Langkah Davendra begitu cepat saat keluar dari toko kue milik Zara, dan sudah banyak mata pengunjung yang mengetahui jika ia adalah aktor terkenal. Ia menghindari dari para fans yang ingin minta foto bareng atau sekedar tanda tangan, untuk saat ini ia agak enggan menanggapinya. Hatinya yang kecewa membuat bad mood siang itu.
Reza yang melihat dari kejauhan langsung turun dari mobil dan bergegas membukakan pintu mobil untuk pria itu.
“Kita balik ke hotel!” titah Davendra terdengar begitu dingin.
“Baik Pak Dave,” jawab Reza yang turut masuk ke dalam mobil dan memberikan perintah pada sang sopir.
Davendra menarik napas dalam-dalam seraya menatap toko kue milik Zara tersebut dengan tatapan yang amat tajam.
“Bagaimana tadi Pak, ketemu dengan Zara-nya?” Tiba-tiba saja Reza bertanya saat Davendra masih terpaku menatap toko kecil itu.
“Mmm, dia ada, tapi hasilnya zonk. Dia katanya tidak ingat kejadian itu saat saya tanya,” jawab Davendra dengan nadanya yang terdengar putus asa.
Reza yang kebetulan duduk di samping Davendra menolehkan wajahnya. “Mungkin Zara benar-benar lupa Pak, mau dipaksakan seperti apa pun pasti hasilnya akan sama. Ingat orang tidak selamanya kuat, kadang kejadian dua bulan yang lalu saja bisa cepat lupa. Bagaimana dengan kejadian lima tahun yang lalu? Tidak menutup kemungkinan jika ingatan orang semakin melemah. Tapi sebenarnya apa yang Pak Dave cari jika sudah tahu siapa wanita yang menghabiskan waktu bersama Pak Dave?” tanya Reza dengan sangat hati-hati, karena sudah masuk area privacy bosnya.
Davendra tercenung dengan pertanyaan Reza. Apa yang ingin ia lakukan sebenarnya? Jika Davendra seorang wanita wajar jika ia menuntut pertanggungjawaban, tapi ia pria. Apa ingin minta pertanggungjawaban pada wanita itu, tindakan konyol! Atau hanya ingin sekedar tahu saja?
“Apa Pak Dave ingin minta tanggung jawab? Atau hanya sekedar ingin tahu saja?” tanya Reza semakin penasaran.
Davendra agak terkekeh pelan dengan memalingkan wajahnya ke depan. “Saya ingin memberikan pelajaran pada orang yang telah mengambil kesempatan dalam kesempitan, Reza. Mana mungkin saya minta tanggung jawab. Lagi pula dia yang memiliki kesalahan bukan saya,” jawab Davendra dingin, namun mampu menusuk ke pori-pori.
Reza manggut-manggut seakan memahaminya. “Tapi kalau Zara tidak ingat, lantas mau dicari ke mana orangnya Pak? Mungkin ada baiknya lupakan saja, apalagi sudah lima tahun berlalu dan tidak ada yang datang menemui Pak Dave. Berarti ia sadar diri atas kelakuannya. Dan, maaf, pikir saya kalau sampai ada yang datang mengakui sebagai pelakunya, apakah tidak membahayakan hubungan Pak Dave dengan Camilia? Satu lagi, pertimbangkan dengan reputasi Pak Dave selama ini, kemungkinan bisa menjadi konsumsi publik,” imbuh Reza.
Davendra menatap assitennya kembali dengan agak menyipitkan matanya, seakan mempertimbangkan ucapan Reza.
“Saran saya sebaiknya pikirkan kembali Pak. Anggap saja tidak pernah terjadi, dan semuanya sudah berlalu. Cukup saya yang tahu, dan mengenai Zara sebaiknya tidak usah ditemui kembali. Nanti dia ikutan curiga, kemudian kalau mulutnya lemes bisa bahaya, bercerita ke beberapa orang, ujung-ujungnya nanti ada yang blow up ke media,” pinta Reza.
Pria itu mendesah, kemudian meminta pangkal hidungnya. “Haruskah aku melupakannya? Tapi kenapa akhir-akhir ini selalu kepikiran tentang malam itu,” batinnya berkecamuk.
“Akan saya pikirkan saranmu itu,” balas Davendra datar.
***
Sementara itu di hotel. Wanita paruh baya yang baru saja kembali dari supermarket tampak tergopoh-gopoh membawa tas belanja menemui suaminya yang kini sedang santai di coffe shop yang ada di lantai bawah hotel tersebut.
“Mama habis borong apa?” tanya Selim saat melihat kedatangan istrinya.
“Huft, capeknya, hanya beli s**u saja sama coklat,” balas Meyda sembari menjatuhkan bobotnya di kursi bersebrangan dengan suaminya.
“Lagian Mama ini malah ke supermarket, di Jakarta juga masih ada susunya,” ujar Selim sembari membuka tas belanjaan istrinya.
“Mama bosan di hotel, Pah, mending jalan-jalan ke luar. Lagian Dave kayaknya melupakan kita di sini. Dia malah enak-enakan bawa keluarga Camilia jalan-jalan, sedangkan kita tidak diajak,” balas Meyda dengan ketusnya.
Selim Orlando—papanya Davendra, pengusaha dari Turki yang sangat kaya, , hanya mengulum senyum tipisnya melihat istrinya cemberut.
“Mama tidak perlu cemburu dengan anak sendiri. Mama, lihat sendirikan keberadaan keluarga Camilia yang sangat jauh berbeda dengan kita. Jadi biarkanlah anak kita membahagiakan keluarga calon istrinya. Kalau Mama mau jalan-jalan keliling di Bandung, Papa temani, pertemuan Papa sama relasi sudah selesai,” jawab Selim begitu lembutnya.
Ya, keluarga Camilia dari keluarga yang sederhana, namun beruntung memiliki anak yang cantik dan kebetulan beruntung saat terjun ke dunia modelling. Berkat ia terkenal di dunianya, perlahan-lahan Camilia bisa mengangkat taraf hidup dan derajat sosial kedua orang tuanya yang selama ini tinggal di Bandung, sedangkan Camilia semenjak debutnya menjadi model sudah tinggal di Jakarta.
Meyda menarik napasnya dalam-dalam, kemudian melambaikan tangan pada waiters untuk memesan minuman. Usai itu ia menatap suaminya yang masih tampak tampan meski usianya tidak muda lagi.
“Sebenar Mama pingin punya menantu bukan dari kalangan artis, ingin orang yang biasa saja. Tapi anak kita malah memilih seseorang model,” keluh Meyda pelan, lalu ia menatap ke arah luar melalui kaca pembatas.
Meyda menyadari jika jalan hidup anaknya memilih menjadi seorang aktor, meski anaknya juga memiliki bisnis Production House yang cukup terkenal, dan terkadang juga membantu perusahaan papanya yang ada di Jakarta jika Selim harus mengurus perusahaannya di Turki.
“Mah, anak kita kelak yang akan menjalankan rumah tangganya. Apalagi kita sudah memberikan restu untuk mereka berdua, dan ingat usia anak kita sudah 33 tahun. Bukan lagi usai remaja yang harus kita bimbing dan awasi, di usai dewasa itu dia sudah tahu mana yang terbaik buat dirinya sendiri,” imbuh Selim dengan intonasinya yang stabil.
Meyda baru teringat sesuatu, lantas ia mencondongkan badannya ke depan. “Pah, Mama baru ingat. Tadi ke supermarket ketemu sama anak kembar masih TK, wajahnya mirip sekali dengan Dave waktu masih kecil. Jujur, Mama penasaran. Apa hanya kebetulan saja? Sedangkan anak kita belum nikah?” tanya Meyda, bola matanya menatap dalam suaminya.
Selim agak memicingkan matanya sembari mencerna ucapan istrinya. “Anak kembar, mirip Dave?” gumam Selim penasaran. “Mama salah lihat dan salah menilai mungkin?”
Meyda menggeleng cepat. “Mata Mama masih sehat ya Pah. Mama itu sampai terkejut melihatnya, apalagi pas lihat anak yang namanya Nathan, pas senyum mirip sekali dengan Dave. Apa, jangan-jangan anak kita pernah jajan di luar sana?” duga Meyda, lantas ia mengusap dadanya sambil beristigfar.
“Mah, kayaknya kita tidak boleh suudzon dulu. Memangnya Mama udah lihat kedua orang tuanya? Siapa tahu orang tuanya lengkap, dan bukan Dave papanya. Jadi stop lah berpikiran negatif. Mungkin hanya kebetulan mirip, di dunia ini kita memang memiliki tujuh kembaran,” ujar Selim yang tidak mau gegabah menilai sesuatu.
“Kalau begitu dari pada Mama penasaran, mumpung kita belum kembali ke Jakarta, besok Mama mau ke sekolah anak kembar itu. Hanya memastikan saja,” balas Meyda dengan tatapan penuh arti.