Dita tidak bisa tenang. Mobil melaju cepat membelah senja yang mulai menyala jingga, dan hatinya penuh gemuruh yang sulit dijelaskan. Di kursi pengemudi, Tasha masih saja bicara, suaranya tajam tapi tak berniat melukai. “Gue udah bilang, kan. Pak Bram itu bukan milik lo seutuhnya. Dia masih punya yang lain... dan lo juga, masih punya Kevin,” gumamnya sambil menahan kemudi. Dita menatap ke luar jendela, matanya menerawang. “Jangan bilang apa-apa dulu, Tash...” “Gue gak akan diem, Dit. Ini udah keterlaluan. Kalau lo nggak bisa memilih, dua-duanya bakal pergi. Gue takut lo gak siap sama kehilangan yang lo ciptain sendiri.” Dita diam. Hanya menarik napas panjang. Dingin di jendela kaca mobil terasa menusuk, tapi tak sebanding dengan suhu di dadanya yang terus menurun. Begitu sampai di bas