Setelah lamaran konyol dan tak terduga itu, Naily berusaha bersikap biasa-biasa saja dan tidak menganggap serius ucapan bosnya. Bukannya apa-apa, ia hanya merasa hal seperti itu sebaiknya jangan terlalu ditanggapi. Anggap angin lalu saja setidaknya untuk sekarang sebelum Gavin benar-benar terbukti tulus mengatakannya.
Naily adalah orang terdekat Gavin yang pastinya tahu betul apa yang pria itu lakukan bersama wanita-wanitanya selama ini. Terlepas dari Gavin yang sudah mengakhiri jiwa playboy-nya sebelum memutuskan menikah dengan Fiona, tetap saja rasanya gila kalau Naily langsung percaya begitu saja. Ya meski tak bisa dimungkiri Naily mulai tergoda dan seakan terbius oleh kata-kata manis bosnya.
Hanya saja, tergoda bukan berarti Naily harus menerima Gavin detik ini juga, bukan? Naily juga tidak ingin dicap sebagai perempuan yang mudah luluh apalagi dikira gampangan.
Setelah lamaran konyol dan dadakan, Gavin dan Naily memang memutuskan untuk makan di restoran tanpa membahas apa pun terkait lamaran Gavin. Sampai kemudian setelah makan, mereka yang sedang dalam perjalanan kembali ke kantor, akhirnya kembali membicarakan pembicaraan di parkiran restoran tadi.
“Kamu pasti masih tidak percaya dan menganggap aku hanya membual?”
“Kalau Bos serius, silakan ulangi lamarannya saat sudah bercerai dengan Bu Fiona nanti,” balas Naily se-santai mungkin, padahal sebetulnya ia baru berhasil menetralkan degup jantungnya yang sangat cepat. Jujur saja, sejak tadi hingga kini Naily terus merasa deg-degan tak wajar.
"Kenapa kamu memberikan jawaban yang gantung, Ly? Kalau menerima bilang iya atau menolak ya bilang tidak. Meskipun sejujurnya aku berharap kamu bilang iya."
"Ya udah, aku jawab ... tidak."
"Loh kenapa tidak? Aku maunya kamu bilang iya, Ly. Yes."
"Bos kenapa maksa? Seharusnya Bos menganggap wajar dengan penolakanku. Aku tahu betul Bos orangnya gimana."
"Setidaknya kamu pikirkan jawabannya dulu. Jangan langsung menolak begitu."
"Tadi Bos sendiri yang nyuruh aku jangan ngasih jawaban yang gantung. Gimana, sih?"
"Tapi tidak langsung menolak, Ly. Kamu itu ya!" Gavin gemas sekali. Andai tidak sedang menyetir, ia mungkin akan mengacak-acak rambut panjang Naily atau setidaknya melepas ikat rambut yang wanita itu pakai.
"Setidaknya kamu bilang mau memikirkannya dulu. Itu jawaban yang jelas dan memberiku harapan. Jangan nyuruh aku mengulang melamarmu saat aku dan Fiona udah bercerai, itu jawaban yang gantung."
"Astaga. Sejak kapan tingkat kebawelan Bos jadi dua kali lipat gini, sih?" ujar Naily. "Oke, oke ... aku akan memikirkan jawabannya, Pak Gavin."
"Nah, gitu dong. Aku jadi semangat buat semakin jauh menggodamu." Gavin tersenyum.
"Kenapa si Gavin jadi meresahkan sekali?" gumam Naily yang sialnya malah terdengar oleh Gavin meskipun pria itu tidak begitu jelas mendengarnya.
"Apa kamu bilang?" tanya Gavin.
"Aku nggak bilang apa-apa."
"Aku yakin kamu bicara sesuatu, Ly."
"Mau ke dokter THT sekarang, Bos? Buat periksa kuping Bos, siapa tahu aja bermasalah."
"Sial. Asistenku ini sebelum aku confess aja udah berani, dan sekarang jadi makin berani. Kamu mau aku kasih kerjaan yang banyak?"
Naily terkekeh. "Bahkan Bos sendiri yang bilang supaya tidak ada hal formal antara kita. Bos juga yang nyuruh aku supaya jangan sungkan dalam hal apa pun. Blak-blakan nomor satu karena Bos orangnya tidak gila hormat."
"Tapi kamu malah keterlaluan," balas Gavin. "Anehnya ... aku malah suka dengan candaan-candaan berani yang biasa kamu lontarkan seperti barusan."
"Padahal Bos seharusnya mecat aku yang katanya kurang ajar ini."
"Mana mungkin? Itu tidak akan pernah aku lakukan."
"Kalau begitu ... gimana kalau aku yang mecat Bos aja?"
Gavin malah tertawa. "Jangan rusak konsentrasi mengemudiku, Ly," kata Gavin. "Tapi serius ... sampai kapan pun aku tidak akan memecat kamu. Paling adanya mutasi kerja dari asisten jadi pacar lalu istri."
"Bos yakin tidak ada step yang terlewat? Bukankah aku jadi selingkuhan Bos dulu?"
Gavin tidak menjawab, tampak berpikir.
"Iya, kan? Aku memang selingkuhan Bos," kata Naily. "Statusku bahkan belum bisa dipastikan nanti bakalan gimana. Kita tidak ada yang tahu masa depan. Asal Bos tahu, pernikahan kontrak itu biasanya menjadi pernikahan sungguhan loh," sambungnya.
Naily bicara lagi, "Mana tahu Bos dan Bu Fiona nanti saling jatuh cinta."
"Sori Ly, itu hanya berlaku di novel atau film yang kamu temui. Untuk pernikahanku dengan Fiona itu murni bisnis. Kamu tahu sendiri Fiona udah punya Deni dan aku udah punya kamu."
"Bahkan Bos belum tahu pasti alasan Bu Fiona menikah sama Bos. Terlepas dari orangtua kalian yang menjodohkan, tetap aja dia seharusnya punya kuasa untuk menolak, kan?"
"Kamu berpikir Fiona punya alasan tertentu sehingga menerimaku, selain paksaan orangtuanya untuk menikah?"
"Iya, Bos. Terlepas dari menunggu Pak Deni cerai sama istrinya ... aku masih merasa janggal. Aku pikir Bu Fiona dengan Starlight dan kesuksesannya pasti bisa menolak dengan tegas dan berjanji akan menikah tahun depan bersama laki-laki pilihannya. Aku pun yakin orangtuanya tidak akan keberatan," jelas Naily. "Konyolnya Bu Fiona mau-mau aja, kan? Bos yakin tidak melihat kejanggalan?"
"Kira-kira apa yang mengharuskan Fiona menikah denganku?" Gavin mulai berpikir.
"Itu urusan Bos dan pikirkanlah sendiri. Aku hanya melaksanakan tugasku sebagai asisten untuk mengingatkan Bos supaya Bos mengeceknya dengan lebih detail," kata Naily. "Ya meskipun misalnya Bos tahu alasan sebenarnya, tetap aja Bos tidak bisa berbuat apa-apa, kan? Tapi seenggaknya Bos bisa atur strategi supaya tidak ditindas karena sejauh ini aku rasa Boslah yang lebih membutuhkan pernikahan ini dibandingkan Bu Fiona."
"Baiklah, aku akan mencari tahu. Tapi sambil melakukan itu, aku akan tetap menggodamu," balas Gavin sambil berkedip nakal.
"Lihat ke depan, Bos. Jangan sampai kecelakaan hanya karena kekonyolan Bos," ujar Naily yang sialnya malah salah tingkah mendapatkan mata genit dari Gavin.
"Awas aja, aku yakin pada akhirnya ... kamu bakalan jatuh cinta sama aku."
"Benarkah itu adalah ucapan seorang laki-laki yang akan menikahi perempuan lain dalam hitungan hari?" balas Naily.
"Aku akan menggodamu setiap hari," kata Gavin seolah tak memedulikan ucapan Naily barusan.
"Aku akan mewujudkan salah satu keinginanmu, yakni menikah dengan laki-laki yang akan menjadikanmu ratu. Ya, aku pastikan kamu akan menjadi ratu paling bahagia saat menjadi istriku kelak."
"Berhenti melantur, sebaiknya Bos persiapkan diri karena Pak Ruben sudah menunggu Bos di kantor."
"Papa udah nyampe kantor?" Gavin agak terkejut.
"Iya, Bos. Barusan sekretarisnya ngasih tahu aku," balas Naily sambil menunjukkan riwayat chat di ponselnya. "Pak Ruben nyampe sekitar lima menit yang lalu."
"Oke, kita ngebut sekarang," ucap Gavin kemudian mulai mempercepat laju mobilnya.
***
Salah satu alasan restoran tadi menjadi favorit Gavin adalah karena jaraknya tidak terlalu jauh dan jalur yang dilewati bukan merupakan titik-titik kemacetan sehingga saat buru-buru begini, tidak harus ada drama kemacetan yang menghambat perjalanan.
Sampai pada akhirnya, di sinilah Gavin berada. Hanya berdua di ruang kerjanya bersama Ruben Dinata, sang papa.
"Bagaimana persiapan pernikahannya?"
"Sudah sempurna, Pa."
"Lalu interaksimu dengan Fiona ... apa lancar?"
"Lancar, Pa. Kami beberapa kali bertemu, baik ketika pendekatan maupun proses persiapan pernikahan. Dua-duanya membuat kami semakin akrab."
"Bagus. Belum resmi menikah saja ... Fiona bahkan sudah membuka akses bagi Dinata Express untuk menjadi jasa pengiriman utama di Starlight sehingga user-nya mau tidak mau memakai DE. Untuk itu, atur sebaik mungkin, manfaatkan hal ini untuk membuka kepercayaan agar DE selalu menjadi pilihan. Buatlah user yang terpaksa menjadi tidak menyesal memakai DE."
"Tentu, Pa. Aku berusaha sebaik mungkin."
"Ya. Papa percaya," balas Ruben. "Selain berusaha menjadi CEO yang baik, jadilah suami yang baik juga untuk Fiona. Sebentar lagi kamu akan menikah dengan anak tunggal dari sahabat papa, jadi pastikan Fiona bahagia."
Gavin tidak menjawab.
"Gavin? Kenapa diam?" tanya Ruben. "Kamu bukan sedang memanfaatkan Fiona, kan? Kamu sungguh-sungguh menikahinya bukan karena mengkhawatirkan status sebagai sang pewaris?"
"Tentu saja aku serius, Pa."
"Memang tidak bisa dimungkiri ada bisnis dalam pernikahan kalian. Tapi apa salahnya untuk saling mencintai? Kamu tampan dan Fiona cantik. Kalian sangat cocok bersama," kata Ruben. "Untuk itu berjanjilah kamu akan membahagiakan Fiona dan melakukan apa pun yang dia inginkan."
"Baik, Pa. Aku berjanji," ucap Gavin yang tentu saja bertentangan dalam hatinya.
***
"Apa? Gavin sama Naily berciuman di mobil?" tanya Fiona di ujung telepon sana.
"Ya, kamu pasti belum menonton videonya. Padahal orang suruhan kita mengirimnya satu jam lalu."
"Aku sibuk banget, Mas. Hari pernikahanku pas banget sama promo besar-besaran di Starlight, jadi ya gitu deh."
"Iya, aku tahu kamu pasti sibuk. Aku cuma mau bilang supaya nanti kalau kamu ketemu Gavin bisa mengingatkan dia agar lebih hati-hati. Jangan kiss di tempat umum sekalipun itu parkiran VIP, pokoknya jangan. Bahaya kalau ada yang lihat."
"Aku pasti bilang sama Gavin, Mas. Beberapa hari lagi, kan, kami menikah. Aku rasa lebih baik bicara secara langsung dibandingkan lewat chat atau telepon."
"Oke, Sayang. Ngomong-ngomong kamu lagi apa, Fiona?"
"Tiduran aja di kamar. Aku tidak bisa ke mana-mana, keluargaku bilang calon pengantin itu harus tetap di rumah menjelang hari H. Makanya segala hal menyangkut kesibukan di Starlight aku limpahkan pada orang kepercayaanku semenjak hari ini. Mulai besok sampai hari pernikahan, aku bakalan dipingit," jawab Fiona. "Kamu sendiri lagi apa, Mas? Ini udah malam loh."
"Aku? Lagi berdiri di balkon kamar sambil teleponan sama kamu, Sayang."
"Istri kamu lagi duduk depan laptop seperti biasa?"
"Tepat sekali. Dia sibuk banget sama naskahnya."
"Andai aku yang menjadi istrimu, Mas. Aku tidak akan sibuk sendiri. Malah sepertinya aku udah ngajakin kamu ke ranjang buat mesra-mesraan."
"Andai kamu yang jadi istriku sekarang, sayangnya aku harus bersabar sampai perceraian itu tiba."
"Bukan kamu aja yang sabar. Aku juga, Mas."
"Cobaan dalam hubungan kita ternyata sebesar ini, ya. Bersyukur kita bisa melewatinya."
"Ya, kita pasti bisa."
"Fiona nanti lagi, ya. Evrina sepertinya mau nyamperin ke sini." Meskipun Deni berada di balkon dan masih membelakangi arah pintu kaca yang menghubungkan dengan kamar, tapi ia bisa mendengar suara langkah mendekat. Tak lama kemudian terdengar pintu digeser.
Setelah sambungan telepon terputus, Deni memutar tubuh dan betapa terkejutnya ia saat sang istri langsung memeluknya.
Meskipun tidak nyaman, Deni tidak berusaha melepaskan diri dari istrinya itu.
"Evrina ... ada apa?" tanya Deni.
Evrina mulai melepaskan pelukannya dan saat ini ia berdiri berhadapan dengan sang suami.
"Pengen meluk suami sendiri. Memangnya tidak boleh, ya?"
"Boleh dong, tapi sepertinya ada sesuatu. Coba ceritakan kalau kamu tidak keberatan."
Dari gelagat Evrina, Deni yakin ada yang tidak beres.
"Mas, bolehkah aku menginginkan satu hal?"
"Banyak hal pun boleh, Ev. Tapi apa?"
"Aku ... ingin hamil."