21: Fantasi Di Pagi Hari

2096 Kata
”HAAAAA... AAA... AAAKKHH!!!” pekik Gio sampai terputus-putus. Kala kembali tersadar dari tidur ”lelap”. Sekujur tubuh pemuda itu basah kuyup oleh keringat. ”Entah” berasal dari mana. Pasalnya suasana di sekitar sana pun saat itu terasa cukup dingin. Hingga mampu mendirikan seluruh bulu kuduk. Tapi, sesuatu seperti tengah terbakar di dalam dirinya. HAAAKKH… HAAAKKH… HAAAKKH… Kedua bola mata Gio hanya bisa terbelalak sembari melihat selimut yang menutupi separuh bagian tubuh. Dalam hati bertanya-tanya, sampai kapan hal seperti ini akan terus terjadi? Ia berdiri dan dengan langkah gontai berjalan menuju ruang tamu. Ketika ia buka pintu. Terlihat beberapa barang kiriman dari kediaman Gio Sr. sudah sampai. Bukannya senang dan langsung membawa masuk beberapa buah kotak kardus hingga kayu itu. Gio malah membanting pintu. BLAAM. Setelah itu berjongkok di balik pintu seraya mengawang-awang langit-langit yang berwarna putih. Pikirannya. Ingatannya. Kenangannya. Realitas juga bayangannya. Tiba-tiba semua jadi sesuatu yang begitu ambigu. Apa yang sudah terjadi kemarin? Di mana latar ingatannya yang terakhir? Sepertinya ada mimpi yang dia lupakan. Tapi, apakah itu mimpi? Apa jangan-jangan kenyataan yang tanpa sadar ia proses dalam otak sebagai halusinasi? Halusinasi fiksi? Realita fiksi? Di mana kenyataan dirinya saat ini? Gio mendirikan tubuh dan perlahan mulai melangkah. Berusaha meraba-raba udara yang tidak ada wujudnya. Berusaha keras menggapai sesuatu yang tak mampu ia ketahui apa itu. Di mana aku? Di mana ini? Siapa aku? Apa yang sudah terjadi padaku? Kenapa semua ini harus terjadi padaku? Tolong aku! Tolong aku! Tolong aku! “Tidak akan ada satu orang pun yang menolong kamu, Giorsal,” ucap ”seseorang” dari belakang daun telinganya. Mengucapkan kata-kata dengan suara lembut. Zreet. Gio segera membalik badan. Tidak melihat siapa pun atau apa pun ada dalam pandangan. Ia merasa akan benar-benar kehilangan kewarasan. Ketika batasan antara kenyataan dan khayalan mulai menghilang. Seperti ditelah oleh kegelapan. ”JANGAN, GIORSAL MAHA SAPUTRA ISWARI DHIKA JUNIOR!” teriaknya saat menyadari bahwa kesadarannya nyaris hilang lagi. Hilang kesadaran bisa jadi sama dengan kehilangan memori untuk saat ini. Dan merubah apa saja yang bisa terjadi nanti. ”A, Aku… harus tetap berdiri. Aku mohon, Giorsal Junior, kamu harus menguatkan diri,” usahanya kembali memberi afirmasi positif pada pikiran. Sekalipun sangat berat. Sekalipun harus dilalui dengan tubuh yang hanya bisa merayap. Ia kembali mendekati pintu depan. Cklek. Membukanya. Dan membawa masuk barang-barang kiriman dari rumah utama. Duduk bersila di tengah ruangan. Di antara beberapa kotak berisi pakaian serta koleksi alat tulis. Ia memegang gunting dan silet. Siap membongkar semua. ”Sepertinya kemarin aku sudah membeli beberapa alat elektronik juga rumah tangga untuk menyimpan ini semua. Kenapa kelihatannya belum datang, ya?” tanya Gio dengan sekujur tubuh yang masih terasa aneh. Ia yakin beberapa saat lalu tubuhnya masih terasa cukup segar. Namun, sekarang tanpa alasan tiba-tiba terasa seperti habis dipakai berlari ratusan kilo. Pltek pltek pltek. Ia renggangkan beberap bagian tubuh yang terasa pegal. Perasaannya sungguh tidak enak. Padahal belum ada satu minggu ia tinggal di rumah dan lingkungan itu. Tapi, “sepertinya” sudah banyak sekali pertanda bahwa ia tak akan bisa bertahan lebih lama. “Karena aku tidak mau jadi anak manja yang tidak nyaman sedikit saja langsung pindah. Aku akan bertahan sebentar lagi di sini. Mungkin satu minggu sampai satu bulan ke depan. Kalau sudah begitu hidupku masih tidak jelas lebih baik pindah saja. Kalau perlu aku beri uang pada siapa pun yang menyewakan rumah di lingkungan sial ini.” THEK THEK THEK. Gio mendengar suara seperti kentungan bambu yang diketuk sangat ramai berkali-kali tengah melewati depan rumah sewaannya. Penasaran ia mengintip keluar. Tampak beberapa anak berseragam sekolah yang tengah berjalan bersama lewat depan sana sambil asyik bercengkrama. Perasaan Gio tiba-tiba terasa jauh lebih baik melihat mereka. Menunjukkan bahwa memang tidak ada yang salah dengan lingkungan itu. Mungkin hanya dianya saja yang terlalu paranoid karena habis mengalami kejadian tidak mengenakkan di rumah. Ia bergegas keluar untuk menghampiri empat orang anak laki-laki berseragam SMP itu. ”Dek, Dek, Dek,” panggilnya. Salah satu dari mereka menghentikan langkah. Disusul tiga teman yang lain. Menoleh dan merespon, ”Ada apa, Bang?” Gio menyipitkan mata. Masih berusaha meyakinkan diri bahwa semua anak remaja di depannya itu nyata. Bukan imajinasi belaka. Ia pun bertanya, ”Kalian sekolah di mana?” Salah satu anak yang berdiri paling pinggir menunjuk ke suatu arah. ”Di SMPN 01 Tangga Teparo, Bang. Ada keperluan apa, ya?” tanyanya balik. Oke, nama sekolahnya terdengar normal. Pasti tidak ada yang aneh dengan itu. ”Maafkan Abang, ya. Abang kan baru pindah ke sini, ya. Jadi belum tau kalau mau beli sarapan kira-kira di mana.” Namun, respon yang cukup tidak biasa malah ia terima. Keempat anak remaja itu saling mendekat dan membisikkan sesuatu. Bagai tengah membicarakan sebuah rencana rahasia untuk menguasai dunia. Otomatis sikap mereka membuat Gio jadi canggung sendiri. Bertanya dalam hati, apa aku habis menanyakan hal yang aneh, ya? Salah satu dari mereka yang tampil mengenakan kacamata pun tersenyum ramah melihat si pemuda. Menjawab, ”Kalau makan pagi di sekitar sini tidak ada yang jualan, Bang. Kalau mau sarapan enak dan harga terjangkau ada banyak di sekitar sekolah kami,” beritahunya. Kedua mata Gio auto berbinar. Bagus sekali jika akhirnya ia bisa menikmati suasana ramai. Di lingkungan yang… tidak biasa itu. Setelah mengangguk setuju. Gio segera mengambil dompet di dalam rumah. Mengunci pintu depan. Dan siap menyongsong kehidupan. Sesampai di lokasi tempat sekolah para anak remaja itu berada. Benar saja. terdapat keramaian yang begitu menenangkan jiwa. Keramaian yang pertama kali ia jumpai sejak berada di lingkungan itu. Dengan kepercayaan diri Gio pun melangkahkan kaki mengikuti mereka yang siap masuk ke dalam gerbang sekolah yang terbuat dari kayu sederhana. ”Kalau gitu kami berempat masuk dulu ya, Bang,” ucap seseorang diantara mereka yang sejak tadi menggunakan topi. ”Eh, kalian pada udah sarapan belum? Biar Abang traktir yuk sebagai ucapan terima kasih,” tawar Gio ceria. Keempatnya saling melihat. Kemudian salah satu dari mereka menjawab, ”Kami semua sudah makan pagi waktu di rumah, Bang. Dan lagi ini sudah mau masuk.” “Kalau gitu kalian makan saat istirahat siang nanti saja. Plis banget mau, ya,” ucap Gio. Cenderung memaksa. Ia memang hanya sedang sangat ingin memberikan sesuatu pada mereka berempat. Empat penduduk kampung yang telah membuka masa-masa bahagia. Menutup segala ketakutan akan masa lalu. Salah satu dari mereka pun tersenyum ceria. Melihat ketiga temannya dan berkata, ”Wah, kalau seperti itu enak, ’kan? Uang makan siang hari ini bisa dipakai untuk main di warnet pulang sekolah nanti.” Nah, iya, iya, iya. Seperti itu. Anak-anak remaja yang sungguh normal. Suka main video game di warung internet karena tidak punya komputer sendiri di rumah. Terima kasih, Tuhan. Terima kasih banyak, batin Gio merasa sangat puas. Singkat cerita semua pengalaman kurang enak yang ia alami beberapa hari terakhir sejak tinggal di kampung Tangga Teparo hanya semacam… sindrom selamat datang. Ketiga temannya pun menganggukkan kepala tanda setuju. Melihat terdapat beberapa penjual menu makanan khas sarapan rakyat Indonesia di sekitar sana: lontong sayur, nasi uduk, nasi kuning, nasi rames, nasi campur, nasi goreng, nasi pecel plus bakwan, nasi jagung, nasi telur, nasi krawu, nasi liwet, nasi ponggo tegal, nasi gudeg, bubur sumsum sampai bubur ayam, soto ayam, juga gorengan semua ada. Lengkap. Membuat lokasi jalan itu tak ubahnya sebuah pasar kuliner sarapan. Gio berkata lagi, ”Kalian boleh pesan apa saja. Mau berapa porsi juga akan Abang belikan.” ”Abang orang kaya, yah?” tanya si anak remaja berkacamata. Gio tersenyum tidak enak. Menjawab, ”Yah, Abang kan sudah dewasa.” “Apa kalau sudah dewasa kita akan jadi kaya?” tanya seorang anak lagi saat mereka berlima tengah melangkah menuju sebuah gerobak makanan yang disepakati bersama. Ahh, indah sekali pikiran polos kalian. Buat aku lupa semua hal mengerikan itu saja. Terima kasih, Tuhan, batinnya penuh syukur. Ia menjawab, ”Ya yang jelas kalian bisa memiliki banyak hal yang tidak bisa kalian dapatkan saat kecil karena belum bisa menghasilkan uang sendiri.” Akhirnya langkah mereka berlima terhenti di depan sebuah gerobak yang menjual soto ayam. ”Kalian mau ini?” tanya Gio sok berbasa-basi. Keempat anak remaja laki-laki itu serempak menjawab, ”Iya, Bang. Kita mau itu.” Sembari menunggu pesanan usai. Gio pun duduk di bangku kayu panjang. Wajahnya masih sangat positif karena kebahagiaan akhirnya bisa kembali menyaksikan hal normal. Ia akhirnya yakin pada niatan untuk tetap tinggal di sana selama masa perantauan. Aahh, sungguh menyenangkan… “Eh?” respon Gio sangat terkejut kala menyaksikan warna dari cairan yang baru saja si bapak-bapak penjual keluarkan dari dalam kuali yang beruap. Ia tuang ke dalam plastik di atas mangkuk. Sesuatu yang sama sekali tidak terlihat seperti kuah soto. Warnanya sangat gelap dan cukup kemerahan. Kental. Juga mengeluarkan aroma tak ubahnya sampah yang sudah menauh. ”HOOEEEK!!!” Gio memuntahkan cairan asam lambung. Ia amati sekeliling. Melihat bagaimana beberapa orang yang sudah ada di sana sejak tadi. Tengah menikmati sajian yang sama dengan yang ada di dalam kuali. ”Abang kenapa?” tanya salah satu siswa yang ia ajak makan bersama. Di tangannya ia tengah memegang setusuk sate. Alih-alih sate usus ayam atau ati ampela. Yang tertusuk di sebatang lidi itu adalah… “A, Apa yang kamu makan itu?” tanya Gio gemetar. Sekujur tubuhnya gemeletuk ketakutan. Lagi-lagi… Lagi-lagi seluruh pikirannya seperti hilang ditelah oleh kegelapan. Anak remaja itu sekilas melihat sate di tangannya. Mengunyah sesuatu entah apa. Dengan sangat nikmat sampai kuah kecoklatannya belepotan di sekitar bibir. Bbbrr bbbrr bbbrr. Sekujur tubuh Gio serasa membeku. Ia hanya bisa berjalan mundur. Mundur. Mundur. Sampai terpentok meja. Duk. Hal aneh tidak selesai di sana. Ia semakin kehilangan tenaga kala melihat salah satu anak remaja itu tengah bersujud di tanah. Menjilati cairan kental putih kekuningan yang baru keluar dari mulutnya. Begitu penuh kenikmatan. Seolah madu yang ditumpahkan. ”Sluurrpp… sluurrpp… SLUURRPP!!!” Sedikit demi sedikit… Sedikit demi sedikit… Gio menggerakkan tubuh keluar dari kedai gerobakan pinggir jalan tersebut. Sikap dari semua orang… yang di awal ia pikir normal. Ternyata malah ”biasa” saja menyaksikan semua kejadian itu. Mengindikasikan bahwa tidak ada hal baik lagi tersisa di sana. Drap drap drap! Sesampai di jalan lebar ia langsung berusaha berlari sekuat tenaga. Namun, gagal. Usahanya bergerak secepat mungkin dihalangi pemandangan akan penutup yang telah terangkat. Bagaimana begitu banyak orang di sana tengah mengonsumsi sesuatu yang di luar logika. Tiba-tiba ia merasa seseorang menarik salah satu kakinya ke belakang. Sesuatu yang tanpa rupa tanpa wujud. Menariknya kembali menuju sekumpulan… hal aneh itu. Sreeett sreeett sreeett sreeett sreeett sreeett sreeett. ”LEPAS! LEPAS! LEPAS! TOLONG! TOLONG! TOLONG SAYA! HAAAAAAAAAAAKKKHHHHHH!!!!!” pekiknya pada semua orang di sana. Semua orang tersenyum lebar dengan wajah aneh. Bibir yang kedua ujungnya bertemu dengan telinga. Mulut mereka terbuka lebar. Tertawa dengan kencang, ”HA HA HA!!!” ”HA HA HA!!!” ”HA HA HA!!!” Empat orang anak remaja laki-laki. Yang tadi sempat ia anggap penyelamat dari segala hal mengerikan yang telah ia alami. Lagi-lagi… Lagi-lagi hanya sekadar ”fantasi”. Tiga orang pria dewasa menahan kedua tangannya di belakang tubuh. Juga kedua pergelangan kaki yang terus meronta ketakutan. Empat orang anak remaja barusan membawa satu kuali besar berisikan… cairan menjijikkan barusan. Berada di jarak satu meter dari “apa pun” itu saja sukses membuat Gio lagi-lagi memuntahkan cairan asam lambung. Cairan dengan bau menyengat itu kini tumpah ruah mengotori mulai dari pakaian sampai seluruh wajah. Menambah rasa mual akan segala hal. Rasanya ingin menyerah… Tapi, tidak ingin kalah… Rasanya mau menyerah… Tapi, tidak mau kalah… Anak remaja laki-laki pertama yang ia ajak bicara tadi pagi mulai berjongkok di sisi tubuh kot*r tak berdaya Gio. Dengan senyum dan tatapan lembut berkata, “Kenapa Abang melarikan diri? Abang juga harus mencoba makanan nikmat ini. Kan Abang sendiri yang memaksa kami makan di sini.” ”Huaaa… Tidak, tidak, tidak, maafkan Abang, Dek. Tolong! Jangan! Jangan! Jangan! Tolong…” pohon Gio berderai air mata. Kenapa seperti tidak ada ending untuk hal tidak normal yang ia alami di tempat itu? Kenapa hidupnya di kampung Tangga Teparo yang belum genap satu minggu ini saja sudah memberi banyak tekanan untuk jiwa? KENAPAAA???!!! Anak remaja berwajah polos itu mencengkram rahang bawah Gio. Dengan kekuatan yang tak bisa dibayangkan. Memaksanya membuka mulut. Dan… ”HWAAAAAAAAARGHHBLBHHRGHHBLBHH AAAAAAAAARRRGHHHBLLBHHH HEEEUUUAAARRRRRGHHLBH HUUAAEERGGRRGHLHLBH HWAAAAAAARGHHBLBHHRGHHBLBHH HUUUAAARRRRRGHHLBH HAAAUUURRRBGLHBGLHRRGHHLBH!!!” * Teror dan rasa takut terus terjadi seolah tak menemukan akhiran untuk seorang Giorsal. Akankah ia mampu terus bertahan demi impian yang telah sekian lama dipendam? Atau kehororan kampung Tangga Teparo... yang bagaimanapun juga tidak mudah dinalar oleh logika... mampu membuat pemuda itu "angkat tangan"? Semua akan jadi keputusan yang ia ambil sendiri. Demi kehidupan. Juga demi kematian "impian".
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN