Bab 10. Interogasi Davendra

1110 Kata
Davendra baru saja tiba kembali ke hotel bersama Reza dengan segenap rasa kecewanya. Dan dari kejauhan Meyda melihatnya, lantas melambaikan tangannya pada putranya. “Reza, kamu bisa kembali ke kamar atau terserah mau ke mana. Saya mau menemui mama saya dulu,” ujar Davendra sebelum ia berbelok ke sebelah kanan menuju coffe shop. “Baik Pak Dave,” jawab Reza sembari mengangguk paham. Langkah kaki Davendra pun bergegas mendekati meja yang ditempati Meyda dan Selim. “Mah, Pah,” sapa Davendra sembari menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi sebelah mamanya. “Sudah selesai ajak jalan-jalan keluarga tunanganmu itu?” tanya Meyda agak sedikit ketus. “Hanya sekadar makan aja Mah, tidak jalan-jalan. Aku-nya juga udah capek,” balas Davendra seraya membuka kaca mata hitam dan topinya. Meyra meneguk minuman dinginnya terlebih dahulu sebelum berkata. “Ya, kali aja kamu mau nyenengin calon mertua kamu itu.” Davendra melirik mamanya, lalu merangkul bahu wanita paruh baya itu. Ia bisa merasakan ada rasa cemburu dalam kata-kata mamanya. “Ada apa sih Mah?” tanya Davendra dengan lembutnya, lalu mengecup punggung tangan wanita yang telah melahirkannya. Meyda menghela napas panjangnya seiringan lirikan matanya yang agak menyipit. “Dave, Mama boleh bertanya sesuatu dengan kamu, nggak?” “Boleh, Mama memangnya mau tanya apa?” tanya Davendra terbawa perasaan penasaran. Wanita paruh baya itu lantas agak memiringkan badannya agar bisa dekat posisinya dengan Davendra. “Selama ini gosip mengenai kamu yang beredar itu, kamu termasuk playboy, suka gonta ganti pacar. Pastinya kamu pernah melakukan seks bebas ‘kan? Sudah berapa banyak wanita yang kamu tiduri selama ini dan kamu pakai pengaman, nggak?” tanya Meyda dengan tenangnya. Davendra terkekeh pelan. Ia pun mendesah sembari menatap papanya yang ada di seberangnya. Ya, Davendra memang playboy, banyak pacarnya, tapi bukan berarti ia melakukan seks bebas dengan pada wanitanya. Paling se nakal-nakalnya Davendra melakukannya secara oral, maka dari itu saat ia mengetahui dirinya ada di hotel tanpa berbusana dan ada noda darah, hatinya penasaran. Namun, kesalahannya ia tidak langsung mencari tahu, justru menunggu ada yang mengakui perbuatannya. “Eh, Mama ini tanya sama kamu serius. Kok kamu malah tertawa begitu,” ujar Meyda kesal. “Mama ini, masa aku main celap celup ke mereka. Ya, jelas enggak lah, masih main aman kok,” balas Davendra antara jujur dan berdusta. “Oh.” Bibir Meyda membulat, sedikit ada perasaan tenang, tapi kegalauan hatinya kembali datang. “Jadi, kamu nggak pernah sebar benih di mana-mana, ‘kan?” tanya Meyda dengan frontalnya. Alis mata Davendra bertautan. “B-Benih? Ya ... enggaklah. Memangnya ada apa Mah? Sampai sebegitunya pertanyaannya? Kalau aku mau sebar benih pun ... ya nanti pas aku nikah sama Camilia. Nggak mungkin pula aku sebar benih sama wanita yang tidak sesuai dengan kriteriaku. Ada-ada aja, Mama nggak ingat sama kasus si Rizky,” balas Davendra menggeleng kepala. “Dave, Mama kamu tuh barusan ke supermarket. Di sana Mama lihat anak kembar pakai seragam TK mirip kamu. Papa bilang jangan asal menuding, siapa tahu aja hanya kebetulan mirip. Andaikan Dave kebablasan mainnya, pasti sejak dulu sudah ada wanita yang minta pertanggungjawabannya. Tapi sampai detik ini tidak adakan, Mah,” timpal Selim. Degh! Jantung Davendra berdenyut. “Mirip denganku! Anak TK,” batin Davendra bergemuruh tak menentu. “Ya ... ya Pah, mungkin hanya kebetulan saja. Ya, sudah tidak perlu dibahas lagi kalau memang Dave tidak pernah menggauli para kekasihnya. Lagian seks bebas itu dosa Dave, kenapa nggak dari dulu saja kamu menikah!” Meyda mengalah, mengiyakan ucapan suaminya, tetapi dalam hatinya ia tetap akan menyelidikinya biar tidak penasaran. Davendra hanya tersenyum kecut. Lalu ia memalingkan wajahnya ke sudut yang berbeda. “Aku benar-benar harus tahu siapa wanita ada malam itu. Sayangnya Zara pakai lupa! Harus ke mana lagi aku cari,” batin Davendra bergelut sendiri. “Tapi kalau diingat-ingat anaknya tampan dan cantik sekali Pah, mirip sekali dengan Dave, pasti mamanya juga sangat cantik karena anak yang cewek sangat imut kayak boneka, dan mereka sangat sopan saat yang anak cowok tak sengaja nubruk Mama. Mama jadi ngebayangi kalau nanti punya cucu dari Dave pastinya seperti mereka berdua,” ujar Meyda sembari tersenyum tipis. Degh! Kedua kalinya jantung Davendra tersentak, lantas ia menolehkan wajahnya. “Sabar Mah, aku baru tunangan, belum menikah. Atau aku DP dulu sama Camilia?” tanya Davendra tampak kesal. Tangan Meyda menepuk pundak putranya dengan lirikan jengkelnya. “Lahirkan anak dalam keadaan hubungan halal. Lama-lama Mama bawa kamu juga ke pesantren biar kamu ingat sama ajaran agama!” balas Meyda dengan ketusnya. Davendra hanya tergelak tawa dalam hatinya yang semakin kacau. Salah satu tangannya terkepal. “Sepertinya aku harus cari cara agar Zara ingat.” *** Hari menjelang sore, Zara menepati janjinya untuk pulang cepat agar bisa bermain dengan anak kembarnya. Dengan membawa tentengan plastik berisi kue dari tokonya, Zara memanggil kedua nama anaknya penuh semangat. “Hole ... hole, Mommy puyang,” sahut Nathan dari dalam rumah, disusul Nala, dan kaki mungil mereka berlari kecil menuju pintu. “Assalammualaikum, anak Mommy yang ganteng dan cantik,” sapa Zara, ia langsung memeluk si kembar secara bersamaan. “Waalaikumcalam, Mommy,” jawab Nathan dan Nala dengan suaranya yang masih cadel. “Mommy, ada Ante Hesti atang,” lapor Nala sembari menolehkan wajahnya ke belakang. Wanita berparas ayu itu melambaikan tangannya saat mereka berdua beradu pandang. Zara pun tersenyum pada sahabat SMA-nya yang sangat luar biasa. “Datang kok nggak kasih kabar sih?” tanya Zara saat usai mengurai pelukan si kembar, lantas ia bergantian cipika-cipiki dengan Hesti. “Aku dari dinas di Jakarta langsung ke rumah kamu loh, Zar. Kangen sama si kembar,” balas Hesti jujur. “Terus, kamu nggak kangen aku dong?” tanya Zara dengan mengedipkan matanya. Tersenyum lebar’lah bibir Hesti, kemudian kembali memeluk sahabatnya itu. “Kamu baik-baik saja ‘kan? Dia tunangan,” bisik Hesti, lalu ia mengurai pelukannya. Sudut bibir Zara melengkung tipis. “Yang seperti kamu lihat sekarang, aku baik-baik saja. Dan, akan tetap seperti ini. Bukankah selama ini aku tidak pernah minta tanggung jawab padanya. Hanya saja—“ jeda sejenak. Bersamaan itu ponsel yang ia simpan di dalam tas berbunyi. “Sebentar Hes, aku terima telepon dulu, takutnya dari costumer toko. Dan minta tolong ajak anakku makan kue ya. Aku udah bawa kue nih,” pinta Zara sembari menunjukkan kantong yang ia bawa sebelum menerima panggilan telepon. “Oke,” balas Hesti, gegas mengajak si kembar ke ruang tengah kembali. “Assalamualaikum,” sapa Zara saat menerima panggilan telepon yang tidak ia kenal. “Berapa banyak uang yang kamu inginkan agar mengingat siapa wanita malam itu, Zara,” sahut pria yang menelepon Zara. Wajah wanita itu mendadak pias, kemudian menarik ponselnya dari daun telinganya. “Pak Dave!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN