This part containing 18+ content but non-explicit.
.
.
.
“Babe ngh yes, babe, yeah hit me there!” Suara perempuan itu meninggi, nyaris menjerit saat Ares bergerak semakin cepat di atasnya, hingga kemudian seluruh kukunya tertancap di punggung telanjang Ares dan bola matanya berputar ke atas menyisakan hanya warna putihnya saja.
Tiga hentakan lagi dari Ares, sampai akhirnya Ares pun menyusul perempuan itu mendapatkan kenikmatan hebatnya. Ares melesakkan wajahnya di leher perempuan itu, menghirup aromanya yang seperti anggur mahal dan mawar yang mampu membuat Ares seolah terbang menuju ke lapisan langit ke tujuh.
Ares tidak tidak melebih-lebihkan kalau dia dijuluki God of s*x. Ares selalu berhasil memberi siapapun lawan mainnya dalam urusan ranjang sebuah pelepasan nikmat. Bahkan tidak sedikit dari mereka mengalami mind break ketika melakukan percintaan panas dengan Ares. Tidak sedikit perempuan yang selalu ketagihan dan mencoba mengajak Ares untuk tidur dengan mereka lagi.
Sayangnya, Ares tidak pernah meniduri perempuan yang sama lebih dari sekali. Paling minimal dua kali, itu pun biasanya jika mereka memang benar-benar punya chemistry cukup baik di ranjang. Selebihnya, jangan harap. Bertukar nomor ponselpun biasanya akan Ares hindari.
Tetapi pengecualian untuk seorang perempuan berambut sebahu yang saat ini sedang terbaring dengan napas memburu di sebelah Ares.
Satu-satunya perempuan yang tidak pernah mendapatkan kata tidak dari Ares. Satu-satunya perempuan yang akan Ares datangi dalam waktu empat menit meski ia memberikannya waktu sepuluh menit. Satu-satunya yang selalu akan menjadi pengecualian untuk seorang Antares Pramudya Hadinata.
“Tumben manggil gue pakai ‘babe’, kesambet apa lo?” tanya Ares sambil mengancingi kemeja yang baru saja ia pungut dari lantai.
Perempuan itu berguling ke sebelah kiri, merubah posisinya menjadi tengkurap sambil menopang wajahnya dengan dua tangan. “Lagi role playing jadi pacar lo.” Perempuan itu lalu tertawa dengan jawabannya sendiri meski itu bukan lelucon. “Tapi that’s really work, ya? Lo langsung semangat banget abis gue panggil babe and c*m right away.”
“Shut up.” Ares mendesis. “Lo yang bilang ke gue, Jia, nggak boleh bahas apa aja yang udah kita lakuin di kasur kalau udah beres.”
Perempuan bernama Giandrani Hesti Pradipta atau yang lebih akrab dipanggil Jia itu tertawa. “Duh galak banget sih yang besok mau nikah?”
“Ji!”
Jia lagi-lagi tertawa. Padahal perempuan itu tahu betapa Ares membenci soal pernikahannya diungkit. Tetapi Jia tahu Ares tidak akan marah padanya.
Seperti saat dengan Selena saat di L.A waktu itu. Ares tidak segan langsung mengusir perempuan asal Skotlandia tersebut ketika ia mengungkit soal pernikahannya. Lagi-lagi Ares menjadikan Jia pengecualian.
“Loh, bener kan gue?” Jia bangkit dari tempat tidur. Berjalan tanpa sehelai benangpun menuju kursi riasnya untuk memungut kimononya yang diletakkan dengan asal di sana. “Lo bakal menikah besok. Hari ini mungkin bakal jadi hari terakhir I can feel your Big-D inside of me. Nggak ada salahnya gue panggil lo babe sesekali. Atau malah panggilan babe dari gue bisa bikin lo nggak jadi menikah besok?”
“Sinting.” Ares menyumpah sambil mengenakan kembali rolex cosmograph daytona miliknya di pergelangan tangan. “Itu nggak bakalan terjadi.”
Jia berjalan ke arah Ares yang duduk di tepi tempat tidur sambil memasang kaos kaki dan berdiri di hadapannya. “Apanya yang nggak bakalan terjadi? Lo nggak jadi nikah karena gue?”
“Hari ini hari terakhir kita tidur bareng. Menikah nggak bisa ngehentiin gue buat ngelakuin apa yang gue mau.”
“Sinting!” Giliran Jia yang mengumpat sekarang. “Maksud lo, lo mau tidur sama gue even lo udah jadi suami orang? Sorry ya Antares Pramudya Hadinata, gue nggak doyan laki orang!”
“Haha. Lo nggak bilang gitu waktu Sadewo bolak-balik datengin lo setiap berantem sama istrinya.”
“Itu beda cerita!” Jia menaikkan nada bicaranya. Tatapannya berubah tajam dan raut wajahnya pun menjadi serius. “I love him and he loves me, nggak bisa disamain sama kita! We’re just bestfriend, Ares.”
“Lo nggak bisa bilang kata ‘cuma’ di hubungan kita. Kita lebih dari itu since that day.”
Jia tidak langsung menyahut. Memilih menghela napasnya untuk kemudian meraih kerah kemeja Ares yang terlipat tidak semestinya dan merapikannya. “Res, lo tahu gue nggak sleep around sama sembarangan laki-laki. That’s only you and Sadewo. Hubungan gue sama Sadewo udah terlalu f****d up untuk dijabarin, gue nggak mau ngerusak persahabatan kita juga hanya karena masalah title. I love you, you’re my best-best-best friend ever. f**k buddies tuh nggak untuk jangka panjang, Res, gue nggak mau ngelabelin lo sekadar temen tidur gue. Lo, dalam keadaan apapun akan jadi sahabat gue dan itu artinya lebih besar dari sekadar f**k buddies, ngerti?”
Ares tidak tahu harus tertawa atau menangis. Bagaimana perempuan di hadapannya ini bisa sebodoh itu untuk tidak mengerti maksud dari kata-kata Ares. Gue tuh cinta sama lo, Jia, bukan persoalin masalah label dasar bego. Dan tentu saja kata-kata itu hanya terucap di kepalanya saja.
Karena Ares hanya diam saja, Jia menarik jambang Ares yang sedikit panjang hingga lelaki itu menagduh kesakitak. “JIA SAKIT!” serunya galak.
Jia tertawa sebelum kemudian dengan lembut mengusap pipi Ares dan brewok halus yang tumbuh di sekitar rahangnya. “Cukuran lo besok, jangan malu-maluin gue dengan jadi pengantin paling jelek di dunia.”
Ares menepis tangan Jia dari wajahnya. Sepertinya perempuan di hadapannya ini bahkan tidak merasakan kesedihan sama sekali akan fakta bahwa besok Ares akan menikah dengan perempuan lain. Seolah semua itu mempertegas jelas bahwa Jia memang tidak pernah memiliki perasaan apapun kepada Ares selain seorang sahabat.
Hal yang sesungguhnya sudah Ares ketahui sejak lama tetapi selalu coba ia tolak percaya hanya untuk menghibur dirinya sendiri. Sesuatu yang sudah jelas tetapi sengaja ia buramkan demi keegoisannya, percaya jika suatu hari nanti mungkin hati Jia akan luluh padanya.
“Ji, lo beneran nggak mau bilang sama gue buat nggak menikah besok?” Ares bertanya untuk terakhir kalinya kepada Jia ketika perempuan itu mengantarnya ke depan lift. “Gue bakalan batalin kalau lo minta.”
Please Ji, meski itu cuma bohong…
Jia menatap Ares lurus. Biasanya Jia selalu menganggap semua ucapan Ares adalah lelucon dan meresponnya dengan godaan main-main. Tetapi saat ini, Jia seperti sedang memikirkan ucapan Ares dengan serius.
Jia mengambil satu langkah ke arah Ares dan mengecup bibirnya. Hati Ares langsung berpacu lebih cepat. Ada harapan di dalam setiap debarannya. Harapan jika akhirnya Jia menyadari perasaannya dan takut kehilangan Ares dalam hidupnya. Harapan jika Jia, mencintai Ares seperti Ares mencintainya.
“Ji, apa itu maksudnya—"
“Lo harus tetap menikah besok, Antares.” Jia lalu mengulas sebuah senyum. Senyuman cantik yang selalu membuat Ares jatuh dan jatuh setiap kali melihatnya. Bahkan saat ini pun, Ares kembali jatuh akan senyuman itu. “Balik gih, lo nggak boleh sampai telat di hari pernikahan lo sendiri. Besok gue bakal dateng pagi banget buat jadi support system lo, ok?”
Selanjutnya, Ares hanya bisa menatap Jia yang mendorongnya memasuki lift dengan tatapan kosong. Sampai pintu lift tertutup dan kemudian terbuka lagi saat Ares sudah mencapai basement, Ares tahu ia baru saja mengakhiri cinta pertamanya.
Selamat tinggal, Ji.