5: Kematian dan Ritual [B]

1465 Kata
Wanita berambut panjang itu langsung menunjukkan raut wajah yang tampak sangat khawatir. Ia bergegas membuka tirai dalam jendela untuk memaksimalkan cahaya yang masuk. Ia nyalakan lampu darurat yang ia bawa untuk kembali memberi ruangan itu cahaya ”kehidupan”. Setelah itu ia hampiri si putra majikan yang menyedihkan... ”Jangan sentuh saya!” tolak Gio menarik lagi lengan yang hendak dijamah. Ia tidak ingin disentuh oleh siapa pun. Ia hanya ingin pria tua b******n itu. Muncul di hadapan wajahnya dan memberi kabar. Bahwa ia telah memperoleh “kembali” kebebasannya sebagai manusia. Tidak ada yang lain. Kalau bukan itu yang ingin Tuhan berikan. Lebih baik ia kehilangan nyawa saja sekalian. Ia sudah tidak begitu peduli pada hal konyol bernama kehidupan. ”Mas Gio,” panggil wanita kepala dua itu prihatin. Menatap kondisi si Tuan Muda menyedihkan tak alang kepalang. “Sudah beberapa hari terakhir ini Tuan Gio melarang saya membersihkan atau bahkan hanya sekadar mengunjungi kamar Anda. Beliau bilang Anda sudah tidak ada lagi di kediaman ini. Pergi kuliah ke kota lain.” ”Heh, jadi pria itu mengucapkan sesuatu yang belum pernah dia lakukan,” komentar Gio sinis. Menatap kosong ke arah kolong bawah tempat tidur. Menghirup kotoran yang tempat terabaikan itu ciptakan. Ia tak peduli. Melihat kegelapan menggunakan kedua mata sendiri. Adalah rutinitas baru yang kini mampu memberi ia rasa nyaman. Merasakan kemiripan? ”Tapi, saya tau kalau sebenarnya Anda masih ada di dalam ruangan ini,” ucap wanita itu lagi. ”Dari mana? Apa kamu punya indera keenam atau yang semacam itu?” tanya Gio mengarahkan wajah ke arahnya. Wanita itu menggelengkan kepala. Lantas menjawab, “Beberapa hari lalu saya melihat Nyonya Adisti berdiri di depan ruangan ini. Setelah itu mengacungkan jari tengah di depan pintu. Bersikap seolah ada Anda di baliknya. Hal itu membuat saya sangat curiga.” ”Wanita iblis itu memang benar-benar...” geram Gio lemah. “Saat ini Tuan Gio, Nyonya Adisti, Dik Queenza, dan Dik Cessa sedang tidak ada di rumah,” beritahu wanita itu. Demi apa? Mereka benar-benar pergi liburan saat mengurung aku nyaris mati di tempat ini? Ia bertanya dalam hati. Entah pada siapa pertanyaan ditujukan. Ia bahkan tak mengharapkan jawaban. Karena pasti menyakitkan. “Mereka ingin pergi ke villa Tuan Gio untuk melakukan kunjungan makam tahunan di pusara para leluhur keluarga Dhika,” lanjut wanita itu. Memberi info yang sebenarnya… benar-benar tak begitu ingin pemuda itu dengar. Anak remaja baru dewasa itu kembali membatin, melakukan kunjungan makam tahunan di pusara para leluhur keluarga Dhika? Pria tua itu bersama istri dan dua anak perempuannya? HEI, kamu sendiri bilang bahwa anak laki-lakimu itu hanya aku. Bagaimana bisa aku sendiri bahkan belum pernah diajak melakukan kunjungan makam tahunan itu? Ahh... benar-benar tidak bisa dibayangkan. Aku memang tidak pernah berharap untuk menjadi bagian dari keluarga orang itu. Tapi, mendapat sikap seperti ini saat aku sendiri tidak boleh pergi ke mana pun. Ternyata memang terasa menyakitkan. Dan lagi apa kiranya yang mereka lakukan di kunjungan makam itu, ya? Ziarah, kah? Memang leluhur keluarga Dhika sial ini siapa, sih? Santo, kah? Orang suci, kah? Pahlawan perang perjuangan kemerdekaan, kah? Apa Mother Maria pernah turun di atas batu nisannya? Ada-ada saja. Aku tidak mau peduli lagi, ah. ”Mereka masih akan berada di sana untuk melakukan beberapa macam ritual persembahan. Itu kenapa saya bisa mendapat akses untuk menggunakan kunci pintu kamar Tuan Muda Gio yang ada di ruangan kerja Tuan Gio,” lanjut wanita itu. ”Memang ruangannya tidak dia kunci?” tanya Gio penasaran. ”Yah, bisa jadi Tuan Gio lupa. Tapi, ini kesempatan bagus, ’kan? Lihatlah tubuh Anda. Sangat kurus. Apa Anda diberi makan selama dikurung di kamar ini?” tanya wanita itu. Ah, benar juga. Mungkin ini wujud pertolongan Tuhan. Saat itu tiba-tiba energi yang tidak jelas dari mana asalnya terasa mengaliri sekujur tubuh Gio mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ia merasa begitu hidup! Harapan yang tadi sudah tertelan oleh kegelapan mendadak kembali naik ke permukaan. Ia pun segera bangkit. Pergi ke kamar mandi untu membersihkan tubuh sampai sebersih mungkin. Mengenakan pakaian baru. Memakan hidangan yang dihidangkan oleh si wanita pelayan baik hati. “Dan aku akan siap... menerjang kebebasanku,” ucapnya bangga seraya terus melahap lima porsi nasi padang itu. TA, TA, TA, TAPI! Masalah belum selesai, ‘kan? Bagaimana keselamatan wanita pelayan ini sendiri jika sampai ketahuan oleh Gio Sr. telah menyelamatkannya? Sepertinya bukan hal baik yang akan terjadi, ya. ”Rumah ini sepi sekali. Apa kamu hanya bekerja sendiri hari ini?” tanya Gio di ronde terakhir makan akbarnya setelah sekian lama. Wanita itu menganggukkan kepala. Membenarkan. ”Itu jugalah yang bisa membuat saya lebih leluasa untuk mendapatkan kunci di ruang kerja Tuan Gio. Setelah itu melepaskan Anda,” ucapnya. Gio bertanya lagi, ”Bagaimana kalau pria itu sampai mengetahui apa yang kamu lakukan?” Ia malah balik tanya, ”Kalau Anda sendiri bagaimana?” Gio menjawab, ”Ya kalau aku kan setelah ini bisa melarikan diri ke mana saja aku inginkan. Kalau kamu sepertinya akan lebih kesulitan. Pria itu kan selalu menahan KTP dari setiap orang yang bekerja padanya. Apalagi di kediaman pribadinya. Setauku sih seperti itu. Atau kamu tidak?” ia bertanya lagi. ”Tenang saja, Tuan Muda Gio. Anda tidak perlu khawatir. Saya akan baik-baik saja. Karena yang paling penting sekarang adalah diri Anda sendiri,” jawab wanita itu lembut. Mendengar itu Gio membatin, wah, andai kamu lebih muda. Rasa hati ingin aku kawini saja. Saat itu berbagai macam pikiran yang belum pernah terlintas di kepalanya sebelumnya tiba-tiba bermunculan menyeruak seperti hendak bersatu dengan udara. Sesuatu yang indah. Dan juga seksi. “Kalau begitu setelah ini aku akan pergi,” beritahu Gio seraya mendirikan tubuh. Meninggalkan bekas makannya di atas meja. Sepiring besar yang sudah bersih tanpa satu butir nasi pun tersisa. * Villa pribadi keluarga Tuan Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Sr. Ini bukan kali pertama untuk Adisti dan dua orang tuan putrinya ia ajak pergi ke villa tersebut dan menjalani ritual kunjungan makam tahunan di pusara para leluhur keluarga Iswari Dhika. Ia sendiri tidak begitu paham (dan tidak mau begitu paham juga) pada masalah ”perklenikan” keluarga tempat sumber uang berjalan, uhuk, maksudnya keluarga tempat sang suami belahan jiwa berasal. Adisti hanya menikahi Gio Sr. untuk mendapatkan kehidupan super mewah serta penuh dengan kebahagiaan. Bukan untuk menjadi istri yang harus melakukan berbagai macam kewajiban. Ah, merepotkan juga ya ternyata kalau tiap tahun harus mengadakan ritual aneh tidak jelas begini, batin Adisti kesal. Ia sangat tidak suka kala diajak untuk mengunjungi villa keluarga Dhika milik Gio Sr. Mungkin di bagian atas memang tampak sangat mewah juga besar. Yah, hanya sebelas dua belas lah dengan tipe kemewahan kediaman asli mereka di pusat kota. Tapi, selama melakukan ritual kunjungan makam tahunan di pusara para leluhur keluarga Dhika. Mereka berempat akan jauh lebih banyak melakukan aktivitas di bagian ruang bawah tanahnya. Yang gelap, lembab, tidak ada jendela, dan ada banyak benda beraroma mistis yang tidak ia ketahui apa nama maupun kegunaannya. Sekilas tempat ini terlihat seperti bagian dalam dari suatu katedral. Dengan altar dan kursi uskup. Yang tidak ada paling hanya deretan kursi untuk tempat duduk jemaat. Di awal aku berpikir ini merupakan katedral pribadi keluarga Dhika. Tapi, sepertinya aneh juga karena tidak ada ahli agama di sini. Terlebih nama kegiatan yang dilakukan saja kan ”kunjungan makam tahunan di pusara para leluhur keluarga Dhika”. Seharusnya ada makam atau batu nisan di sekitar sini. Tapi, sama sekali tidak terlihat ada sesuatu yang seperti itu. Lagipula seumur hidup aku pergi ke tempat ibadah. Hanya waktu kecil saja, sih. Belum pernah menjalani ritual seperti yang pria ini lakukan. Adisti melihat ke arah Gio Sr. yang duduk bersimpuh di depannya. Membelakanginya. Di depan Gio Sr. lagi ia perintahkan dua putri kecil mereka turut duduk bersimpuh seraya membaca doa? Atau mantra? Entahlah. Yang tertulis di atas secarik kertas. Hanya dirinya di tempat itu saat itu yang tak tau harus melakukan apa untuk mengikuti ritual ”kunjungan makam tahunan di pusara para leluhur keluarga Dhika” ini. Membosankan sekali. Lebih baik aku di rumah saja deh untuk bermain-main dengan anak laki-laki terbuang yang tidak tau diuntung itu, batin Adisti seraya menguap lebar, hoaahhmm. Kalimat-kalimat aneh yang suami dan kedua putrinya bacakan sejak tadi benar-benar terdengar seperti lagu pengantar tidur saja. Dan ia pun benar-benar tertidur. Bruukh. Bruukh. Bruukh. Begitu juga dengan kedua putri kecilnya. Mereka terjatuh kehilangan kesadaran di saat yang sama. Tertinggallah Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Sr. Mulai berlutut dan mengangkat kedua telapak tangan ke udara. Menatap ke arah sesuatu yang awalnya merupakan salib. Namun, kini berganti menjadi ”objek” sesungguhnya dari ritual hari itu. ”Saya... bukan lagi bagian dari keluarga Dhika,” ucap Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Sr. dengan tatapan penuh keyakinan. Atau malah kebencian? Apakah... yang tersimpan di balik tiap bait rapalan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN