20: Larilah, Giorsal! [A]

1003 Kata
“TIDAAK! AAAAKKH! TOLOONG! AAAAAAAKKH! JANGAAN! AAARRKH! HAAAAKKH! AAAAAAAAAAARHKH!!!” “HAAAARGGHH! KHAAARGH! HYAAAAGGHH! KHAAARGGHHH! HIIIRRGH! HIYAAAAAGH! THAAARRGH! HAAAAISSRGH! HAAAAAAKRGHH!!!” PRAAANK! CRAAANK! TRAAANK! PRUUNK! PTANK! PRAK! PRAK! PRAUUK! PRAK! CYAASH! GDUM! PRAASH! BRAAGH! BRUUGH! TRIIING! TREENG! BRUGH! BRAGH! BRESS! BAAM! BAASH! BRUUAKH! BRAUUKH! BRAASH! GDBAM! GDBUM PRAANG TRAAANG!!! * Tidak seperti malam sebelumnya yang ia lewati dengan tentram dan bisa beristirahat dengan ”tenang”. Sepanjang malam yang kali ini mau tidak mau harus Gio lewati dengan penuh ”kegaduhan”. Tentu bukan tipikal kegaduhan ”biasa”. Seperti bunyi nyanyi-nyanyian atau suara mesin las yang memekakkan telinga. Namun, suasana baru yang ia hadapi lebih terasa seperti semalaman berada di tengah medan perang. Teriakan demi teriakan. Baik dari suara laki-laki maupun perempuan. Terus saling bersahutan membuat semakin gaduh waktu yang seharusnya tenang. Waktu yang ingin ia nikmati dengan kebahagiaan. Malah berakhir diberi latar belakang suara konflik rumah tangga orang. Menyebalkan. Hingga pukul lima pagi. Gio sama sekali belum berhasil tidur dengan lelap. Sepanjang malam saat ia berusaha tidur selalu saja muncul suara yang mengembalikan kesadaran. Padahal hari ini ia masih harus kembali ke pasar untuk membeli banyak kebutuhan penunjang kehidupan. Tak mungkin juga ia hanya menyediakan mie instant sebagai bahan baku pangan. ”Bukalah kedua matamu, Giorsal! Kehidupan yang indah tidak akan datang jika kamu terus bermalas-malasan,” ucapnya dengan kedua mata masih belum kuasa terbuka sempurna. Dengan malas-malasan ia bangkitkan tubuh. Pergi ke kamar mandi bebersih diri. Makan pagi dengan s**u UHT, selai cokelat, juga roti isi. Mengenakan pakaian rapi dan siap kembali menjalani hari yang telah sekian lama dinanti. * Akhir-akhir ini kehidupan Gio banyak diisi dengan kesendirian. Ditambah kini ia hidup di lingkungan yang tidak begitu ramai. Mungkin sesekali seperti kemarin memang ada beberapa orang warga melakukan aktivitas mereka di jalan hingga menambah semarak lingkungan. Tapi, di luar itu yang bisa ia saksikan hanyalah situasi super sepi. Sampai membuat ia berpikir hanya ia yang ada di sana. Padahal tadi malam berisik sekali. Saat terang begini sepinya malah seperti di kuburan, batinnya saat sedang berjalan hendak ke pasar tadi. Ia bisa jadi sangat terganggu seperti ini karena hal itu memang ganjil. Mungkin memang tidak terlalu aneh untuk di sebuah kampung atau semacam perumahan, cluster, sepi di siang hari. Tapi, sesepi sepinya juga tidak akan benar-benar tanpa suara begitu, ’kan? Betapa kontras situasi yang ia hadapi saat malam dan siang hari lah yang membuat Gio merasa tidak nyaman. Juga canggung. Padahal ia telah berusaha memperkenalkan diri sebaik mungkin pada para tetangga baru. Tapi, respon yang ia terima sebenarnya tidak begitu sesuai dengan ekspektasi. * “Permisi, Bu. Saya penyewa baru di rumah kecil yang ada di depan rumah besar berwarna hijau. Salam kenal,” ucap Gio seraya memberikan satu kotak berkat. Wanita dengan tampang suram itu menerima tanpa mengucapkan terima kasih. Setelah itu bertanya, “Siapa nama kamu?” “Gi, Gi, Gio, Bu,” jawab Gio sedikit kagok. Ia balik tanya, ”Kalau boleh saya tau ini kediaman Tuan dan Nyonya siapa, ya?” ”Nama lengkap kamu siapa?” respon si Ibu-ibu dengan nada suara datar. Bukannya menjawab malah bertanya lagi. Hhh. “Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Junior, Bu. Kalau Ibu send…” Kali ini bukannya menjawab ia malah membalik tubuh. Dan berjalan kembali ke dalam rumah. Tanpa mengucapkan satu patah kata pun. Walau (sangat) kesal. Gio berusaha menabahkan diri dan hanya berharap mendapat sambutan yang lebih baik di rumah selanjutnya. ”Perkenalkan, Pak. Saya Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Junior. Baru saja pindah ke rumah sederhana yang ada di depan rumah besar berwarna hijau,” ucap Gio di rumah selanjutnya. Sekalian saja ia perkenalkan diri secara lengkap. Untuk menghindari respon kurang menyenangkan seperti sebelumnya. Bapak-bapak yang tampak ramah itu menerima kotak berkat dari tetangga barunya dengan senyum simpul. Memberi respon, ”Yah, selamat datang ya di kampung Tangga Teparo. Lingkungannya memang seperti ini. Dibiasakan saja. Semua normal, kok,” nasihatnya. Mendapat respon ”sebaik” itu untuk pertama kali. Gio merasa jauh lebih baik. “Terima kasih banyak atas ucapannya, Pak. Kalau saya boleh tau nama Bapak sendiri?” tanyanya. Pria itu malah mengayun-ayunkan telapak tangan. Menjawab, “Itu bukan hal yang penting di lingkungan ini.” ”Ke… napa?” tanya Gio. Tak mengerti. “Nanti juga kamu akan tau sendiri,” jawab si Bapak-bapak. Gio kembali mengernyitkan dahi. Usahanya untuk menjadi lebih akrab dengan tetangga baru dengan memberikan mereka kotak berkat perkenalan. Tampaknya tidak berakhir seperti yang ia harapkan. Saat itu… tiba-tiba wajah Gio Sr. terlintas di kepalanya. Wajah Gio Sr. yang berakhir memberi ia izin. Untuk pergi meninggalkan kediaman besarnya. Ke sebuah tempat di mana semua merupakah hal baru. ”Aku tidak akan menyesali apa pun… Aku tidak akan menyesali hal ini… Aku tidak akan menyesali apa pun… Aku tidak akan menyesali hal ini… Aku tidak akan menyesali apa pun… Aku tidak akan menyesali hal ini…” ulangnya berkali-kali dengan suara pelan. Berusaha memberi afirmasi positif yang bisa memperbaiki perasaan. * Sekitar pukul empat belas. Gio tengah duduk tanpa tenaga di sebuah rumah makan sederhana pinggir jalan. Ia duduk di meja dan kursi yang berada tepat di samping jendela. Alhasil sambil menikmati hidangan makan siang. Ia juga disuguhi pemandangan jalanan dan kehidupan masyarakat di luar sana. Sebuah potret yang cukup berbanding terbalik. Dengan suasana sepi ganjil kampung Tangga Teparo. Wess… woss… wess… Sungguh suasana yang belum ditinggalkan saja mampu buat hati terasa rindu. Gio tidak ingin pergi dari sana dan kembali ke komplek perkampungan yang entah mengapa. Bukan hanya lingkungannya. Namun, para warga terutama tetangga juga. Semuanya sangat tidak biasa. Bukan tidak biasa dalam artian baik tentunya. Gio hanya tidak ingin kembali ke kampung itu. Saking enggannya sampai bisa-bisanya semua itu membuat ia rasakan rindu. Kala melihat beberapa foto kediaman Gio Sr. yang tersimpan di album ponsel cerdas. Ia membatin, sepertinya lebih baik aku kembali saja deh ke rumah Papa. Aku tidak merasa punya pilihan lain. Tidak bisa juga kan terus jalani hidup seperti ini. Belum apa-apa memutuskan menyerah pada situasi yang terjadi. Akankah ia putuskan untuk lari?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN