20: Larilah, Giorsal! [B]

1135 Kata
Segera ia tampari kedua pipinya. Plak! Plok! Plak! Plok! Plak! Plok! “HUSH! Jangan asal bicara kamu! Kamu belum boleh menyerah, Giorsal! Baru juga dua malam hidup sendirian sesuai yang selama ini selalu kamu harapkan. Masa sudah mau kembali lagi ke rumah itu. Memang kamu ingin bertemu lagi dengan Adisti dan dua anak perempuannya yang sok suci? Memang kamu mau menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana Gio Senior selalu berlaku tidak adil padamu? ”Memang kamu mau kembali ke masa lalu yang tidak menyenangkan itu, Junior?” tanya Gio dalam suara yang lebih pelan pada diri sendiri. Samar-samar ia mampu melihat pantulan wajahnya di kaca jendela. Wajah yang tidak lagi bersedia ”gagu” seperti anak ayam. Dalam mengikuti keputusan orang lain di hidup yang ia jalani. Lelah berdiri tegak ia mulai menopang salah satu bagian wajah di atas meja. Sambil menyeruput es jus buah naga di gelas tinggi ia memutar kembali ingatan tentang apa yang baru ia alami. Hal yang tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi kemarin. Sebuah respon ”aneh” saat mendengar nama kampung Tangga Teparo. * Saat di toko elektronik Sinar Harapan. ”Total berapa?” tanya Gio setelah berbelanja seluruh kebutuhan elektronik rumah sewaannya di satu toko elektronik yang tampak paling besar serta lengkap di sekitar sana. ”AC tiga koma enam juta rupiah, televisi tiga koma tujuh juta rupiah, mesin cuci tiga koma delapan juta rupiah, oven satu juta seratus ribu rupiah, setrika dua ratus dua puluh lima ribu rupiah, bel pintu seratus lima puluh ribu rupiah, vacuum robot seratus tujuh puluh lima ribu rupiah, dan colokan lima lubang panjang kabel lima meter dua buah empat puluh ribu rupiah total dua belas juta tujuh ratus sembilan puluh ribu rupiah, Mas,” jawab si pemilik toko. Seorang bapak-bapak bertubuh gendut dengan perut buncit yang membuat sampai satu kancing kemejanya tak bisa ditutup. ”Bisa pakai kartu?” tanya Gio. Pria itu menganggukkan kepala dan meraih kartu di tangan si pelanggan. Dalam waktu singkat transaksi pun selesai. Gio berkata, ”Tolong kirim ke kampung Tangga Teparo.” Ia menyerahkan selembar kertas kecil bertuliskan alamat. ”Ke alamat ini.” Namun, pria itu yang tadi berwajah biasa saja auto pucat pasi. Kala mendengar nama kampung Tangga Teparo. Sayup-sayup Gio mendengar pria itu berkata pada seorang pegawainya, “Kamu suruh saja orang lain. Mahal sedikit juga tidak apa-apa. Jangan sampai ada orang kita yang pergi ke sana.” ”Siap, Mas.” Gio yang tidak mau ambil pusing. Hanya sedikit geleng-geleng kepala berusaha menyingkirkan pikiran buruk yang mulai kembali menghantui perasaan. Ia putuskan segera beranjak menuju toko selanjutnya. * Saat di toko peralatan rumah tangga Keluarga Sejahtera. “Totalnya tiga juta tujuh ratus lima puluh ribu ya, Mas. Kami menerima pembayaran lewat cash, debit, kredit, maupun lewat aplikasi electronic money,” ucap seorang perempuan muda penjaga kasir. Oh, toko ini jauh lebih modern. “Debit saja.” “Belanjaannya ingin dibawa sendiri atau diantarkan? Ongkos antarnya gratis selama masih berada dalam lingkup tiga kilometer dari toko,” tanya perempuan itu ramah. Super ramah dengan senyum lebar selalu terukir di wajah. Gio tanpa pikir panjang pun menjawab, “Kampung Tangga Teparo…” Senyum lebar di wajah perempuan itu dalam sekejap berubah jadi senyum hambar. Ia menoleh melihat seorang teman. Berbisik (tapi masih kedengaran), ”Kita suruh orang saja, ya.” Ia kembali melihat Gio dengan tatapan ala super saleswoman yang sebelumnya. “Terima kasih banyak telah berbelanja di toko kami. Kami tunggu kehadirannya kembali.” Gio hanya tersenyum tipis. Memutuskan segera melanjutkan perjalanan belanjanya saja. Kalau sampai di toko selanjutnya ia masih mendengar aroma tidak enak soal lingkungan tempat ia tinggal… ”Lebih baik selanjutnya belanja online saja deh untuk kebutuhan yang lain. Ya kali aku betah mendengar gelagat tidak enak seperti itu terus dari semua toko yang kudatangi,” pikirnya pelan. * Dan benar saja. Sesampai di toko ketiga sekaligus yang terakhir aku masih mendapat respon serupa. Sepertinya aku harus mulai mencari toko online yang bisa dipercaya, batin Gio seraya menggeser-geser layar gawai. Setelah menghabiskan minuman ia ingin segera pulang. Walau berbelanja kebutuhan di dunia maya bukanlah hobinya. Untuk kali ini saja ia akan coba meski tak biasa. Semoga tidak ada hal aneh lagi terjadi, harapnya dalam hati. Harus ia akui selama ini sendiri ia bukanlah seseorang yang taat dalam menjalankan perintah agama. Apalagi dekat dengan Tuhan. Pergi ke misa besar di gereja yang hanya satu kali dalam seminggu saja jarang. Melantunkan Doa Harian, Doa Rosario, Doa Novena, dan Doa Lingkungan juga tidak pernah. Di umur segini saja aku belum menjalani Sakramen Krisma (Sakramen Penguatan yang biasa diadakan saat seorang berusia minimal delapan belas tahun), sesalnya. Tak bisa ia bayangkan jika harus mengalami “sesuatu” sebelum melalui semua itu. Dan lagi Gio Sr. sendiri bukanlah seseorang yang taat beragama. Yah, keluarga Giorsal Dhika Senior rasanya semua sama saja. Kecuali Sang Bunda yang memang paling taat dalam menjalani berbagai macam ritual keagamaan. Begitu terpisah dengannya. Jujur saja Gio merasa keberadaan Tuhan semakin mengabur bersamaan dengan iman yang menguap entah ke mana. Apakah Tuhan masih bersedia mengampuni serta melindungi aku setelah segala kesalahan yang telah aku lakukan, tanyanya dalam hati. Saking seriusnya memikirkan banyak hal. Ia sampai tidak sadar jika langkahnya telah sampai di gapura depan kampung Tangga Teparo. Satu-satunya akses masuk kampung yang ia ketahui. Tep. Langkahnya terhenti saat itu juga. Satu langkah setelah masuk ke dalam gapura. Langit yang tadinya terang benderang karena hari memang masih cukup siang. Tiba-tiba berubah jadi sangat gelap seperti sudah tengah malam. Sekujur tubuhnya seperti telah dikunci persendiannya. Tak bisa bergerak sama sekali. Aku ingin berlari… Aku ingin berlari… Aku ingin berlari… Hanya itu yang bisa Gio pikirkan seraya berusaha keras terus melangkah. Keringat deras mengucur membasahi sekujur tubuh. Ia bahkan tak bisa bersuara kala melihat beberapa pria yang tampaknya warga sana lewat di sisinya. Bersikap seolah semua biasa saja. Sepertinya tidak akan ada gunanya menanyai mereka juga, batin Gio apatis. Masih terus berusaha menggerakkan tubuh walau sangat kesulitan. Ia jadi seperti orang yang habis terkena penyakit syaraf. A, A, Ada yang tidak beres dengan tempat ini. Dengan mereka semua. Aku harus segera pergi atau… atau… atau… Bruuukh. Semua orang di sekitar Gio yang tadi bersikap ”biasa” saja. Mulai terdiam dan menoleh ke arahnya dengan pandangan mata hampa. Aku… Aku harus… segera pergi… dari… Gio hanya bisa berkata terbata-bata dalam hati. Sekujur tubuh seolah lumpuh. Namun, kedua pandangan mata masih awas. Menyaksikan bagaimana para penduduk kampung itu mulai mengerubungi tubuhnya yang tak berdaya. Memberi tatapan seolah ia seonggok daging tak bernyawa. Keluar. Atau gila. Keluar. Atau hilang kewarasan. Keluar. Atau tidak lagi menjadi manusia. Keluar. Atau kehilangan segalanya saat ini juga. Keluar. Atau gila! Keluarkan aku dari tempat ini! Lepaskan aku! AAAAAAAAAAAAAAAAKKKKHHHHH!!!!!!! ”…” ”Sekali masuk k tempat ini tidak akan ada jalan keluar, anak muda…”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN