Rania akhirnya bisa menghela napas lega. Udara malam terasa lebih ringan saat mobil meninggalkan gedung megah tempat pernikahan berlangsung. Lampu-lampu kota berkelebat di kaca jendela, sementara Rania duduk tenang di kursi penumpang. Ia bersandar, matanya menatap jalanan, sesekali mengusap perutnya yang terasa nyeri. Syok akibat pertemuan dengan Rayyan, ditambah tekanan batin karena kebohongan panjang yang ia jaga di hadapan keluarga Prabu, membuat tubuhnya akhirnya protes. Perutnya melilit pelan, dan keringat dingin mulai muncul di kening. “Ra, kenapa?” suara Prabu yang tenang memecah keheningan. “Bisa… berhenti dulu nggak di minimarket? Mau ke toilet.” Rania baru ingat kalau dirinya datang bulan tadi. “Di pom bensin aja ya?” “Nggak mau! Minimarket aja! Ada yang harus saya beli!” sa