Mario menarik napas panjang dan berjalan perlahan ke arah ruang tengah apartemennya yang megah. Sofa kulit hitam, karpet lembut berwarna abu-abu gelap, dan pencahayaan remang membuat suasana malam itu terasa semakin mencekam. Dengan gerakan ringan namun penuh otoritas, ia menunjuk ke arah sofa.
“Duduk.”
Suara baritonnya rendah, tapi sarat perintah yang tidak bisa ditawar.
Viola tetap berdiri, rahangnya mengeras, dan matanya menyala oleh api kemarahan. Ia menatap Mario seperti hendak menelanjangi semua isi pikirannya yang busuk. Gadis itu merasa jijik, muak, dan ingin sekali melarikan diri. Tapi ia tahu, di tempat ini, selama pintu masih dikunci dan Mario masih berdiri di depannya, tidak ada jalan keluar.
“Aku bilang, duduk, Viola,” ulang Mario lagi, lebih tegas. Suaranya kini tidak hanya bernada perintah, tapi juga ancaman terselubung.
Viola mencibir. “Kamu pikir aku takut?”
Mario melangkah lebih dekat, dan untuk pertama kalinya malam itu, sorot matanya berubah. Bukan sekadar datar— tapi berkilat seperti binatang liar yang siap menerkam mangsanya. Viola menghela napas dan akhirnya duduk, bukan karena takut, tapi karena ingin mendengar omong kosong apalagi yang akan keluar dari mulut lelaki itu.
Mario menatapnya dalam diam sejenak, lalu duduk di seberang Viola, menyilangkan kaki, dan menyandarkan tubuhnya santai seolah tidak terjadi apa-apa barusan. Jarinya menyentuh bibir gelas kosong bekas wine-nya sebelum ia membuka mulut.
“Aku akan langsung ke intinya,” katanya tenang. “Aku ingin kamu berhenti dari pekerjaanmu di klub malam itu.”
Viola menyipitkan mata. “Dan kamu pikir kamu siapa? Kamu bukan ayahku, bukan kekasihku, bukan siapa-siapaku. Bahkan meski kamu sepupu jauhku, kamu tidak punya hak atas hidupku!”
Mario mengangguk pelan, masih tenang, dan seakan sudah mempersiapkan diri menghadapi reaksi Viola.
“Benar. Aku bukan siapa-siapamu… untuk saat ini,” katanya sambil mencondongkan tubuh ke depan. “Tapi aku bisa menjadi seseorang yang memberimu lebih dari semua yang bisa kamu dapatkan dari klub sialan itu.”
Viola memiringkan kepala, wajahnya memperlihatkan ekspresi jijik. “Apa maksudmu?”
“Aku bisa mencukupimu,” kata Mario datar. “Kamu nggak perlu lagi kerja malam-malam, nggak perlu goyang di depan orang, nggak perlu nerima tatapan jijik dari pria-pria b******k. Aku bisa kasih kamu uang. Sebulan berapa kamu mau? Lima puluh juta? Seratus? Apartemen? Mobil? Semua aku bisa atur.”
Viola mematung.
Matanya membelalak. Napasnya tercekat. Otaknya menolak untuk memproses apa yang baru saja dia dengar. Tapi sayangnya, kata-kata Mario terlalu jelas untuk disalahartikan.
“Jadi… kamu mau aku jadi… simpananmu?” suara Viola terdengar pelan, penuh ketidakpercayaan. “Kamu pikir aku w************n, Mario?”
Mario menatapnya, tak mengelak. “Aku tidak menyebutnya begitu. Aku hanya menawarkan kehidupan yang lebih layak. Kamu akan jadi wanitaku. Milikku. Dan aku akan pastikan kamu tidak kekurangan apa pun. Tapi kamu harus berhenti dari dunia malam. Tidak ada klub. Tidak ada DJ. Tidak ada lelaki lain. Hanya aku.”
Viola berdiri seketika. Kursi yang ia duduki bergeser kasar, menciptakan bunyi seret yang tajam.
“Kamu gila, Mario!” serunya lantang. “Kamu benar-benar b******n yang sudah kehilangan akal! Kamu pikir aku ini siapa? Kamu pikir aku butuh uangmu?!”
Matanya basah, tapi bukan karena lemah. Melainkan karena marah. Karena harga dirinya diinjak-injak lelaki yang bahkan seharusnya jadi keluarganya.
“Aku bukan w************n,” lanjutnya dengan suara bergetar. “Aku kerja keras untuk hidupku sendiri. Aku mandiri! Aku nggak pernah bergantung sama lelaki. Aku nggak akan jadi barang simpanan kamu, Mario. Aku bukan orang miskin yang bisa dibeli dengan uang!”
Mario tetap duduk, menatap Viola dengan sorot mata tak berubah. Wajahnya tetap datar, seakan tidak terpengaruh oleh kemarahan gadis itu. Tapi tangannya mengepal perlahan di atas pahanya.
“Aku tahu kamu bukan w************n, Viola,” katanya pelan. “Justru karena itu aku menginginkanmu. Dan aku tidak suka melihat wanita sepertimu dibuang ke dunia kotor seperti itu. Aku tidak akan biarkan orang lain menyentuhmu. Aku ingin kamu hanya untukku. Karena aku mencintaimu.”
Viola menggeleng, mundur satu langkah.
“Kamu nggak cinta aku, Mario. Kamu cuma terobsesi. Kamu cuma ingin memiliki. Ini bukan cinta, ini penyakit.”
Mario akhirnya berdiri. Perlahan. Tubuhnya tinggi dan besar berdiri di hadapan Viola yang mungil. Ia menatap gadis itu lama, dan hanya menjawab dengan suara rendah yang nyaris seperti bisikan,
“Mungkin.”
Lalu ia melangkah ke arah dapur, meninggalkan Viola yang masih berdiri dengan tubuh bergetar. Viola tahu… ini belum selesai. Lelaki itu tidak akan menyerah begitu saja. Tapi dia bersumpah, apa pun yang terjadi, dia tidak akan jadi milik Mario. Tidak untuk uang. Tidak untuk obsesi. Tidak untuk siapa pun.