling menjijikkan di dunia.
“Masak?” tanyanya sinis. “Kamu nyuruh aku… masak?”
Mario mengangguk. “Benar. Masak untukku. Setelah itu, aku antarkan kau pulang. Sederhana, bukan?”
Viola langsung bangkit berdiri, walau tubuhnya basah dan kedinginan. Ia menatap Mario penuh kebencian, menahan napas agar tidak menampar lelaki itu.
“Aku bukan pembantumu!” semburnya. “Yang benar saja! Aku ini Viola Yarsani! Putri kesayangan keluarga Yarsani! Kamu pikir aku mau masak untukmu hanya supaya bisa keluar dari tempat neraka ini?!”
Mario melangkah pelan. Tubuhnya mendekat. Suasana di ruangan seketika mencekam. Viola ingin mundur, tapi gengsi menahannya. Ia tetap berdiri di tempat, meski lututnya bergetar.
Mario berhenti tepat di depan Viola. Lalu dengan dua jarinya—jari telunjuk dan jari tengah—ia menjepit dagu dan pipi Viola, memaksa wajah gadis itu mendongak dan menatap matanya.
Wajahnya masih datar, tapi kini sorot matanya tajam. Suaranya berat dan rendah, mengandung ancaman yang begitu nyata.
“Sekarang… masak,” ucapnya lirih tapi tegas. “Aku tidak suka diatur. Aku tidak suka dibantah. Dan aku paling tidak suka saat kau menatapku seperti itu, Viola.”
Viola menggertakkan gigi. Napasnya memburu. Hatinya dipenuhi rasa benci yang luar biasa, tetapi ia tahu—untuk saat ini, satu-satunya jalan keluar dari apartemen ini adalah menuruti lelaki b******n ini, atau ia akan tetap terkurung seperti tahanan.
Tapi satu hal yang pasti, Viola bersumpah dalam hati: Ini belum selesai. Belum. Dan begitu ia berhasil keluar dari tempat ini, Mario akan menyesal pernah memperlakukannya seperti ini.
Sangat menyesal.
*
Viola berdiri di dapur apartemen Mario dengan ekspresi penuh kebencian. Tangannya sibuk mengaduk sup di atas kompor, tapi pikirannya berputar cepat, memikirkan cara untuk memberi pelajaran pada lelaki k*****t itu. Ia melirik ke arah rak dapur, lalu matanya terpaku pada sebuah botol kecil berisi obat pencahar yang tak sengaja ia lihat sebelumnya saat membuka laci dapur. Sebuah senyuman sinis tersungging di bibirnya.
"Rasain, b******n," gumamnya pelan, menuangkan sedikit bubuk itu ke dalam mangkuk sup milik Mario. Tak banyak, hanya cukup untuk membuat perutnya mules setengah mati.
Beberapa menit kemudian, Mario keluar dari kamar, masih dengan wajah tenang dan langkah angkuh. Ia duduk di meja makan, lalu melirik ke arah Viola yang menyajikan sup di hadapannya. “Akhirnya,” ucapnya pendek.
Viola tidak menjawab. Ia hanya berdiri di dekat meja, menyilangkan tangan dan menatapnya dengan senyum licik yang ia sembunyikan dalam ekspresi datarnya.
Mario menyendok sup itu perlahan, mencicipi satu suapan, lalu mengangguk pelan. “Tak buruk,” komentarnya.
“Senang kau suka,” jawab Viola, suaranya terdengar datar tapi dalam hati ia nyaris tertawa puas.
Lima belas menit berlalu.
Mario yang awalnya duduk tenang, kini tampak gelisah. Keningnya berkeringat. Tangan kirinya memegang perut. Ia berdeham, lalu mendadak berdiri sambil memegang pinggangnya, wajahnya tegang.
Viola bersandar ke dinding, menyeringai penuh kemenangan. “Kenapa? Perutmu keram? Mungkin perutmu tahu siapa yang seharusnya masak hari ini.”
Mario memelototinya, tapi langkahnya cepat menuju kamar mandi.
Viola tertawa pelan. "Biar tahu rasa.” Melangkah keluar dari dalam apartemen mengambil kunci yang ditinggalkan oleh Mario di atas meja.
“Cih! Aku tidak akan mau menjadi pelacurmu sialan!” Decih Viola terus berjalan menuju lift dan pulang ke rumahnya meninggalkan tempat si b******n ini.