Jani masih belum mendapatkan kesempatan untuk memasak. Jadi malam itu, Jani hanya bisa memperhatikan saat Bi Rominah sibuk memasak di dapur untuk makan malam mereka.
“Non Jani nanti rambut sama bajunya jadi bau bumbu loh, Non!” Bi Rominah memperingati karena nona mudanya ini bersikeras untuk berada di dapur menemaninya memasak. “Soalnya bibi mau numis capcainya pakai terasi nih Non.”
Jani tersenyum. Entah harus berapa kali ia menjelaskan kalau dirinya sudah biasa berada di dapur dan tidak perlu diperlakukan seperti itu. Tetapi karena tidak ingin mengganggu, akhirnya Jani pun memutuskan meninggalkan dapur dan pergi ke ruang keluarga untuk menghampiri Eyang Uti.
Namun langkah Jani dijegat Ares yang baru saja turun dari tangga. Lelaki itu menarik Jani ke pintu yang mengarah ke kolam renang. Meninggalkan kebisingan suara di dapur yang tercipta dari kegiatan Bi Rominah yang sedang memasak dan gema suara televisi yang Eyang Uti tonton.
Kini hanya ada suara gemericik dari kolam renang dan sayup-sayup suara jangkrik dari tanaman-tanaman yang ada di taman belakang rumah mereka.
“Ada apa?” tanya Jani ketika Ares berhasil menariknya ke gazebo yang ada di sisi kolam renang.
“Besok, temenin aku pergi.” Ares berkata to the point. Kalimat itu lebih seperti sebuah perintah dan bukannya sebuah ajakan. Melihat Jani yang tidak kunjung memberikan respon, Ares berdecak. “Inget sama perjanjian kita, Jani.”
“Iya aku ingat.” Jani menjawab tidak kalah cepat. “Tapi besok aku juga ada janji.”
Ares mengernyit. Janji? Janji dengan siapa? Memang Jani punya teman di Jakarta? Karena setahu Ares, perempuan itu sejak kecil di Solo. Lalu kuliah pun perempuan itu merantau jauh ke Inggris. Ah, Ares juga baru sadar kalau sore tadi Jani juga habis pergi entah dari mana.
““Mau ke mana sih memangnya? Janji sama siapa? Nggak penting kan pasti?” Diberi rentetan pertanyaa berikut, Jani hanya diam saja. Membuat Ares memandangnya dengan kesal. “Kok kamu diem aja?” tanyanya sewot. “Nggak punya mulut?”
“Kan kamu yang bilang di surat perjanjian untuk nggak urusin urusan masing-masing.” Jani menjawab dengan telak. “That’s my business.”
Ares berdecih. Betul kan, Jani tidak sepolos dan sedatar yang ia kira. Definisi diam-diam menghanyutkan. Jika Ares lengah, lelaki itu bisa tenggelam terbawa arusnya. “Fyi, kamu udah tanda tangan, Jani.” Ares melipat tangan di d**a, “Pokoknya besok kamu ikut aku, titik!”
Jani menatap Ares dengan tatapan datar khasnya. Kemudian perempuan itu menghela napas, “Mau ke mana memangnya? Jam berapa?”
Ares tersenyum puas, merasa menang. “Malam, kamu siap-siap dari sore.”
“Untuk acara apa?”
“Senang-senang!”
Dahi Jani mengernyit, bingung. “Maksudnya?”
Ares tidak menjawab dan justru berlalu meninggalkan Jani begitu saja.
***
Jani tidak suka keramaian. Apalagi di tempat dengan dentuman musik yang memekakan telinga dan juga orang-orang yang memadati lantai dansa seperti sekumpulan ikan makerel yang sedang mengerubuti umpan sebelum kemudian ditangkap dan dijadikan ikan sarden.
Meski kini Jani berada di sebuah ruangan VVIP yang jauh lebih berkelas dan manusiawi dibanding kondisi di luar sana, tetap saja Jani tidak menyukai di mana Ares membawanya saat ini.
“Dasar gila! Itu istri lo di depan mata lo, bisa-bisanya lo meluk-meluk gue, b*****t!”
“Gue kangen banget denger mulut lo ngata-ngatain gue, Ji.”
“Sinting!”
Jani memang duduk membelakangi Ares dan juga teman perempuan lelaki itu yang diperkenalkan sebagai Jia. Jani mengenali wajah Jia karena perempuan itu adalah salah satu actress papan atas saat ini sama seperti Ares. Wajahnya terkenal setelah berhasil mengisi ratusan episode sinetron di salah satu TV swasta terkenal di Indonesia.
Jani tidak tahu apa tujuan Ares membawa Jani ke tempat ini karena pada kenyataannya acara ini bukanlah untuk tujuan formal. Hanya ada Jia di ruangan ini ketika Ares dan Jani datang. Jani benar-benar telah dijebak.
“Ah—Res, nggak gini mainnya!” Lagi-lagi Jani dapat mendengar Jia yang tiba-tiba saja mengeluarkan desahan. Ini mungkin sudah ke empat kalinya dalam kurun waktu empat puluh menit terakhir. “That’s your wife, Res, jangan sinting! Gue ngajak lo ketemu buat have fun, bukan kayak—ah!”
Jani memejamkan mata. Tidak ingin membayangkan apalagi tahu apa yang sedang diperbuat Ares kepada perempuan itu. Katanya, mereka bersahabat, tetapi kenapa sejak tadi hanya hal-hal seperti itu yang mereka lakukan? Jani tidak habis akal. Awalnya Jia hanya mengajak Ares mengobrol dan samar-samar, Jani bisa menangkap soal Jia yang sedang curhat soal kekasihnya yang sudah memiliki istri. Tetapi kemudian sesi curhat itu berubah menjadi sebuah sesi make out yang awalnya sangat mengejutkan Jani.
Jani tidak cemburu. Sungguh. Hanya saja, Jani tidak ingin berada di dalam ruangan yang sama dengan dua pasangan—entahlah apa itu. This is too much. Jani pikir, sikap menyebalkan Ares selama ini masih dapat ditolerirnya, tetapi saat ini, Ares sudah terlalu kelewat batas.
“Auch, Ji, kok lo gigit bibir gue, sih?”
Jani hampir saja menoleh untuk mengetahui apa yang terjadi. Tetapi perempuan itu memilih menahan diri. This is not your business, Jani. Dan kalimat itu Jani rapalkan berulang kali hingga akhirnya telinganya jadi kebal sendiri.
“I told you, gue nggak bisa kayak dulu lagi, Res!” Jia berseru di hadapan Ares, perempuan itu sudah sedikit mabuk karena minuman yang ditenggaknya. “Lo udah nikah!”
“Tapi lo juga tahu, Jia, I don’t even like her!”
Jani tanpa sadar mencengkram tali handbag yang ada di pangkuannya. Apa salah Jani sehingga harus berada di dalam posisi seperti ini? Meski Ares dan Jani tidak saling menyukai, tetap saja tidak seharusnya Ares melakukan ini pada Jani.
Dan bodohnya, Jani hanya diam di tempat. Bahkan seolah terlalu takut untuk bergerak. Pasti ada alasan kenapa Ares sampai membawa Jani ke tempat ini. Mungkin sengaja membawa Jani untuk menjadi tameng agar tidak menjadi konflik. Tetapi entah kenapa Jani merasa apa yang mereka lakukan ini tidaklah benar.
Ares dan Jia terus bertengkar dengan pembahasan yang hanya berputar-putar. Jia yang menegaskan kalau Ares sudah menikah dan akan dibalas dengan Ares yang juga menegaskan kalau dia tidak mencintai istrinya.
Padahal objek yang ada di pembicaraan mereka jelas-jelas berada di satu ruang yang sama saat ini.
Dan lagi, Jani tidak mengerti dengan apa maksud perempuan bernama Jia tersebut. Jika perempuan itu benar-benar tidak ingin berhubungan lagi dengan Ares—entah dalam konteks apa—mengapa perempuan itu diam saja ketika Ares memeluknya, menciumnya bahkan melakukan entah apa hingga dirinya mengeluarkan desahan.
Seolah apa yang perempuan itu katakan tidak sesuai dengan tindakannya. Apa karena Ares meyakinkan Jia sejak awal kedatangan mereka barusan jika Jani tidak akan masalah dengan hubungan mereka dan tidak perlu dianggap kehadirannya?
Jani bangkit dari duduknya ketika jam menunjukkan tepat jam sebelas malam. Perempuan itu menghampiri Ares dan juga Jia yang masih berdebat dengan setengah mabuk. “We need to go, Mas.” Jani berkata dengan tegas.
Ucapan Jani berhasil menarik perhatian Ares dan juga Jia. “Apa? Kenapa?” tanya Ares dengan pandangan sayu. Lelaki itu setengah mabuk, pipinya bahkan memerah. “Ini masih sore!”
“Terserah, kalau kamu tidak mau pulang, biar aku pulang sendiri.” Jani berbalik badan, bukan bermaksud menggertak tetapi benar-benar akan melakukannya. Jani sudah merelakan dirinya menjadi sosok yang seolah tidak kasat mata selama beberapa jam belakangan. Dan Jani rasa itu sudah cukup sekarang. “Dan aku tidak akan menutup-nutupi soal ini kalau nanti Eyang Uti bertanya.”
Seperti tersambar petir, Ares seolah langsung mendapatkan kesadarannya. Hanya mendengar Eyang Uti disebut, tubuh Ares rasanya seperti baru saja disiram air es. “Jani, wait!” Ares bergegas pergi, meninggalkan Jia begitu saja seorang diri.
Ketika tiba di parkiran, Ares masih sedikit pusing. Bahkan lelaki itu kesulitan mengeluarkan kunci mobil dari kantung celananya. Hingga kemduian Jani merebut kunci itu dari tangan Ares, masih dengan ekspresi datarnya.
“Masuk!” Jani berkata dengan nada dingin. Yang anehnya dengan patuh dituruti oleh Ares detik itu juga. Jika dalam keadaan normal, Ares pasti tidak terima dirinya dikontrol oleh Jani. Mabuk dan rasa paniknya akan kemungkinan Jani mengadu pada Eyang Uti membuat Ares berubah menjadi anak baik saat ini.
Mata Ares terpejam saat ia dapat menghirup aroma tubuh Jani yang sama seperti malam itu. Sangat dekat di hidungnya sampai-sampai Ares mengira bahwa Jani berada di hadapannya, sangat dekat…
“s**t!” Ares menutup mulutnya begitu sadar ia baru saja menempelkan bibirnya ke perpotongan leher dan rahang Jani saat perempuan itu sedang memakaikannya seatbelt. “So—sorry gue nggak—”
Jani tidak menyahut dan dengan cepat menegakkan tubuhnya untuk kemudian menjalankan mobil.
Perjalanan terasa lebih hening dibanding saat mereka berangkat tadi.
Sejak awal pertemuannya dengan Jani, Ares selalu mengganggu perempuan itu. Tetapi tidak ada satupun hari di mana Ares merasa bersalah atas apa yang sudah ia lakukan pada Jani hanya demi membuat perempuan itu kesal dan bereaksi.
Tapi rupanya malam ini menjadi pengecualian. Padahal, apa yang Ares lakukan di club tadi sama sekali tidak bermaksud untuk mengganggu Jani. Tapi entah kenapa, hanya perasaan bersalah yang tengah menyelimuti hatinya saat ini.