Prabu tidak sanggup melihat itu. Jantungnya seperti diremas dari dalam. Napasnya tercekat. Matanya tetap menatap ke arah jendela café itu, tempat Rania duduk—tersenyum—pada pria lain. Dan entah mengapa, senyuman itu terasa begitu berbeda. Lebih hangat. Lebih akrab. Seolah… lebih tulus. Daripada yang pernah ia dapatkan. “Kenapa?” bisiknya pada diri sendiri. Suara itu hancur—dalam, penuh bara yang terpendam. “Kenapa kamu kayak gitu, Ra?” Ia membelokkan mobil ke kanan, menjauh dari café, menjauh dari Rania. Tanpa sadar, kecepatannya bertambah. Lampu-lampu jalan terlihat seperti garis-garis cahaya yang lewat begitu saja. Dan Prabu menggigit rahangnya. Kuat. Matanya tetap fokus ke depan—wajahnya datar, tapi darah di tubuhnya mendidih. Memukul-mukul tulang rusuknya dengan emosi yang tak bisa