Jani menatap pantulan dirinya di cermin. Hari ini ia mengenakan blouse berwarna mustard dan rok dengan model a-line warna coklat tuanya.
Sebentar lagi Jani akan mengadakan pertemuan dengan keluarga calon suaminya secara resmi dan hari ini juga pertama kalinya Jani akan bertemu langsung dengan calon suaminya secara langsung.
Jani tahu siapa laki-laki yang akan dinikahinya satu bulan lagi. Dia adalah Antares Pramudya Hadinata, yang lebih dikenal dengan nama panggungnya Ares.
Meski Jani tidak terlalu mengikuti perkembangan dunia entertainment di negaranya, Jani tetap dapat mengenali siapa Ares. Apalagi dua tahun lalu, di mana Ares hampir mengisi keseluruhan headline news entertainment baik di layar kaca maupun di internet. Saat itu, nama Ares banyak dibicarakan karena berhasil melebarkan sayap actingnya sampai ke negeri paman Sam.
Dua tahun lalu, Jani bahkan masih berkuliah di Oxford. Tetapi ia tahu nama Ares karena berita mengenai lelaki itu benar-benar sangat massive pada saat itu. Secara Ares adalah salah satu anak bangsa yang berhasil mengharumkan nama negara karena berhasil menembus pasar Hollywood, namanya bahkan langsung jadi trending di mana-mana.
Film Hollywood pertama Ares pun terbilang sukses meski ia hanya mendapatkan peran pembantu di sana. Tetapi kemudian, karena bakat dan kegigihannya, Ares berhasil bertahan di luar sana bahkan namanya semakin dikenal. Apalagi project terakhir Ares sebelum kembali ke Indonesia adalah sebuah series original netflix yang masuk ke top list.
Tapi hanya sebatas itu. Jani tahu Ares seperti orang-orang mengetahuinya. Sebagai orang biasa yang melihat selebriti. Jani bahkan tidak ambil pusing untuk mencari-cari berita lain soal Ares saat pertama kali ayahnya mengatan pada Jani bahwa mereka akan dijodohkan.
Kembali ke Jani. Perempuan itu sudah merasa siap saat pintu kamarnya diketuk. Kedua orang tuanya juga sudah berpakaian rapi seperti akan menghadiri acara bisnis yang sangat penting. Padahal pertemuan mereka nanti hanya berupa makan malam biasa di sebuah hotel bintang lima. Tujuannya tentu untuk mempertemukan Jani dan Ares secara langsung karena selama pembahasan perjodohan hingga persiapannya selama ini, mereka masih sama-sama berada di luar negeri. Ares di Los Angeles dan Jani berada di London.
“Siap, Nak?” Ayah Jani bertanya lembut kepada puterinya. “Ndak usah tegang, kita hanya akan makan malam santai.”
Jani mengangguk. Sejujurnya, ia sama sekali tidak tegang melainkan merasa… dejavu. Saat-saat seperti ini pernah ia alami beberapa bulan yang lalu. Hampir sama persis. Bedanya saat itu, makan malam hanya berjalan sebagaimana makan malam pada umumnya. Hanya Jani sendiri yang merasa excited hingga percaya diri bahwa hasil dari makan malam itu akan membawanya ke pelaminan bersama laki-laki bernama Ariano.
Bedanya, malam ini Jani sudah tahu ke mana takdir akan membawanya. Seharusnya Jani tidak perlu merasa tidak nyaman. Tidak akan ada yang batal seperti waktu itu karena semua jelas. Jika saat itu Jani dan Ariano hanya baru diperkenalkan sebelum dijodohkan, malam ini Jani justru akan berkenalan dengan orang yang jelas-jelas akan dinikahinya.
“Relax, Jani, everything will be alright.” Jani menggumam pelan.
***
“Ares.”
Jani menatap tangan dengan urat-urat samar di lengan yang terlurur ke arahnya sebelum kemudian menerima tangan tersebut untuk dijabat. “Arjani,” ujarnya memperkenalkan diri.
Kesan pertama Jani terhadap Ares adalah… tampan. Ares benar-benar tampan seperti yang Jani lihat di foto atau layar kaca—iya, Jani menonton salah satu series yang dimainkan oleh Ares. Lelaki itu benar-benar punya aura bintang. Matanya terlihat ramah saat tersenyum, melengkung seperti bulan sabit.
Tubuh Ares tidak terlalu besar berotot, tapi cukup tegap dan berisi dengan tinggi badan kurang lebih 183 cm. Rambutnya hitam legam terlihat ditata rapi tapi tidak klimis. Dan sepasang alis tebalnya benar-benar menjadikan wajah lelaki itu tidak bosan untuk dilihat sekali saja.
Jani tidak sadar sudah menatap wajah Ares terlalu lama hingga suara kekehan pelan laki-laki itu menyadarkannya. Jani bergerak kikuk saat sadar apa yang sudah dilakukannya, pipinya terasa panas ketika melihat Ares tersenyum ke arahnya. Senyuman geli. Lelaki itu sepertinya sedang menertawakan Jani.
Jani hanya bisa menunduk sambil berjalan menuju meja untuk acara makan malam itu.
Makan malam berjalan lancar. Sejak awal atmosfer yang tercipta antara keluarga Hadinata dan Darmaji benar-benar terbangun dengan sangat baik. Meski kedua orang tua calon suaminya harus pamit lebih dulu karena ada panggilan dari rumah sakit masing-masing di pertengahan makan malam, acara itu tetap berjalan lancar.
Kini di meja hanya tersisa lima orang. Jani, kedua orang tuanya serta Ares dan neneknya. Hidangan penutup pun sudah dihidangkan dan pembicaraan juga berjalan jadi lebih santai.
“Karena malam ini sudah terlalu larut jika diteruskan, bagaimana kalau besok Nak Jani dan Ares pergi berdua saja untuk bisa lebih mengenal?” Widya, atau nenek dari Ares yang biasa dipanggil Eyang Uti mencetuskan sebuah ide di tengah sesi makan hidangan pencuci mulut. “Kalau sekarang mengobrolnya mungkin masih tidak terlalu nyaman karena masih ada kita di sini.”
“Ah, tidak begitu kok Eyang.” Jani menyahut dengan nada sopan. “Saya sama sekali tidak merasa tidak nyaman.”
Widya tersenyu, ia lalu menepuk pelan punggung tangan Jani di atas meja. “Jani mau ya besok pergi makan siang dengan Ares? Biar kalian bisa lebih mengenal satu sama lain lebih dekat.”
Jani berkedip. Ditanya seperti itu tentu saja Jani mati kutu. Tidak enak jika menolak, tetapi ragu juga untuk mengiyakan. Pasalnya, iya tidak tahu apa Ares setuju untuk melakukannya atau tidak. Lelaki itu terlalu terlihat mengintimidasi Jani sejak acara di mulai. Padahal lelaki itu bersikap sangat ramah kepada kedua orang tuanya, termasuk dengan Jani saat awal berkenalan tadi. Tetapi ketika acara makan malam benar-benar dimulai tatapan mata Ares ketika melihat Jani berubah menjadi agak dingin.
Sangat berbeda dengan saat pertama kali Jani bertemu Ariano. Meski lelaki itu tidak tertarik pada Jani, Ariano tidak pernah menatap Jani begitu. Bahkan selalu tersenyum dan terlibat dalam pembicaraan dengannya. Sedangkan Ares nyaris tidak bertanya apapun kepada Jani malam ini.
Jani langsung menggelengkan kepala kecil, mencoba mengenyahkan ingatannya yang kembali membawanya kepada Ariano. Ia harus benar-benar berhenti membandingkan Ares dengan Ariano karena mereka jelas berbeda dan kisahnya dengan Ariano bahkan tidak pernah dimulai sejak dulu, untuk apa diingat-ingat.
“Saya…”
“Ares sih nggak masalah, Eyangti, kebetulan Ares memang mau mengobrol banyak dengan Arjani.” Ares dengan cepat menyela. Ia lalu tersenyum ke arah Jani seolah memberi sinyal tidak langsung bahwa ia benar-benar ingin melakukannya. “Itu juga kalau kamu nggak keberatan pergi sama aku.”
Jani menatap Ares lurus, kemudian mengangguk pelan. “Iya.” Akhirnya hanya itu yang bisa ia katakan sebagai jawaban.
Lalu Ares berganti meminta izin kepada kedua orang tua Jani yang tentu saja langsung disambut dengan sangat antusias oleh keduanya. Jani menunduk menatap ice cream di piringnya yang sudah hampir sepenuhnya meleleh tidak tersentuh. Kenapa Jani harus merasa takut dan tidak nyaman hanya untuk pergi berdua dengan Ares? Padahal sebulan lagi, Jani bahkan akan menjadi istrinya.
***
Ares menjemput Jani keesokan harinya pukul sebelas. Hari itu, Ares mengenakan atasan berkerah turtle neck berwarna hitam yang mencetak jelas tubuh tegapnya. Padahal pakaian itu sangat sederhana, tetapi entah kenapa dapat membuatnya begitu mempesona. Seolah Ares memang terlahir untuk menjadi seorang bintang. Mungkin jika lelaki itu hanya mengenakan kaos singlet lusuh pun, Jani yakin akan tetap terlihat bagus di tubuhnya.
“Kita mau ke mana?” tanya Jani begitu Ares sudah mulai melajukan BMW M5nya untuk memecah kemacetan Ibu Kota.
“Yang pasti tempat sepi yang jauh dari orang-orang supaya bisa bicara empat mata.”
“Tapi kita sekarang juga lagi bicara empat mata.”
Ares menoleh sekilas, ada ekspresi terganggu pada wajahnya. Bahkan Jani sudah menyadari ekspresi itu sudah ada sejak Ares dan Jani berada di dalam mobil. Sepertinya laki-laki itu benar-benar aktor berbakat, karena saat berpamitan dengan kedua orang tua Jani, Ares benar-benar terlihat seperti laki-laki yang antusias dan bahagia akan membawa kekasihnya kencan.
“Sudah lo diem aja, duduk anteng ikutin gue.”
“Iya, saya kan memang ada di mobil kamu jadi tidak bisa ke mana-mana.” Jani menjawab apa adanya. Betul-betul tidak bermaksud membalikkan kata-kata Ares agar lelaki itu kesal. Tetapi decakan Ares menyadarkan Jani bahwa ia baru saja salah bicara.
“Bisa diem, nggak?”
Jani berkedip. Apa jawabannya atas kata-kata Ares salah? Tapi kan, Jani hanya menjawab apa adanya. Kenapa Ares harus merasa sekesal itu? Padahal acara hari ini pun laki-laki itu sendiri yang menginginkannya, Jani hanya ikut saja.
“Maaf.”
***
Ares membawa Jani ke sebuah taman kota di daerah Ciganjur, Jakarta Selatan. Karena tidak pernah tinggal di Jakarta lama, Jani tentu saja tidak tahu ia berada di mana saat ini. Dan lagi, Jani sama sekali tidak berekspetasi bahwa Ares akan membawanya ke sebuah taman kota yang asri itu.
Ares membeli sebuah minuman botol di warung kecil sebelum pintu masuk taman, menyerahkannya pada Jani sambil berjalan bersisian menuju sebuah spot tempat duduk di bawah pohon yang rindang. Taman benar-benar sepi siang itu.
Tentu saja sepi. Siapa juga yang pergi siang hari ke taman kota di hari Weekday begini? Anak-anak bahkan belum pulang dari sekolah jam segini.
“Gue mau to the point aja nih sama lo.” Ares melepas kacamata hitamnya, memutar tubuhnya miring ke arah Jani dan menatap lurus ke matanya. “Gue jauh-jauh bawa lo ke sini buat bahas soal perjodohan konyol ini. Gue mau lo menolak perjodohan ini, karena jujur aja gue nggak mau nikah sama lo.”
Jani berkedip. Here we go. Jani tahu sejak semalam bahwa Ares tidak betul-betul menerima perjodohan ini. Tentu saja, laki-laki berkarir cemerlang yang mungkin dicintai sangat banyak orang seperti Ares untuk apa mau dinikahkan dengan perempuan yang biasa saja—bahkan membosankan—seperti dirinya. Bukannya merasa rendah diri, hanya saja Jani tahu ia memang seperti itu.
Selain membanggakan gelar pendidikannya yang berhasil ia raih di salah satu universitas terbaik di dunia, Jani tidak tahu apalagi yang menarik dari dirinya. Secara penampilan, masih ada banyak sekali perempuan yang jauh lebih cantik dari Jani, apalagi Ares bekerja di industri hiburan yang mana isinya jelas didominasi oleh perempuan-perempuan bervisual di atas rata-rata. Jani tidak mengikuti kegiatan-kegiatan keren yang bisa dibanggakan, pekerjaannya pun hanya seorang seniman keramik.
Mungkin, satu-satunya yang bisa membuat Jani pantas bersanding dengan Ares hanyalah nama belakang Jani yang menunjukkan bahwa Jani terlahir dari keluarga yang terpandang. Jani tidak menampik jika keluarganya masih keturunan darah bangsawan di Solo. Terlebih lagi status ayahnya sebagai kurator ternama di Indonesia membuat nama belakang Jani menjadi lebih bernilai.
That’s it.
“Arjani—”
“Kenapa saya yang harus menolaknya?” tanya Jani setelah sejak tadi hanya diam saja.
“Apa?” Ares mencoba memastikan. “Kenapa kata lo? Ya jelas karena gue nggak mau dijodohin atau nikah sama lo.”
Jani mengangguk. “Lalu kenapa saya yang harus menolaknya, kan kamu yang tidak mau menikah dengan saya.”
Mulut Ares terbuka, tidak percaya atas apa yang didengarnya. “Jadi maksud lo, lo mau nikah sama gue? Seriously, lo bahkan baru ketemu gue kemarin dan lo udah langsung mikir buat mau menikah sama gue?” Ares bertanya tanpa jeda. “Babe, asal lo tahu ya. Ares yang lo kenal di layar kaca itu beda sama Ares yang ada di depan lo. Lo nggak boleh langsung jatuh cinta sama gue meski lo ngefans sama gue, lo nggak tahu gue gimana.”
“Saya tidak ngefans sama kamu.” Jani menjawab dengan tenang. Ekspresinya tampak datar, berbeda dengan Ares yang sudah mengeluarkan banyak ekspresi wajah sejak pembicaraan mereka tadi. “Saya bahkan baru kemarin malam nonton series kamu, hanya satu episode karena saya kurang suka genrenya.”
“Apa lo lagi ngehina kerjaan gue?” Ares menatap Jani tidak percaya. “Maksud lo series gue jelek sampai lo aja nggak suka, gitu?”
“Saya tidak bicara begitu.”
“Damn it!” Ares mengibas tangannya. Lelaki itu memang punya kontrol emosi yang kurang baik. Gampang sekali meledak-ledak, tetapi kemampuan akting Ares benar-benar banyak membantunya untuk menutupi kelemahannya tersebut. “Gue semakin nggak mau nikah sama lo.”
“Ya sudah kamu tinggal bilang sama Eyang kamu dan orang tua saya.”
“Menurut lo gue bakal nyuruh lo kalau gue bisa lakuin itu sendiri, hah?” Ares benar-benar tidak menahan volume suaranya lagi kali ini. “Kalau gue bisa bilang ‘nggak’ ke Eyangti, gue nggak bakal ada di hadapan lo saat ini sekarang!”
Jani tidak menjawab ucapan laki-laki itu lagi kali ini. Jujur, Jani kecewa. Bukan hanya punya kepribadian yang ternyata kurang baik, Antares Pramudya Hadinata ternyata tidak lebih dari sekedar laki-laki bermuka dua.